Ketika Mentari Terbit: Setelah Terombang-ambing Dalam Lautan Fiksi dan Fakta Minangkabau

Hai, Topers. Semoga ini akan menjadi episode terakhir dalam seri petualangan kita mengenai paradoks percaturan kerajaan Minangkabau. Sudah sampai masanya untuk uji kelayakan yang sebenarnya. Semoga dengan satu kesimpulan ini akan mengakhiri semua kesimpangsiuran corak sejarah yang beredar selama ini.

Setelah sebelumnya kita mengejar Sang Sapurba yang bagaikan fatamorgana, menguji kelayakan diksi baramulo ka baramulo, maso saisuak, manuruik tambo, curaian urang dahulu, yang semuanya malah menuntun kita ke arah lorong gelap panjang yang makin kelam, tibalah saatnya untuk menanggalkan fiksi-fiksi yang dilebihkan tersebut menjadi catatan sejarah yang sebenarnya.

Yuk, kita let’s go!

Bacaan Lainnya

Sekitar 250 SM, ada seorang religius beraliran Budhis dengan sebutan Dapunta Hyang yang berasal dari Lembah Sungai Indus (peradaban Indus) yang mencari tempat untuk bertapa. Dia berlayar melewati sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri setelah sebelumnya datang dari Himalaya (sebuah barisan pegunungan di Asia yang memisahkan anak Benua India dari Dataran tinggi Tibet) dan ingin mencapai Nirwana atau Nirvana yang berarti tempat kebijaksanaan atau keluhuran. Dia berlayar dan melihat pucuk gunung Merapi yang tinggi menjulang, di sanalah dia mulai mendaki dan bertapa bersama rombongannya.

Jelas sekali dalam hal ini tak ada sekalipun disebutkan laut seperti Sang Sapurba yang kita kuliti di seri petualangan ke-17 juga dalam Tambo karya Dt. Sanggono Dirajo, semuanya hanyalah tambahan. Bahkan dalam kitab-kitab besar juga kerap kali terjadi hal serupa ini, misalnya dalam Negarakertagama dan Pararaton yang terlalu membesar-besarkan Ken Arok sebagai anak dewa. Tak sedikit pula hal yang sama juga terjadi dalam serat-serat kuno dan prasasti.

Setelah masa tapanya dan memperoleh kebijaksanaan, pada abad ke-5 M, seorang religius yang disebut Dapunta Hyang tersebut turun dari Gunung Merapi dan ingin mendirikan sebuah kerajaan. Mereka melewati Minanga Tamwa atau Tamvan (muara sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri) dan berhenti di sana, lalu mendirikan kerajaan yang bernama Kerajaan Minanga. Lalu diangkatlah seorang raja yang bernama Dapunta Hyang Jayanaga (tahun 603 M) sebagai rajanya.

Adapun catatan maupun prasasti sangat minim sekali membahas Sri Maharaja Jayanaga ini. Di seri petualangan ke-7, Paradoks Dalam Sejarah Minangkabau, kita dibingungkan dengan kehadiran Sri Maharaja Jayanaga dan Sri Maharaja Jayanasa yang merupakan pendiri Dinasti Sriwijaya (tahun 682 M) catatannya terdapat dalam prasasti-prasasti Siddhayatra yang menceritakan perjalanan sucinya mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Inilah yang menjadi tonggak kabur dalam perjalanan kita kemarin, Topers.

Kerajaan Minanga mengalami perkembangan yang sangat pesat, kekuatan maritim dan segalanya sangat terlatih. Sehingga para pedagang Tiongkok dinasti Thang yang datang ketika itu menyebut Minanga dengan sebutan Melaju yang kemudian menjadi Melayu. Para pedagang Gujarat dan Arab juga menyebutkan hal yang sama dalam catatan-catatan mereka karena melihat perahu-perahu bercadik Kerajaan Minanga yang dapat melaju dengan sangat gesit. Hingga ketika Sri Maharaja Jayanaga mangkat, digantikan oleh keturunannya yang bernama Raja Lokitawarman (tahun 699 M).

Catatan mengenai Raja Lokitawarman ini juga tak banyak didapatkan, namun yang jelas di tahun ini beliau sudah diseru untuk memeluk agama Islam dan menerimanya dengan damai. Adapun ajaran tersebut dibawa oleh para pelaut Arab yang berlabuh dan berdagang, lalu ada sebagian di antara mereka yang memilih menetap di Kerajaan Minanga atau Kerajaan Melayu dan melebur bersama kebudayaannya.

