Menjemput Ingatan Goa Batu Kapal di Kabupaten Solok Selatan

Oleh : Hasbunallah Haris

“Jika Anda berkunjung ke Solok Selatan namun belum menyambangi Goa Batu Kapal, berarti kunjungan Anda belum lengkap.” Demikian biasanya orang berkata saking menarik dan wajibnya salah-satu destinasi wisata alam ini untuk dikunjungi.

Mendapat penghargaan Anugerah Pesona Indonesia (API) kategori Surga Tersembunyi tahun 2021, kehadiran Goa Batu Kapal Solok Selatan makin mendapat lirikan. Namun kini, mari kita bongkar sedikit demi sedikit mengapa, apa, dan bagaimana sebuah goa tersembunyi di pedalaman perkebunan sawit tersebut menjadi istimewa.
Goa yang berlokasi di Kecamatan Sangir Balai Janggo tersebut ditemukan pada tahun 1984 oleh seseorang yang tidak disebutkan namanya. Namun saya berusaha untuk menelusuri lebih dalam tentang kehadiran goa tersebut. Berbagai catatan dan cerita lama pun mengalir dan berhasil dikumpulkan, hingga pada satu ketika, timbullah dalam benak saya untuk menyampaikan apa yang telah terkumpul tersebut kepada lebih banyak orang.

Pertama, tentang penamaan.

Goa eksotis dengan stalagmit dan stalagtit itu memang menyuguhkan kedamaian, keindahan dan ketenangan. Bila kita berada di dalamnya, yang akan jelas terdengar adalah suara decitan kelelawar, air, dan desiran angin yang membuat mata mengantuk. Di tahun 2017, Tim Geopark Ranah Minang (GRM) pernah melakukan penelitian terkait usia batu kapur yang ada di Goa Batu Kapal, mereka datang dari Jakarta, yang juga melibatkan pakar dan ahli goa, yaitu Asdep, Amalia Yunita dan Cahyo Alkantana. Penelitian tersebut membuahkan hasil bahwa batuan kapur yang ada di sana telah berusia sekitar 22-33 juta tahun. Sebuah hasil yang sangat fantastis dan mengejutkan.

Kita tentu sama-sama tahu bahwa batuan kapur adalah batuan yang tersusun dari mineral kalsit dan aroganit, kedua bahan ini hanya ada di laut. Hal tersebut pun mendasari penamaan gua yang indah ini, orang-orang menyebutnya Goa Batu Kapal karena bentuknya yang mirip dengan sebuah kapal kuno, dengan geladak, ruang kemudi, buritan dan anjungannya. Kesimpulan tersebut diteruskan dengan kisah-kisah bahwa dulunya, sekian juta tahun yang lalu, tempat tersebut merupakan sebuah lautan, dan kapal yang terdampar tersebut⸻entah sebab apa⸻telah mengalami pembekuan, pelapukan dan menjadi sebuah batu. Bahkan sumber lain pun menyebut kalau batu tersebut terjadi karena kutukan.

Jika kita mencari lebih dalam tentang proses pembentukan batuan, limestone atau batu kapur proses terbentuknya memang akibat kadar garam. Namun ada sebuah proses alami lain yang dapat kita jadikan alternatif selain laut, yaitu air tanah. Jika Anda berkunjung, Anda pasti akan menjumpai air tanah yang melimpah di dalam Goa Batu Kapal, di bagian gua paling ujung, dekat jembatan kayu misalnya. Kalsit sekunder dapat terdepositkan oleh air tanah yang kaya mengandung zat asam yang sangat kuat, tanda dari hal tersebut adalah warna air yang sedikit menguning atau terdapat gelembung-gelembung kuning di bagian tepi air tersebut. Kita menemukannya di Goa Batu Kapal.

Saya juga mencoba menelusuri sumber cerita lautan tersebut, kembali membuka Tambo, berkisah dengan orang-orang tua, dan mereka kebanyakan memang berpijak pada sumber lautan. Namun saya menemukan sebuah cerita kuno yang menyebutkan bahwa bukan lautan, melainkan sebuah sungai besar. Ketika menilik lewat maps dengan seting jenis peta satelit, memang ada sebuah sungai dibalik Goa Batu Kapal (kira-kira 5-6 km) yang membentang di sana.

