Menilik Minangkabau Dalam Percaturan Sejarah

Hai hai hai, ayo masih semangat? Eh lupa, gimana nih kabarnya hari ini, Topers? Kerjaannya numpuk? Dosen marah-marah? Atau, sibuk rebahan sepanjang hari? Tapi yang pasti tak melewatkan seri petualangan budaya dong. Yuk, kali ini kita bertualang lagi.

Apakah pernah terlintas di pikiranmu bagaimana sih Minangkabau zaman dulu itu? Apakah semua bangunannya berbentuk rumah gadang dengan surau-surau yang ramai dan para muda-mudinya sibuk belajar agama? Atau yang tergambar dalam pikiranmu Minangkabau itu identik dengan silat, keris, bendera tri warna dan pedati-pedati yang sibuk mengangkut barang? Mmm, ayo kita langsung melihatnya ke sana. Let’s go!

Bila orang melihat bangunan yang bagian atapnya runcing melengkung seperti tanduk kerbau menjulang langit, melihat perempuan dan gadis-gadis berpakaian serba longgar, lengan dan lehernya berhiaskan sulaman benang keemasan, sarung dan selendang yang terurai berhiaskan ukiran-ukiran indah, bertengkuluk yang ujung-ujungnya runcing serta keemasan pula; melihat laki-laki paruh baya berpakaian serba hitam, berbaju longgar dan di kepalanya terlilit sehelai destar yang seluruh pinggirannya disulami benang emas, sarung hitam berbentuk segitiga, terkadang sedang menjinjing kandang burung ketitiran atau balam, atau sedang membawa ayam jago dengan wajah berseri-seri, orang akan berkata; Itulah Minangkabau.

Bacaan Lainnya

Hem, tapi itu hanya sebagian kecil dari pemandangan eksotik Minangkabau yang sesungguhnya, Topers. Selain alamnya yang elok, dengan lekukan gunung Merapi, Singgalang, Sago, lembah-lembahnya yang permai, danaunya yang luas dan jernih, budayanya yang luar biasa, keanggunan Minangkabau sesungguhnya terletak pada sanubari masing-masing penduduknya, Topers.

Dalam sebuah buku tua dengan jumlah halaman yang fantastis yang dikeluarkan oleh University of Wisconsin (jika kamu mencarinya di google kamu akan menemukan bahwa University of Wisconsin adalah universitas riset negeri Amerika Serikat yang terletak di Madison) dituliskan dengan sangat apik bahwa : Bila orang sudah mengetahui dimana rahasia alam Minangkabau itu, barulah orang akan bisa menempatkan masjarakatnja pada tempat jang tepat bagi mereka , dan barulah orang akan tahu kenapa mereka sangat teguh berpegang kepada tradisi-tradisi kuno itu, jaitu tradisi-tradisi jang masih tetap berpegang dengan kuat pada dasar-dasarnja jang lama (hal; 918).

Sekarang, yuk buka pintu ke mana saja dan kita bertualang sedikit lebih jauh dari biasanya. Kita akan berputar ke abad 12 M.

Sebelum bernama Minangkabau, sejarah hanya mengenalnya dengan sebutan ‘Kerajaan Melayu di Andalas’ atau ‘Melayupura’ atau ‘Dharmasraya’ yang tercatat mencapai puncak keemasannya pada abad ke-13 M. Ayo, sezaman dengan kerajaan apa di pulau Jawa, Topers? Yup, Imperium Singasari yang dibangun oleh Ken Arok.

Tercatat dalam sejarah, kerajaan Melayupura adalah kerajaan terbesar setelah Kerajaan Sriwijaya. Rajanya datang dari pulau Jawa atas utusan Kertanegara dalam ekspedisi yang kemudian dikenal dengan ekspedisi Pamalayu I. Ya, dialah Sri Tribuwana Mauli Warmadewa, wangsa Mauli yang kemudian menjadi raja di Kerajaan Dharmasraya.