Bukti akan keberadaan kerajaan ini dapat ditemukan dalam Prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 682 M serta catatan buku T’ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p’u pada tahun 961 M masa Dinasti Thang, di mana Minanga mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645 M untuk pertama kalinya.

Pada tahun 718 M, Raja Lokitawarman mangkat dan digantikan oleh putranya Raja Indrawarman, perubahan yang sangat signifikan pun terjadi dalam masa pemerintahan Raja Indrawarman yang sudah memeluk agama Islam. Para penganut ajaran Budha tak senang karena Lokitawarman sudah keluar dari ajaran nenek-moyang mereka. Pemerintahannya diwarnai dengan deretan pemberontakan yang dilakukan oleh penganut agama Budha.

Puncak dari pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 730 M yang menyebabkan terbunuhnya Raja Indrawarman. Kekalutan akan kekuasaan yang kembali kepada Budha menyebabkan keturunan Indrawarman mengasingkan diri ke Sungayang. Sementara para penganut ajaran Budha mendirikan kerajaan baru yang mereka sebut dengan Dharmasraya (arah barat pulau Punjung, di tepi sungai Batang Hari).

Pembelokan arus sejarah dipermainkan di sini, Topers. Kita tahu bahwa di Palembang (pho-lim-pong) juga telah berdiri kerajaan Sriwijaya (682 M) dengan rajanya Sri Jayanasa dan di Jambi (chen-pi) juga telah ada kerajaan Jambi walaupun belum begitu besar. Naasnya, pengikut Budha malah mengejar keturunan Indrawarman yang mengungsi ke Sungayang dan hampir saja membunuh semua darah bangsawan tersebut. Penyerangan itu dilakukan oleh Darmawira (1046 M) yang membuat keturunan Indrawarman harus mengungsi lebih jauh lagi ke perut gunung Merapi.

Benteng Sungayang mereka bumi hanguskan dan sejumlah orang-orang Islam mereka bunuh. Pertempuran terus terjadi dan pada masa setelah itu, Dharmasraya mulai membentangkan sayap kekuasaannya, ditambah lagi dengan kejatuhan Sriwijaya karena serangan Rajendra Chola I (1025 M) yang membuat Dharmasraya dapat menjajah seluruh ulayat Sriwijaya ketika itu.

Untuk Darmawira sendiri sahabat budaya tak terlalu mendapatkan catatan, hanya ada dalam Tambo Adat Minangkabau yang ditulis oleh Drs. Mid Jamal namun juga tak menyertakan bukti-bukti keberadaannya. Hanya dalam ranji raja-raja Melayu nama ini muncul setelah Indrawarman. Kemungkinan nama-nama di seri Budha tak ada yang mencatatnya karena keberadaan Minanga sendiri justru dicatat oleh orang-orang Tiongkok dan Arab.

Dalam pendapatnya yang masyhur, Buya Hamka juga telah menyebutkan dengan terang bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi disertai dengan bukti-buktinya. Kemungkinan akan keturunan Indrawarman yang menetap di Sungayang dan terus ke perut Gunung Merapi ini juga merupakan salah satu bukti kuatnya. Namun beliau lebih mengacu kepada Sriwijaya dan daerah pesisiran yang memang disinggahi pedagang-pedagang Arab.

Beralih kepada keturunan Indrawarman, orang-orang yang turut bersamanya mulai turun dari lereng/perut Gunung Merapi ke daerah Pariangan dan membentuk kerajaan yang kemudian diberi nama Kerajaan Pasumayan Koto Batu dengan rajanya yang bergelar Sri Maharaja Diraja (1119 – 1149 M).

Sangat jelas di sini, Topers. Terang dan jelas. Tak ada sebaitpun disebutkan Sang Sapurba yang datang membawa cahaya dengan mahkota yang mengaku keturunan Iskandar Zulkarnain dan membawa pedang Cura si Manjakini. Juga tentang pelayaran Sri Maharaja Diraja dari Voor Indie, Rum, yang disebutkan dalam Tambo karangan Dt. Sanggono Dirajo tahun 2003. Untuk Sulalatus Salatin dan serat tua lainnya juga berguguran karena Sulalatus Salatin sendiri baru ada di abad ke-16 oleh Tun Sri Lanang.

