Tionghoa Pondok dan Harmonisasi Budaya Minangkabau

(Image: kidalnarsis.com)

Oleh : Hasbunallah Haris

Topsumbar.co.id | Berbeda dengan sistem penanggalan dan tahun di seluruh dunia, orang-orang Tionghoa sejak zaman dahulu memiliki sistem penanggalannya sendiri, bahkan tahun baru mereka, Imlek, yang berasal dari kata Im yang berarti bulan, dan Lek yang berarti penanggalan, pada mulanya bukanlah sebuah anjuran agama, melainkan hanya berupa perayaan musim semi atas berakhirnya musim dingin yang panjang. Imlek dalam bahasa Tionghoa juga dikenal dengan sebutan Chunjie, atau festival musim semi. Di barat, festival ini disebut dengan Chinese Valentine’s Day atau Hari Kasih Sayang China. Setiap orang, apapun agamanya, dipersilahkan untuk ikut merayakan hari bahagia ini.

Namun bagaimana dengan petasan dan warna merah yang menjadi ciri khas Imlek?

Bacaan Lainnya

Selain sebutan Chunjie, hari tahun baru China juga disebut sebagai Guo Nian, atau tahun mengalahkan Nian. Dalam legenda kuno Tionghoa, Nian adalah makhluk berupa monster berukuran besar yang dipercaya memiliki tubuh banteng, berkepala singa, serta memiliki tanduk yang kokoh. Tidak ada senjata yang mampu untuk mengalahkan Nian, dan malangnya makhluk tersebut datang setiap akhir musim dingin untuk mengacak-acak perkampungan dan menculik orang-orang.

Kejadian tersebut berlangsung selama puluhan tahun dan berbagai upaya telah dilakukan untuk mengalahkan Nian, namun tak ada satupun yang berhasil. Suatu hari, seorang pengemis tua datang ke sebuah desa di akhir musim dingin, orang-orang desa mengajaknya untuk bersembunyi karena Nian bisa datang kapan saja. Namun pengemis tua tersebut menolak dan berujar akan mengalahkan Nian seorang diri asalkan mau mempercayainya. Tak punya pilihan lain, warga membiarkan pengemis tua tinggal sendirian di dalam perkampungan, sementara yang lainnya pergi bersembunyi ke dalam hutan.

Ketika esok pagi mereka kembali, orang-orang desa dikejutkan oleh rumah mereka yang tetap utuh; tak ada yang rusak atau hancur karena pengemis tua tersebut telah menyelamatkannya. Beberapa warga sempat melihat bahwa pengemis telah bertarung dengan Nian dan melemparkan sesuatu yang meledak serta memakai pakaian merah menyala, Nian yang merasa terancam dan takut dengan ledakan tersebut pun terpaksa undur diri. Sejak saat itulah setiap musim dingin berakhir, orang-orang di seluruh daratan China memakai pakaian berwarna merah, mengecat rumah mereka, menggantung lampu, menempelkan kertas merah di pintu rumah, serta membakar petasan, dengan maksud untuk mengusir Nian agar tidak datang lagi menghancurkan perkampungan. Beberapa sumber lain pun menyebut bahwa Nian ditangkap oleh Hongjun Laozu, seorang dewa China kuno, untuk kemudian dijadikan tunggangannya.

Ketika benang sejarah Tinghoa di Indonesia ditarik ke belakang, kita menemukan bahwa kedatangan orang-orang Tionghoa ke Nusantara sudah ada sejak dulunya dalam misi ‘perdagangan’, seperti yang dipaparkan oleh Victor Purchell, seorang sejarawan Inggris, bahwa kedatangan Tionghoa ke Nusantara terjadi dalam tiga fase. Pertama saat masa kerajaan dalam skala penjelajahan dan persahabatan (5-7 M) lalu pada masa Malaka menjadi bandar besar dunia, dan terakhir ketika Hindia Belanda dalam cengkeraman VOC. Dari ketiga fase tersebut, persahabatan antara Padang dan Cina sudah terjalin bahkan sejak fase pertama, hal itu terbukti dengan penemuan beberapa keramik Cina di sekitar kawasan kota tua dan beberapa daerah lainnya yang masih tersebar seperti di Dharmasraya dan daratan tinggi Minangkabau lain.