Orang-orang Minangkabau kala itu yang sudah berperadaban tinggi mengangkat Sri Tribuwana Mauli Warmadewa sebagai raja dengan sebutan Datuk Sri Maharaja Diraja, dengan gelarnya Nan Banago Nago, persitiwa tersebut terjadi pada tahun 1290 M.

Lihat, Topers, siapakah perempuan yang cantik itu? Dia adalah istri Sri Maharaja Diraja, namanya Dewi Kencana atau Dewi Mambang Taruna, anak dari Sang Sapurba yang dalam Tambo Alam Minangkabau disebut sebagai keturunan dari Iskandar Zulkarnain yang melakukan pelayaran dari Tiongkok, terus ke Palembang, Tanjungpura sampai ke Lingga dan Bintan, lalu masuk Batang Kuantan sampai ke Minangkabau.

Di tahun yang sama, yaitu 1293 M, Sri Maharaja Diraja juga menikah dengan putri asli Minangkabau yang bernama Indo Juwita atau Jelita. Nah, Topers, dari pernikahannya dengan Dewi Mambang Taruna, lahirlah seorang anak yang kemudian diberi nama Dara Petak, sedangkan dari pernikahannya dengan Puti Indo Juwita melahirkan seorang anak perempuan yang kemudian diberi nama Dara Jingga.

Apakah kamu masih ingat, Topers? Dara Jingga inilah yang pertama kali menyandang gelar Bundo Kanduang dalam versi Dharmasraya yang kita bincangkan di seri petualangan ke-14 kemarin.

Karena Sri raja tahu dari mana dia berasal, maka kedua anaknya itu dikirim ke pulau Jawa untuk kemudian dibesarkan dalam lingkungan istana Singasari. Sebagai wujud bahwa dirinya masih mengenal darimana dia berasal. Namun di tahun itu, 1295-an dalam catatan, kerajan Singasari tak lagi berkuasa, sudah digantikan oleh Majapahit dengan Raden Wijaya sebagai raja pertamanya. Dara Petak pun dijadikan permaisuri oleh Raden Wijaya. Sedangkan Dara Jingga di kemudian hari menikah dengan Adwaya Brahman dan sampailah kepada lahirnya seorang putra yang akan kembali memimpin tanah Melayupura kelak, dialah Adityawarman.

Aduh ini sangat memusingkan, mari percepat langkah kita dengan menilik nama Minangkabau sesungguhnya. Untuk urusan keturunan dan nama-nama serta urusan tahun memang terlalu memusingkan ya, Topers. Tak terbayang bagaimana kerja otak para sejarawan, pasti sangat rumit dan sibuk sekali.

Nah, untuk penamaan Minangkabau sendiri sebenarnya ada tiga sumber, Topers. Pertama, dari sumber yang paling tua yaitu berasal dari nama Minanga kabwa atau minanga tamwa atau tamvan, yaitu tempat pemberangkatan perjalanan suci seorang religius Hindu bernama Dapunta Hyang yang disinyalir berada di muara sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri.

Kedua, berasal dari kata Pinang dan Kerbau. Jadi pada suatu masa, ada seorang pangeran kerajaan Majapahit yang datang meminang putri kerajaan Melayu. Pinangan itu diantarkan dengan pengantar beberapa ekor kerbau besar sebagai persembahan, karena diterima baik oleh pihak perempuan maka sejak saat itu namanya berubah jadi PinangKerbau yang akhirnya menjadi Minangkabau.

Sedangkan pendapat yang ketiga adalah pendapat yang mashur di kalangan orang Minangkabau. Ketika utusan Majapahit bermaksud ingin mengadu kerbau besarnya dengan taruhan kerajaan Melayupura akan jadi bawahan Majapahit jika kerbaunya menang. Namun sayang kerbau utusan kerajaan Majapahit itu kalah, sejak itulah negeri itu berganti nama dengan Minangkabau, yang berasal dari kata Manangkabau.

Wah, petualangan kali ini selain berat juga panjang ya, Topers. Tapi terima kasih telah ikut bertualang bersama sahabat budaya. Selalu nantikan seri selanjutnya ya.

(Haris)

Pos terkait