Selanjutnya Sri Maharaja Diraja menikah dengan tiga orang istri yang bernama:

1. Puti Cinto Dunie (yang kelak melahirkan Dt. Bandaro Kayo yang jadi penghulu di Pariangan)

2. Puti Sedayu (yang kelak melahirkan Dt. Maharajo Basa yang menjadi penghulu di Padang Panjang)

3. Puti Indo Jelito (yang kelak melahirkan Sutan Paduko Basa atau Dt. Katumanggungan)

Malang tak dapat dielakkan, mujur tak dapat dicari, usia Sri Maharaja Diraja tidaklah panjang. Kebingungan akan siapa yang melanjutkan tahta kerajaan karena ketiga anaknya masih berusia belia dan tidak mungkin memegang tampuk kekuasaan. Maka dirundingkanlah hal tersebut hingga mencapai kata mufakat bahwa Puti Indo Jelito harus naik sebagai Ratu Kerajaan dengan gelar Bundo Kanduang, menggantikan ketiga putra Sri Maharaja Diraja yang masih kecil.

Saat menulis ini, sungguh lega rasanya mengetahui kebenaran. Setelah kita berkutat dengan perdebatan di seri ke-14, Mande Rubiah: Tokoh Kontroversi Minangkabau, tentang klaim yang banyak tentang Bundo Kanduang sesungguhnya. Sekarang kita menemukannya, Topers. Juga kesalahan dalam versi wangsa Mauli yang kita telusuri dalam petualangan ke-15, Menilik Minangkabau Dalam Percaturan Sejarah yang bersumber dari buku karangan University of Wisconsin dengan 1124 halaman pada tahun 19-an.

Sekarang sahabat budaya akan memberikan seluruh referensi dan mungkin tulisan ini akan cukup panjang, Topers. Tapi semoga bisa membuka mata kita akan sejarah, bahwa betapapun mengalami jalan buntu dan memperoleh data salah, pada akhirnya kebenaran hanya ada satu dan dapat diuji kelayakannya.

Saat Bundo Kanduang memerintah, beliau dibantu oleh tiga orang yang sangat berpengaruh di zamannya. Yaitu:

1. Cati Bilang Pandai sebagai penasihat kerajaan.

2. Tun Tejo Gurano sebagai arsitek kerajaan.

3. Dt. Suri Dirajo sebagai penghulu utama.

Untuk dua orang istri Sri Maharaja Diraja lainnya tidak ikut memerintah tapi mendapatkan posisi yang istimewa, keduanya meminta agar Bundo Kanduang memberikan kebijakan bahwa sejak saat itu garis keturunan di kerajaan Pasumayan Koto Batu harus dari ibu (matrilineal) serta dibangun rumah yang besar (Rumah Gadang) oleh Tun Tejo Gurano sebagai istana kerajaan. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Bundo Kanduang.

Dalam Tambo yang ditulis oleh Dt. Sanggono Dirajo disebutkan bahwa setelah air surut, orang-orang tersebut turun ke Pariangan dan membuat sawah yang dinamakan Sawah Satampang Baniah. Namun dalam Tambo yang ditulis oleh Drs. Mid Jamal tak pernah disebutkan. Bahkan untuk urutan waktu, peristiwa dan buktinya juga dilampirkan.

Ketika keturunan Indrawarman turun kembali ke Pariangan setelah digempur oleh orang-orang Budha Dharmasraya, ketika itulah keluar bunyi pantun;

Darimano asa titiak palito,
Di baliak telong nan batali
Darimano asa niniak moyang kito,
Dari lereang Gunuang Marapi

(Dari mana asal titik pelita
Dari balik telong yang bertali
Dari mana asal nenek moyang kita
Dari lereng Gunung Merapi)

Pada tahun 1150 M, Bundo Kanduang yang sudah ditinggalkan oleh Sri Maharaja Diraja memutuskan menikah lagi dengan Cati Bilang Pandai yang kelak lahirlah Jatang Sutan Balun (Dt. Parpatiah Nan Sebatang, 1153 M) Puti Reno Judah (1157), Kalap Dunie (1154 M), Puti Jamilan (1159 M), Mambang Sutan (1161).

