Menguliti Sang Sapurba Dalam Kronik Raja-raja Andalas

Hai Topers, gimana kabarnya? Semoga sehat dan bahagia selalu ya, amin. Setelah beberapa hari kita berkeliling menembus waktu dan sekat-sekat sejarah, ternyata petualangan kita tak lepas dari bahaya dan serangan benang merah sejarah lain. Hal ini baru sadar ketika kita berkeliling ke abad 12 M, ketika Sri Tribuana Raja Mauli Warmadewa hadir dalam seri kita yang ke -15. Serangan dalam bentuk tulisan tentu tidak ada, namun dalam komentar-komentar selalu ditampilkan kritikan dalam tanda kutip ‘Tulisan yang menipu oleh penulis amatir’.

Sesungguhnya hal ini sudah diwanti-wanti ketika kita membahas kapal Jung Java kemarin, dan ternyata pecah di petualangan ke-15. Mereka tak menggugat Kapal Jung Java karena bersumber jelas dan dapat diuji kelayakan. Untuk seri ke-15 memang berasal dari satu perspektif karena kita mulai dari utusan Kertanegara dalam ekspedisi Pamalayu I. Marilah kita himpun sejenak sumber-sumber yang berhasil kita dapatkan, Topers.

Untuk seri ke-17 ini adalah seri spesial sekaligus ekstrim. Kita mulai dari Tambo: Curaian Adat Budaya Minangkabau yang terbit tahun 2003 oleh penerbit Kristal Multimedia Bukittinggi karangan Dt. Sanggono Dirajo.

Bacaan Lainnya

Yuk kita let’s go!

Disebutkan dalam bab Pulau Andalas; Menurut bunyi Tambo Alam Minangkabau, adapun orang yang pertama datang mendiami pulau Andalas (Sumatra) adalah ninik kita Sri Maharaja Diraja namanya. Beliau datang kemari dari tanah besar Voor Indie, tanah Rum kata orang tua tua, dan beliau kesini bersama dengan ke-enambelas orang laki-laki perempuan dari kasta Cateri. Selain itu dibawanya juga Kucing Hitam, Harimau Campo, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam. Ninik Sri Maharaja Diraja berlayar dari tanah besar itu dengan sebuah perahu kayu jati. Mula mula mereka berlayar melalui pulau Jawa yang saat itu belum terlihat tanah pulau Jawa itu. 

Dari sini dapat kita tarik ketimpangan besar yang telah bercampur-campur antara fiksi dan fakta. Dt. Sanggono Dirajo telah menulis dengan metafora garis keras sehingga jatuh kepada khayali. Dalam pada itu, kita tentu tak melepaskan tahun berapa beliau hidup dan dari mana beliau mendapatkan cerita seperti itu; cerita orang tua-tua. Sangat pantas cerita tersebut ditulis tak bertahun dan dengan argumen yang lemah.

Jika kamu jeli dengan permainan kata dan premis-premis dalam tulisan. Akan kamu temukan banyak kejanggalan hanya dari satu paragraf tulisan beliau di atas.

1. Tentang penamaan Sri Maharaja Diraja

Sri Maharaja Diraja bukanlah nama (seperti yang beliau sebutkan) melainkan hanya sebatas gelar. Tribuwana Mauli Warmadewa juga mendapatkan gelar yang sama, juga beberapa raja Sriwijaya kala berkuasa, hal tersebut juga sama dengan Dapunta Hyang yang kita bahas dalam seri petualangan ke-7, bukanlah nama, melain hanya sebatas gelar saja.

Dalam catatan beliau juga menyebutkan bahwa Sri Maharaja Diraja juga disebut sebagai Sang Sapurba. Hal ini menambah kebingungan. Ninik yang datang dari Rum (Romawi) mengapa memakai nama Sri Maharaja Diraja? Yang anehnya lagi, kata Sapurba itu berasal dari bahasa Turki dengan fenom Shapur yang berarti raja. Sampai di sini berarti benar, raja. Tapi mengapa yang katanya dari Rum (Romawi) bisa memakai konotasi Turki? Dan jika benar dari Rum (Romawi) berarti hitungan tahunnya sudah ada namun tak pernah dituliskan.

2. Paradoks Voor Indie

Kamu tahu, Topers? Jika kita transliterasikan kata ini ke dalam bahasa Belanda maka artinya adalah Untuk Hindia. Dalam sejarah Rum (sekarang Italia) tak ada daerah yang namanya Voor Indie. Selain itu kata tersebut juga mengarah kepada anak benua di India. Sekarang kita hanya berkesimpulan bahwa antara Voor Indie, Rum yang dimaksud penulis sama sekali tak dapat dipertanggungjawabkan, Topers.