Ketika terjadi tragedi pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740, pejabat VOC mulai memberlakukan wijkenstelsel atau pengelompokan bagi komunitas Tionghoa di Hindia Belanda, tak terkecuali Padang. Kawasan pecinan Kota Padang sekarang dikenal dengan kawasan Pondok, bahasa merekapun sudah tidak bahasa China asli lagi, melainkan bahasa Minang dengan dialek China atau yang biasa dikenal dengan sebutan bahasa Minang Pondok. Di kawasan inilah setiap tahunnya digelar perayaan Imlek dan Cap Go Meh (hari ke lima belas setelah Imlek) sebagai wujud menjaga budaya mereka yang sudah ada sejak lama.

Dr. Erniwati, seorang sejarawan Tionghoa di Kota Padang menyebut bahwa komunitas China yang ada di Kota Padang adalah sesuatu yang unik untuk ditelusuri, karena begitu dekatnya dengan budaya Minang hingga banyak di antara mereka yang tidak lagi fasih berbahasa China.

“Orang Tionghoa Padang itu kalau bertemu dengan komunitas China lain mereka malu. Misal, kalau mereka bertemu dengan komunitas Tionghoa dari Jawa, mereka akan malu karena banyak yang sudah tidak bisa lagi bahasa mereka, begitu saking dekatnya mereka dengan budaya Minangkabau hingga lebih lancar berbahasa Minang daripada bahasa China.”

Meski begitu, dalam Sumatra Courant yang diterbitkan tahun 1862 menyebut bahwa kelompok Tionghoa di pondok kala itu di bawah keluarga Li Tong, merekalah yang kemudian banyak membaur dengan masyarakat Minangkabau dan menjadi bagian yang tak terpisahkan hingga sekarang. Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi Muslim dan hidup rukun sepanjang yang tercatat.

Ketika terjadi kericuhan di Indonesia atas komunitas Tionghoa pada Mei 1980, orang-orang Tionghoa di Kota Padang tidak mengalami itu. Bahkan justru dilindungi dan diberikan akses yang sangat luar biasa baik dalam perdagangan maupun dalam hal lainnya. Barangkali karena jiwa dagang yang sama dengan masyarakat Minangkabau-lah yang membuat mereka mudah terkoneksi, namun dalam tanda kutip baik sebagai pebisnis. Jiwa dagang orang Minangkabau dengan jiwa dagang orang Tionghoa tentu berbeda, namun keduanya menghormati antara yang satu dengan lainnya.

Sekarang, jika Anda mengunjungi kawasan Pondok, maka yang akan terlihat adalah sebuah kota tua dengan bangunan lama Belanda dan beberapa rumah ibadat dengan ciri khas merah, juga ada pemakaman yang dibuat dengan gerbang pintu ganda yang estetik, beberapa masjid di sana juga didesain dengan arsitektur Cina namun sudah berpadu dengan budaya lokal. Jika bisa dibilang ini adalah sebuah kebetulan, tidak juga, pengelompokan yang semula dilakukan VOC berujung pada melekatnya unsur-unsur Minang ke dalam sanubari komunitas Tionghoa Padang.

Kawasan Pondok, telah membuktikan bahwa dalam banyak kebudayaan atau yang biasa dikatakan multibudaya atau multikultur, dapat menciptakan keharmonisan antara satu dengan lainnya tanpa terjadinya sikap etnosentris yang terlalu dominan. Orang-orang Tionghoa menerima budaya Minang dan menghormatinya, mereka tidak menyalahkan atau mempengaruhi masyarakat untuk meninggalkan budaya mereka sendiri. Sebaliknya, orang-orang Minang juga memberikan ruang terhadap komunitas Tionghoa Padang untuk melestarikan budaya mereka, bahkan dalam beberapa perayaan seperti Cap Go Meh yang dilakukan di kota Padang, mendapat sambutan yang hangat dan meriah. Sudah beberapa kali Cap Go Meh di laksanakan dan kian tahun bertambah perayaan tersebut kian meriah. Demikianlah yang disebut dengan moderasi, ketika banyak budaya bertabrakan namun tidak menciptakan kehancuran, malah menciptakan keharmonisan dan tercapainya sikap toleransi antar sesama. Orang-orang Minang dapat mengkaji banyak kisah tua dan kebijaksaan Cina kuno, orang Cina pun mempelajari kisah-kisah Minangkabau yang tak kalah menariknya.

(*)

Pos terkait