Tidak pernah ada disebutkan bahwa Cati Bilang Pandai berkasta Cateri seperti yang disebutkan Dt. Sanggono Dirajo dalam bukunya Tambo Alam Minangkabau. Dengan begitu kita telah mengetahui siapa ayah-bunda dari dua orang yang akan kita bahas selanjutnya, Topers. Ayah dari Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan ayah dari Dt. Katumanggungan. Keduanya berasal dari rahim yang sama yaitu rahim Bundo Kanduang Puti Indo Jelito.

Pada tahun 1165 M, Cati Bilang Pandai memanggil Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Maharajo Basa untuk melakukan musyawarah tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya di Balai Saruang, maka didapatkan dua kesepakatan. Pertama, mengangkat putra-putra Bundo Kanduang sebagai penghulu. Kedua, melakukan warisan pertama dari garis ibu kepada anaknya. Maka ketika itu diwariskanlah Keris Si Ganjo Era, Keris Si Ganjo Aie, dan Tungkek Basi Janawi Aluih kepada Dt. Katumanggungan. Sementara Payuang Kuniang, Keris Batangkuak, Si Mundam Sati dan Mundam Panuah kepada Dt. Parpatiah Nan Sabatang.

Setelah warisan didapatkan masing-masing, saat itulah dititahkan bahwa kedua datuk tersebut dianggap sebagai nenek-moyang orang Minangkabau. Dan sejak saat itu pula, Dt. Katumanggungan mendirikan kerajaan Bungo Satangkai dan dilantik tahun 1165 M sebagai kelanjutan dari kerajaan Pasumayan Koto Batu.

Untuk membentuk adanya persatuan, diadakanlah sistem kelarasan (lareh); Dt. Katumanggungan dengan kelarasan Koto Piliang (Kerta Phil Hyang. Kerta berarti makmur, Phil berarti cinta, dan Hyang berarti raja) sementara Dt. Parpatiah Nan Sabatang membentuk kelarasan Bodi Chaniago (Budhi Catni Arga. Budhi berarti pikiran, Catni berarti elok, Arga berarti puncak). Adapun kelarasan yang tidak mengikut adalah Kalap Dunie, adik dari Dt. Parpatih Nan Sabatang yang memadukan keduanya, kelarasannya kemudian dinamakan Lareh Nan Panjang.

Apakah kamu dapat mengikutinya, Topers? Kita telah dihadapkan kepada dua jalur yang berbeda. Pertama kerajaan Dharmasraya yang berada di tepi Batang Hari yang mempertahankan agama Budha-nya. Lalu di zaman yang sama juga ada cikal-bakal Pagaruyung di Pariangan dengan kerajaan Pasumayan Koto Batu dan berlanjut ke kerajaan Bungo Satangkai. Nanti kita akan berjumpa dengan persatuan antara Kerajaan Islam dan Budha Dharmasraya yang membentuk Kerajaan Pagaruyung, Topers. Sungguh sangat menarik sekali untuk dipelajari.

Yuk, kita lanjut!

Setelah Dt. Katumanggungan menjabat sebagai raja di Kerajaan Bungo Satangkai, adiknya Puti Jamilan yang dibawa serta ke Sungai Tarab memperoleh empat orang putra, salah satunya adalah Nun Alam (1179 – 1240 M) yang pada tahun 1194 M diangkat menjadi raja menggantikan Dt. Katumanggungan. Dengan begitu kerajaan pun ditukar namanya menjadi Kerajaan Pagaruyung.

Dapat kita lihat di sini, Topers. Bahwa muasal istilah Dari mamak turun ke kemenakan memang telah ditetapkan di sini. Dt. Katumanggungan menyerahkan tahta kerajaannya kepada kemenakannya sendiri. Bukan itu saja, melainkan kepada kemenakannya yang pantas, karena Nun Alam sendiri adalah anak ke tiga dari Puti Jamilan. Masih ada Puti Lenggo Tuo (1175 – 1275 M) dan Dt. Bandaro Putiah (1117 – 1216 M) di atasnya namun tidak memperoleh kursi tahta.

Setelah Nun Alam berkuasa, dia memindahkan pusat kerajaan ke Bukit Batu Patah, sehingga namanya kembali berganti menjadi Kerajaan Bukit Batu Patah. Hal ini berlangsung pada tahun 1199 M. Lama kelamaan memerintah, Nun Alam pun menyerahkan kursi tahta kepada kemenakannya, yaitu anak dari Puti Lenggo Tuo yang bernama Rum Pitulo (1240 M) Rum Pitulo kembali memindahkan ibu kota kerajaan ke Pagaruyung dan mengganti namanya kembali ke Kerajaan Pagaruyung.