3. Perahu kayu jati

Point ke tiga adalah yang paling lemah di antara yang lainnya. Hal tersebut kentara benar dilebih-lebihkan. Jika kamu sedikit paham tentang kayu jati, itu adalah endemik Nusantara (Indonesia) yang tumbuh di Jawa dan Sumatera (Andalas) lalu bagaimana mungkin Sri Maharaja Diraja membuat perahu yang bahkan kayunya sendiri berasal dari Nusantara?

Selain itu, disebutkan bahwa saat itu pulau Jawa belum tampak. Hal ini tentu nyata benar kekeliruan diksi yang digunakan oleh penulis. Minimnya riset dan cerita yang dilebih-lebihkan adalah faktor utamanya. Orang-orang yang membuat kapal Jung Java seperti yang telah kita jelajahi itu menggunakan bahan kayu jati. Dari sanalah dunia, yang digambarkan oleh Paramodya Ananta Toer sebagai ‘Atas angin’ mengagumi kekuatan maritim Sunsadwipa (Nusantara).

Setelah Konstantinopel jatuh di tahun 1453, barulah bangsa Eropa menjelajah dunia mencari rute baru untuk memperoleh rempah-rempah. Sementara Nusantara sudah lebih dulu melakukannya. Beberapa bukti dapat ditemukan di dalam sumber-sumber yang telah disebutkan dalam seri petualangan sebelumnya, Perspektif: Ketika Museum Menjadi Cermin Buram di Masa Depan.

Kemudian perjalanan dilanjutkan sampai pada suatu ketika mereka melihat sebuah gosong tersembunyi di dalam laut. Terhilang-hilang kelihatan dari jauh kira-kira sebesar telur ayam, hilang timbul dilamun ombak. Setelah sampai disitu kiranya ada tanah lebar dengan datarannya, berlabuhlah ninik Sri Maharaja Diraja diatas gosong itu. Gosong itu adalah puncak gunung Merapi yang sekarang ini.

Ini adalah kelanjutan yang tertulis di dalam buku Dt. Sanggono Dirajo. Dengan jelas beliau menyebutkan bahwa Sri Maharaja Diraja mendarat di puncak gunung Merapi. Mari kita cek puncak mana yang tertinggi di pulau Andalas ini, Topers.

Titik pencarian menunjukkan bahwa puncak tertinggi di pulau Sumatera (Andalas) adalah Gunung Kerinci dengan ketinggian 3.800 m, sedangkan Gunung Merapi hanya 2.891 m saja. Sementara catatan meletus untuk Gunung Merapi pada 8 September 1830 namun tidak memakan korban jiwa, letusan terakhir pada 26 Februari 2014 pukul 16.15, juga tidak ada korban jiwa. Untuk Gunung Kerinci sendiri terakhir mengalami erupsi pada 2009 lalu, namun tidak parah.

Bagaimana, Topers? Sudah dapat kesimpulannya?

Sekarang ayo kita lanjutkan kepada Sang Sapurba yang belum tuntas di atas. Dijelaskan bahwa Sang Sapurba adalah tokoh kronik dalam tiga Kerajaan; Palembang, Melayu Dharmasraya, dan Semenanjung Melayu (Malaka) dan oleh banyak tambo yang ditulis adalah orang yang sama dengan Sri Maharaja Diraja. Dengan begitu dia adalah orang jauh yang datang ke Andalas, keturunan raja Zulkarnain dan terus bersambung kepada Nabi Sulaiman.

Perlu digaris bawahi, Topers. Untuk mendapatkan kebenaran, kita harus mencampur-adukkan semua sumber terlebih dahulu baru memilah mana yang sesuai dan mana yang tidak. Mana yang telah lulus uji kelayakan dan mana yang hanya mitos belaka. Ingat! Untuk tahu mana yang benar, terlebih dahulu kita harus tahu mana yang salah.

Di dalam Sulalatus Salatin (ranji raja-raja) yang diperkirakan ditulis pada abad ke-16 oleh Tun Sri Lanang menyebutkan bahwa Sang Sapurba mendarat di bukit Seguntang, Palembang, dan menikah dengan anak penguasa Pelembang ketika itu, Demang Lebar Daun. Dari satu ini saja jika memang Sang Sapurba sama dengan Sri Maharaja Diraja maka argumen Dt. Sanggono Dirajo tentang Merapi yang pertama ada di pulau Andalas gugur seketika.

Ada sebuah catatan lama di Johor yang keluar tahun 1612 beraksara Arab-Melayu yang diterjemahkan oleh Dr. John Leyden di tahun 1821 ke dalam bahasa Inggris;

Ada sebuah negeri di tanah Andalas bernama Paralembang, yang sekarang bernama Palembang, rajanya bernama Damang Lebar Fajar, (Ketua Berdaun Lebar,) yang berasal dari Raja Sulan, (Chulan?) yang agungnya -cucu dia. Nama sungainya adalah Muartatang, di mana mengalir sungai lain bernama Sungai Malayu, di dekat sumbernya adalah gunung bernama gunung Sagantang Maha Miru.   

