Mande Rubiah: Tokoh Kontroversi Minangkabau

Hai Topers, gimana kabarnya? Semoga sehat dan bahagia selalu ya, amin. Untuk petualangan yang ke-14 ini kita punya sebuah tema yang barangkali akan sedikit menguras tenaga. Setelah membicarakan Paradoks Dalam Sejarah Minangkabau kemarin, kali ini kita dihadapkan lagi dengan sebuah nama yang kontroversi.

Sebenarnya jika kita mempunyai satu metode untuk mengkajinya, kita akan menemukan di mana benang merah itu tersimpul. Tapi sebelum itu mari kita duduk dengan secangkir kopi di pesisir pantai sambil menikmati mentari yang tenggelam. Senja dengan segala keindahannya telah memberikan pertanda bahwa yang tenggelam akan kembali terbit, hanya tinggal menunggu waktu.

Dalam banyak referensi, kamu pasti telah mendengar nama atau cerita tentang Mande Rubiah, bukan? Berita tentang Mande Rubiah untuk pertama kalinya mencuat ke permukaan dari sebuah surat kabar Sinar Harapan terbitan 3 November 1979 yang memuat tulisan Wall Paragoan dengan judul Bundo Kanduang Terakhir Masih Hidup Bergelar Mande Rubiah. Sejak itu berbagai komentar dan tulisan tentang Bundo Kanduang dan Mande Rubiah menjadi pembicaraan hangat dan negeri Lunang menjadi perhatian banyak kalangan.

Bacaan Lainnya

Hai hai, hai, dan kita masih membicarakannya di tahun 2022 ini? Luar biasa. Bukankah sudah dikatakan bahwa ini hanya masalah waktu. Menutupi sejarah sama halnya dengan membendung sungai, bagaimanapun, pada satu kali entah berapa lamanya, dia akan sampai ke muara.

Mari kita mulai dari diksi Bundo Kanduang.

Sungguh hal yang naif jika hal ini harus diperdebatkan. Orang-orang yang ingin main cepat dalam versi istana Basa Pagaruyung menoktahkan bahwa Puti Indo Jalito adalah Bundo Kanduang yang sebenarnya. Namun dalam versi Dharmasraya, Dara Jingga ibu Aditiyawarman adalah Bundo Kandung yang sebenarnya. Kemudian ada lagi versi Lunang yang mengklaim bahwa Mande Rubiah adalah Bundo Kandung yang sebenarnya. Versi kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu juga turut meramaikan bahwa keturunan Puti merekalah yang Bundo Kandung (tapi versi ini dapat dibedakan dengan kalimat nan naiek ateh jambangan” di Sungai Pagu).

Sebenarnya hal ini singkat saja, Topers, bahwa Bundo Kanduang adalah personifikasi etnis sekaligus julukan yang diberikan kepada perempuan sulung atau yang dituakan dalam suatu suku di Minangkabau. Jadi, Bundo Kanduang adalah gelar, bukan personal orang. Sah-sah saja semuanya kalau begitu, bahkan Rahmah El Yunisiah dan Rohana Kudus juga mendapatkan gelar ini.

Kedua, masalah sejarah yang hilang.

Dalam banyak referensi kita menemukan bahwa pada tahun 1520 untuk alasan yang tidak diketahui, Mande Rubiah meninggalkan Kerajaan Pagaruyung dan bersembunyi di Lunang, Pesisir Selatan, untuk waktu yang sangat lama. Bahkan dalam beberapa artikel disebutkan Bundo Kanduang bertukar nama menjadi Mande Rubiah.

Kamu bisa berkunjung ke Rumah Gadang Mande Rubiah di Lunang, Pesisir Selatan, jika ingin melihat bangunan fisiknya, Topers. Di sana banyak sekali koleksi-koleksi kuno yang ditunjukkan. Bahkan juga terdapat Komplek Makam Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Putri Bungsu, Cindua Mato dan pengikutnya serta makam Waris Rumah Gadang Mande Rubiah.

Dalam buku Rukena: Mande Rubiah Penerus Kebesaran Bundo Kanduang disebutkan bahwa Mande Rubiah itu: “Seorang perempuan setengah baya berkulit kuning langsat yang di kepalanya selalu terpasang kain putih segi empat.”