Di sini kita melihat ada sedikit corak yang berbeda dari setiap tampuk pemerintahan. Karena setiap raja diganti, maka bertukar pula ibu kota kerajaannya. Namun tak membingungkan karena tak menghadapi Dharmasraya yang sudah punya kekuasaan yang luas. Dharmasraya ketika itu menjadi kerajaan Budha yang sangat cemerlang dan ditakuti, hingga namanya tersohor ke tanah Jawa. Hal inilah yang menyebabkan nanti adanya ekspedisi Pamalayu.

Masa pemerintahan Rum Pitulo tidak berlangsung lama karena masalah internal di kerajaan, silsilahnya terus berlanjut kepada Maharajo Indo, lalu kepada Yang Dopertuan Sati dan sampailah kita pada masa yang dinantikan, ketika Pagaruyung berada dibawah pemerintahan Sultan VIII (1260 M).

Pada masa itulah di Jawa datang Men Shi atau Meng-qi sebagai utusan Kubilai Khan dari dinasti Yuan untuk meminta Singasari tunduk di bawah Kekaisaran Mongol. Malang, Men Shi malah mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari Kertanegara. Sebagian sumber mengatakan bahwa mulutnya di cap dengan besi panas dan telinganya dipotong oleh Kertanegara. Sumber lain mengatakan bahwa Men Shi dibunuh, lalu ada sumber lain yang mengatakan bahwa Kertanegara hanya menghardik Men Shi dan mengatakan bahwa dia tidak takut dengan Kekaisaran Mongol. Namun apapun itu, yang jelas Kertanegara sudah mempermalukan utusan dari Tiongkok tersebut dan memancing kemarahan Kubilai Khan.

Pada tahun 1269, beredar kabar di wilayah Dharmasraya bahwa akan datang orang-orang utusan dari Singasari yang melakukan ekspedisi. Raja Dharmasraya kala itu, Sri Tribuana Raja Mauli Warmadewa, setelah mengambil tahta dari Trailokyaraja merasa gentar dengan berita tersebut. Lalu dia pergi ke wilayah Kerajaan Pagaruyung untuk meminta sekutu. Inilah asal muasal adanya kata ‘Pucuk dicinta ulampun tiba’ oleh Dt. Katumanggungan yang saat itu sudah berusia lebih dari seratus tahun.

Dapat kita cermati bahwa penyebab konflik istana pada tahun 699 M yang menyebabkan raja Lokitawarman wafat adalah hasutan orang-orang Dinasti Thang kepada orang Budha untuk mengusir para pemeluk agama Islam hingga mereka terpisah dua. Dharmasraya dan Pagaruyung adalah satu kesatuan dengan dua aliran kepercayaan yang berbeda. Sungguh sebuah peristiwa yang sangat mencengangkan ketika keduanya bisa bersatu untuk melawan jika nanti benar-benar terjadi peperangan.

Kita juga ditunjukkan bahwa orang-orang Minangkabau ketika itu tak menyimpan dendam terhadap Dharmasraya, kesalahpahaman masa lalu kembali membuat mereka bersatu. Kisah ini mungkin adalah sebuah kisah dari deretan kisah heroik lainnya yang tak akan lekang oleh zaman. Sahabat Budaya sendiri ketika mengetahui hal ini sungguh sangat takjub dengan kearifan dua orang Datuk Minangkabau kala itu. Bukankah begitu, Topers?

Demi mempererat hubungan yang sudah ratusan tahun renggang, maka adik Sultan VIII, Puti Reno Mandi, dinikahkan dengan Sri Tribuana Mauli Warmadewa, dari pernikahan mereka lahirlah tiga orang anak, salah satunya adalah Dara Jingga (Bundo Kanduang versi Dharmasraya, 1275) sementara pernikahannya dengan Dewi Mambang Teruna atau Tribuana Neswari atau Dewi Kencana di Dharmasraya lahirlah Dara Petak (1277 M).

Untuk tahun sendiri perlu banyak kecermatan dalam membacanya. Karena salah satu sumber mengatakan bahwa Tribuana Mauli Warmadewa terlebih dahulu menikah dengan Mambang Teruna baru Puti Reno Mandi, namun sumber lain mengatakan dengan Puti Reno Mandi terlebih dahulu baru dengan Tribuana Neswari atau Mambang Teruna. Namun bukan berarti hal yang terlalu penting untuk diperdebatkan.