“Jangan samakan aliran sungai sekarang dengan aliran sungai zaman dulu, keloknya juga tidak sama dengan sekarang. Setiap kali galodo setiap kali itu pula jalur air berpindah,” paparnya.
“Orang zaman dulu itu bepergian dengan sampan dan kapal, tak ada mobil dan motor seperti sekarang, makanya jika membangun rumah atau pusat nagari itu di pinggir sungai,” lanjutnya.

Mendapati hal tersebut, saya makin giat menyimak dan meneliti berbagai sumber. Saya aliri arus Sungai Batang Hari dan mendapati kesimpuan yang sama ketika bertumbuk ke pusat kerajaan Dharmasraya Swarnabhumi. Saya datang ke situs Candi Pulau Sawah, Candi Padangroco yang memang berlokasi tak jauh dari bantaran sungai Batang Hari. Seketika saya merinding jika benar gua tersebut dulunya memang sebuah kapal. Wallahu’alam.

Kedua, tentang tempat persembunyian pada masa perang.

Ketika saya masih sekolah dulu di Kabupaten Agam, saya tinggal dengan seorang veteran perang PRRI di Aia Tabik, Baso. Beliau juga pernah menceritakan tentang sebuah gua di Solok Selatan yang dulunya digunakan untuk benteng pertahanan melawan penjajah. Meski beliau hidup cukup jauh setelah PDRI, namun cerita dari mulut beliau dapat saya percaya.

Secara konkret beliau tidak menyebutkan nama gua tersebut, namun saya percaya kalau gua yang sedang beliau kisahkan adalah gua yang sama dengan yang sedang kita bahas. Beliau mengisahkan perjalanan Mr. Syafruddin Prawiranegara pada masa PDRI dan beberapa tempat singgah sejak Bukittinggi, Logas, Kiliran Jao, Muara Labuh, Abai Siat, Bidar Alam, Sumpur Kudus, Padang Japang. Perjalanan tersebut pun bersinggungan dengan gua yang sekarang menjadi Goa Batu Kapal.

Mulanya saya masih kurang percaya, namun saat mendapat cerita dari Puti Ros Dewi Balun tentang rombongan kedua dari Mr. Syafruddin yang pernah menginap di Istano Rajo Balun, lalu adanya rumah singgah yang masih eksis sampai sekarang di Bidar Alam, cerita tersebut menjadi nyata kepada saya.

Seorang kawan saya yang berasal dari Lubuak Malako juga pernah mengisahkan tentang perjuangan masyarakat Lubuak malako mempertahankan nagarinya melawan penjajah. Masa itu pesawat Belanda mengudara dan siap membombardir Lubuak Malako, namun sebuah peristiwa ganjil terjadi kemudian, kabut dan awan tebal tiba-tiba menutup seluruh negeri hingga pilot mengurungkan niat untuk meluncurkan rudalnya. Kawan saya tersebut menuturkan kalau peristiwa tersebut juga terjadi pada masa PDRI atau sekitar tahun 1948. Wallahu’alam.

Ketiga, pengembangan destinasi wisata.

Terakhir, saya tidak ingin terlalu berkutat dengan tahun dan kejadian masa silam karena khawatir tulisan ini akan terlalu panjang nantinya. Pada 13 April 2022 kemarin, bupati Kabupaten Solok Selatan, bapak H. Khairunas telah menjelaskan bahwa pembebasan lahan Goa Batu Kapal sudah selesai, masyarakat sudah bersedia menyerahkan lahannya, selanjutnya akan dilakukan pengukuran dan peningkatan sarana dan prasarana.
Kabar tersebut tentu sangat menggembirakan bagi kita semua, dengan begitu gua dengan ketinggian 80 meter tersebut dapat dieksekusi lebih jauh lagi. Apakah terkait penelitian lebih lanjut, peningkatan SDM yang ada, pun dapat juga meningkatkan UMKM yang turut hadir di sana. (*)

Pos terkait