Kembali kepada tahun yang kosong tadi, ketika Mande Rubiah meninggalkan Pagaruyung di tahun 1520 dan kabarnya baru muncul kembali di tahun 1979, berarti sangat panjang sekali kekosongan yang terjadi. Kita pasti bertanya untuk apa, bukan? Mari kita kembali ke tahun 1520, ketika Pagaruyung sedang tidak baik-baik saja karena sedang dilanda transisi spiritual. Ketika itu peperangan akidah sedang terjadi, karena Islam mulai menanamkan pengaruhnya di Pagaruyung. Sumber lain mengatakan bahwa di abad 16, itu artinya tahun 1500-an, kerajaan Pagaruyung sedang diserang dari Timur, tapi tidak disebutkan oleh siapa dan kerajaan apa. Apakah hal ini yang membuat Mande Rubiah mengasingkan diri ke Lunang? Satu sumber lain mengatakan bahwa Pagaruyung di abad ke-16 mengalami kevakuman pemerintahan karena banyak terjadi perang saudara. Apakah karena itu Mande Rubiah pergi dan menyembunyikan identitasnya? Karena tak ingin dibunuh lantaran dirinya berdarah bangsawan asli Pagaruyung?

Dari ke tiga pendapat di atas, asumsi ketiga adalah yang paling memenuhi dalam kajian sejarah. Asumsi pertama sangat lemah karena jauh sebelum Sri Tribuana Mauli Warmadewa berkuasa di Dharmasraya, Islam sudah mulai masuk ke Minangkabau. Selain itu, di Rumah Gadang Mande Rubiah sendiri ditemukan banyak sekali naskah kuno yang membahas tasawuf, fiqh, nahwu dan mantiq. Ini adalah senjata terbesar yang mematahkan pendapat pertama. Jika kamu seorang Filolog, kamu pasti tahu bahwa untuk menguji tahun berapa naskah tersebut ditulis, kamu bisa melihat watermark yang ada di kertasnya. Sementara pendapat kedua sangat gelap karena tidak bersumber. Apakah kamu bertanya keturunan Pagaruyung sekarang bukanlah keturunan asli Pagaruyung yang dulu lagi? Silakan jawab sendiri saja, Topers.

Ketiga, soal Rumah Gadang Mande Rubiah yang bukan seperti rumah gadang pada umumnya.

Wah, sepertinya kamu harus melihat lagi jenis-jenis atap rumah gadang, Topers. Seperti di Rumah Gadang Mande Rubiah, itu adalah rumah gadang dengan model atap tungkuih nasi, rumah gadang semacam ini sangat banyak ditemukan di daerah pesisir pantai. Sementara rumah gadang yang memiliki gonjong biasanya ada di wilayah darek Minangkabau.

Apakah masalahnya sudah terpecahkan, Topers? Sama sekali belum. Keautentikannya baru akan kita ketahui jika naskah kuno yang ada di Rumah Gadang Mande Rubiah berhasil kita transliterasi. Bapak Pramono, seorang dosen di Universitas Andalas juga sependapat dengan hal ini. Namun kita punya dua masalah, Topers. Pertama naskah yang ada di sana sudah terlalu tua dan banyak yang hancur. Pak Pramono sendiri mengatakan, “Sayangnya kondisi koleksi naskah di Rumah Gadang Mandeh Rubiah sangat memprihatinkan. Fokus perhatian BPCB dan pemerintah daerah masih pada cagar budaya kebendaan (tangible), seperti bangunan rumah gadang dan koleksi benda-benda cagar budaya yang terdapat di dalamnya. Adapun naskah-naskah masih dianggap sebagai cagar budaya tak benda (intangible), sehingga aspek pelestarian dan penyelamatan fisik naskahnya sedikit terabaikan.”

Kedua, bagaimana jika naskah kuno itu sengaja disembunyikan untuk alasan tertentu dan tidak akan pernah jatuh ke tangan publik? Wallahu’alam.

Yang pasti, mana nih filolog-filolog Minangkabau, ayo dong kita berkolaborasi menuntaskan misteri ini bersama-sama. Hehehe.

Pada 7 Maret 1980, Rumah Gadang Mande Rubiah ini diresmikan sebagai Museum Mande Rubiah yang merupakan museum lokal di Sumatera Barat dan sekaligus dilaksanakannya pameran benda-benda sejarah Mande Rubiah pada tanggal 8-14 Maret 1980, Topers. Sekarang kamu juga bisa berkunjung ke sana dan diperbolehkan melihat koleksinya langsung. Tiang utamanya terdiri dari delapan buah berbentuk silinder dan masih asli. Jumlah tiang tersebut melambangkan jumlah suku yang ada di Nagari Lunang saat itu, Topers.

Wah, ternyata perjalanan kali ini cukup melelahkan, apakah kamu punya pemikiran yang sama, Topers? Yup, mari tenangkan pikiran sejenak dengan mendengarkan lagu Mande Rubiah ciptaan Zal Syafei.

Sampai jumpa di petualangan selanjutnya ya.

(Haris)

Pos terkait