Sementara untuk petualangan kita yang ke-15 yang mengambil data dari buku University of Wisconsin bahwa yang dinikahi oleh Tribuana Mauli Warmadewa adalah anak dari Sang Sapurba benar-benar tidak jelas dan paradoks. Untuk kesaksian, kamu bisa mengambil sumber dari ranji raja-raja Dharmasraya atau dalam Prasasti Grahi tahun 1183 M di selatan Thailand. Atau dalam Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286 M di Dharmasraya, Sumatera Barat. Mari kita kesampingkan jauh-jauh Sang Sapurba dan kronik Sulalatus Salatin yang baru ada di abad ke-16.

1275 M, atau ada yang menyebutkan 1295 M, atau ada yang menyebutkan 1285 M (berdasarkan yang tertulis dalam arca Amoghapasa) utusan dari Kerajaan Singasari benar-benar datang dibawah pimpinan Mahesa Anabrang. Mereka datang ke pusat Kerajaan Dharmasraya di Siguntur dan disambut oleh Sri Tribuana Mauli Warmadewa dan juga datuk dari Kerajaan Pagaruyung.

Banyak yang menyimpangkan tentang Ekspedisi Pamalayu ini. Bahkan ketika sahabat budaya menyebutkan dalam seri kita yang ke-15, banyak yang tidak terima bahwa Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah penaklukan, sebagimana yang tertulis dalam Kitab Negarakertagama. Alasan mereka adalah bahwa Pamalayu adalah peperangan, sebab-musabab adanya nama Padang Sibusuak adalah karena banyaknya pertumpahan darah di sana antara Dharmasraya dan Singasari. Tidak, Topers, nanti kita akan sampai juga ke asal-muasal nama tersebut.

Pamalayu bukanlah kisah tentang Kuda Troya yang diberikan hadiah lalu ditaklukkan. Banyak sumber yang menyebutkan selain dalam Negarakertagama dan Pararaton yang bingung dengan nama komandan Singasari ketika itu, juga ada Kidung Panji Wijayakrama yang hanya menyebutkan dengan nama ‘Kerbau yang menyeberangi lautan’ dan kemudian ditafsirkan menjadi Mahesa Anabrang. Sumber lain juga menyebutkan nama lain yaitu Adwaya Brahman. Hal ini sah aja karena Adwaya Brahman sendiri dalam catatan Wikipedia dan buku Sejarah Sumatera Tengah juga menyebutkan hal yang sama; bahwa dia menikahi Dara Jingga.

Sesungguhnya Kertanegara menghadiahkan arca Amoghapasa, bukan memerangi. Hal tersebut dilakukan untuk menambah sekutu karena akan menghadapi serbuan bangsa Mongol dibawah komando Kubilai Khan. Kertanegara bukan orang bodoh, dia haram mengakui kedaulatan orang-orang Dinasti Yuan karena dia juga tahu berapa besar kekuatan yang dia miliki. Jika digabungkan dengan Dharmasraya yang tersohor di pulau Sumatera, kemungkinan besar mereka akan memperoleh kemenangan. Maka dari itulah dia mengirim ekspedisi, bukan ekspansi ke tanah Melayupura atau Dharmasraya.

Rombongan Mahesa Anabrang (kita pakai nama ini saja ya, Topers) lalu dijadikan sebagai sumando dan dinikahkan dengan Dara Jingga. Setelah sampai masanya, Mahesa Anabrang kembali ke pulau Jawa, rombongan mereka juga turut membawa Dara Jingga dan Dara Petak sebagai teman perjalanan. Namun karena saat itu di Jawa telah terjadi peralihan kekuasaan, Singasari telah runtuh dan dibangun kembali oleh Raden Wijaya dengan nama kerajaan Majapahit, Dara Petak pun diserahkan sebagai tanda penghormatan.

Sementara itu waktu terus bergulir, Dara Jingga entah memang sudah firasat atau bagaimana, memutuskan pulang ke Dharmasraya, tak berselang lama Sultan VIII mangkat, Dara Jingga pun diangkat sebagai Ratu di Kerajaan Dharmasraya. Sementara anaknya, yang bernama Dang Tuanku dipanggil untuk datang ke Majapahit. Di Majapahit namanya diganti menjadi Aji Mantrolot dan bersama Gajah Mada membantu memperluas wilayah Majapahit.