Ada dua orang remaja putri Belidung, yang satu bernama Wan-Ampu, dan yang satunya lagi Wan-Malin, bekerja menanam padi di gunung ini, di mana mereka memiliki sawah yang luas dan produktif. Suatu malam mereka memegang sawah mereka yang berkilauan dan berkilauan seperti api. Lalu kata Ampu kepada Malin, “Cahaya apa yang begitu cemerlang itu? Aku takut melihatnya.” “Jangan berisik,” kata Malin, “itu ular atau naga besar.” Kemudian mereka berdua berbaring diam karena takut.

Ketika siang hari, mereka bangun dan pergi untuk melihat apa yang bersinar begitu terang di malam hari. Mereka berdua mendaki bukit, dan menemukan butiran beras berubah menjadi emas, daun menjadi perak, dan batang menjadi kuningan, dan mereka sangat terkejut, dan berkata, “Inilah yang kami amati pada malam hari.” Mereka maju sedikit lebih jauh ke atas bukit, dan melihat semua tanah gunung berwarna emas.

Dan di tanah yang memiliki warna emas ini, mereka melihat tiga pria muda dan tampan. Salah satunya memiliki pakaian raja, dan dipasang di atas banteng, putih seperti perak; dan dua lainnya berdiri di setiap sisinya, salah satu dari mereka memegang pedang, dan yang lainnya tombak.

Ampu dan Malin sangat terkejut melihat ketampanan para pemuda, dan pakaian mereka yang anggun; dan segera berpikir bahwa merekalah penyebab fenomena yang muncul di sawah mereka. Mereka segera menanyakan siapa mereka, dari mana mereka datang, dan apakah mereka Jin atau Peri; selama mereka tinggal di tempat ini, mereka belum pernah melihat ras manusia sampai hari itu.   

Orang di tengah menjawab, “Kami bukan dari ras Jin atau Peris, tetapi ras manusia. Adapun asal kami, kami adalah keturunan Raja Secander Zulkarneini, dan keturunan Raja Suran, raja timur dan barat, silsilah kami naik ke Raja Suleiman. Nama saya Bichitram Shah, yang saya raja, nama orang ini adalah Nila Pahlawan, dan nama lainnya, Carna Pandita.

Ini pedangnya, Chora sa mendang kian, dan itu tombaknya, Limbuar; ini stempel Cayu Gampit, yang dipakai untuk surat-menyurat dengan raja.” “Kalau kalian keturunan Raja Secander,” kata gadis-gadis itu, “apa alasan kalian datang ke sana?” Kemudian Nila Pahlawan menceritakan keseluruhan ceritanya. tentang Raja Secander yang mengasuh putri Raja Kida Hindi, dan keturunan Raja Suran ke laut.

Kemudian Ampu dan Malin menanyakan bukti apa yang bisa mereka hasilkan tentang kebenaran hubungan ini: “Nyonya,” kata Nila Pahlawan, “mahkota ini adalah bukti keturunan dari Raja Secander. Jika ada bukti lebih jauh lagi, pertimbangkan fenomena yang Anda miliki. terlihat di sawah Anda saat datang ke sini.” (Bab 2 dari 30 bab)

Namun sumber lain yang lebih membingungkan lagi menyebutkan bahwa mahkota yang dipakai tersebut tidaklah asli. Disebutkan bahwa dalam pelayarannya, Sang Sapurba dan juga dua adiknya, Sri Nila Utama dan Sri Krishna Pandita, menjatuhkan mahkota yang asli ke dalam laut. Lalu karena terlalu dalam, Cateri Bilang Pandai mengusulkan untuk mengambil Cermin Taruih untuk melihat mahkota yang ada di dasar laut tersebut dan membuat duplikatnya. Sungguh hal yang sangat membingungkan ketika mendapati bahwa nama Cateri Bilang Pandai dicocokologi dengan Wisnu Rupakumara yang merupakan penasihat Raden Wijaya di Majapahit itu kan tahun 1293-1309.

Masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan sekarang, Topers, tulisan ini mungkin akan dilanjutkan ke seri berikutnya untuk menghemat waktu membaca agar tidak terlalu lama dan membosankan.

Sampai di sini dulu, Topers. Kita akan sambung kembali di seri selanjutnya. Jadi, tetap nantikan episode jelajah budaya ya, Topers. Jika ingin berdiskusi juga silakan, tak ada salahnya. Kunjungi Instagram kami di @top_sumbar atau ke +62 822 8385 5009.

Salam Budaya.

(Haris)

Pos terkait