Ada sebuah sumber yang sangat tidak jelas yang menyamakan Dang Tuanku dengan Arya Damar. Sumber tersebut mungkin ingin membesar-besarkan nama Dang Tuanku namun tidak paham siapa mereka berdua. Keduanya adalah orang yang berbeda, antara Arya Damar dengan Dang Tuanku tak dapat disamakan karena tidak dalam multiverse yang sama. Namun menurut sahabat budaya sendiri setelah ditelusuri, bahwa Arya Damar memiliki nama ibu yang dama dengan Dang Taunku, yaitu Dara Jingga, hal inilah yang barangkali menyebabkan kesimpangsiuran sejarah. Arya Damar dari Sriwijaya sementara Dang Tuanku dari Dharmasraya.

Selain itu, Dang Tuanku juga sezaman dengan Cindua Mato, yang merupakan putra Bujang Slamet dan Putri Bandahari. Mereka berdua (Dang Tuanku dan Cindua Mato) merupakan kawan sejawat yang sama-sama berjuang.

Dan kita hampir sampai, Topers, sedikit lagi kita akan sampai di bagian ter epiknya, yuk lanjutkan!

Setelah Dang Tuanku pulang kembali ke Dharmasraya, dia menjadi raja di Dharmasraya. Atas pembalasan budinya terhadap Pagaruyung, maka pusat pemerintahan dipindahkan kembali ke Pagaruyung dan dalam Tambo maupun buku-buku Sejarah Alam Minangkabau (BAM) Dang Tuanku atau Adityawarman atau Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa menyebutkan dialah pendiri Kerajaan Pagaruyung ke sekian.

Kamu mungkin akan menemukan sumber jika melakukan sedikit riset bahwa Adityawarman adalah orang yang sama dengan Akarendrawarman, padahal mereka juga berbeda. Akarendrawarman adalah raja sebelum Adityawarman dengan gelarnya Srimat Sri Akarendrawarman. Kamu bisa menemukannya dalam catatan Wisran Hadi dengan judul Generasi Ketujuh. Selain itu juga dalam Prasasti Suruaso di Tanah Datar. Untuk Adityawarman sendiri banyak sekali referensi yang bisa kamu dapatkan, salah satunya ada dalam Manuskrip Arca Amoghapasa yang bertarikh 1347 M dan Prasasti Kubu Rajo di Tanah Datar.

Dan sekarang kamu bertanya bukankah di zaman Indrawarman sudah masuk Islam, mengapa zaman seterusnya ke bawah malah kembali ke Budha seperti zaman Adityawarman? Ayoooo siapa yang juga punya pikiran sama?

Jadi begini, Topers. Kebebasan beragama dalam Minangkabau sudah ada sejak dulunya. Masa Sultan VIII, beliau memeluk Islam dan juga mayoritas penduduk Minangkabau ketika itu, sedangkan pada masa-masa sesudahnya seperti zaman Adityawarman, dia memeluk ajaran Budha sementara penduduknya benar-benar sudah Islam. Tak menjadi persoalan dalam hal tersebut. Namun ada yang mengatakan bahwa Adityawarman di akhir hidupnya sudah memeluk Islam. Wallahu’alam.

Oh iya hampir lupa, untuk penamaan Padang Sibusuak sendiri bukan dari ekspedisi Pamalayu ya, melainkan terjadi pada tahun 1409 M, ketika itu Kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Wisrama Wardhana ingin menduduki wilayah Pagaruyung, namun berhasil digagalkan oleh Cindua Mato yang saat itu sudah berusia sangat tua, dalam catatan disebutkan sudah berusia 115 tahun.

Setelah sekian seri, ini adalah seri paling panjang yang coba Sahabat Budaya paparkan, Topers. Ups, bagaimana dengan kelanjutan Kerajaan Pagaruyung setelah Adityawarman? Bagaimana dengan Mande Rubiah yang sudah disinggung sebelumnya, apa yang terjadi? Kita perlu seri tersendiri untuk membahasnya, Topers. Jadi, selalu nantikan seri petualangan budaya ini, ya. Seperti biasa, untuk komentar dan masukan ataupun saran silakan mampir ke Instagram @top_sumbar dan WA +62 822 8385 5009.

(Haris)

*Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang.

Pos terkait