Tiga Kota di Sumatera Barat yang Memiliki Sejarah Unik Dibalik Namanya

Sejarah dibalik nama Kota Padang, Bukittinggi dan Kota Solok di Sumatera Barat. (foto: Topsumbar.co.id)

Pada tahun 1660 raja-raja muda yang semulanya menentang Pagaruyung kemudian berpihak ke Aceh, karena bujuk Belanda berhasil mengusir orang Aceh. Belanda segera bergerak cepat seperti mendirikan kantor dagang, menetapkan mata uang Belanda sebagai alat tukar, dan memindahkan wakil Belanda Groenewegen di Aceh ke Padang.

Walaupun Aceh bukan lagi ancaman bukan serta merta Belanda bisa berbuat sekehendaknya. Pengaruh dan kekuatan Pagaruyung masih dominan dan dianggap penghalang untuk meluaskan monopoli dagang Belanda. Ganti daerah ganti pula strategi Belanda. Untuk Kota Padang yang juga Minangkabau,

Belanda mencoba pendekatan dengan memberikan upeti kepada Kerajaan Pagaruyung. Agar tidak menimbulkan polemik yang dapat merugikan Belanda, maka di Padang, Orang Kaya Kecil (Menurut Rusli Aman, Orang Kaya Kecil dalam bahasa Minangnya adalah Urang Kayo Kaciak, adalah nama gelar pengganti terhadap jabatan panglima yang dipakai ketika Aceh masih berkuasa) ditunjuk menjadi penasehat kompeni, sambung lidah dengan penduduk setempat, dan penghubung dengan raja-raja muda. Orang Kaya Kecil juga berjasa dalam menjemput Belanda di Pulau Cingkuk agar menetap di Padang. Pada tanggal 18 Agustus 1667 berdasarkan beslit Kompei Orang Kaya Kecil diangkat sebagai penguasa Padang.

Bacaan Lainnya

Belanda dan pasukan kompeninya walaupun telah mendapat persetujuan dagang dan disetujui pengangkatan Orang Kaya Kecil sebagai boneka Belanda, bukan jaminan akan selalu aman sejak saat itu. Justru gangguan semakin banyak dan sering. Loji[ Menurut Gusti Adnan, loji atau lege (prancis) berarti tempat tinggal, kantor atau gudang, pembangunannya mulai dirintis sejak thun 1606 dan selesai pada perempat terakhir abad ke-17. Loji tersebut berlokasi di Muara Batang Arau, Loji ini termasuk yang terbesar di kawasan barat Sumatera.

Loji itu berbentuk empat pesegi dengan setiap sisi panjangnya lebih kurang 100 m. Pada setiap sudut terdapat menara pengawas dengan ketinggian 8 m. sebagai simbol kekuasaan Belanda sebanyak dua kali diserang dan dibakar habis oleh masyarakat pejuang dari Pauh dan Koto Tangah, yang pertama pada malam hari tanggal 7 Agustus 1669. Berdasarkan SK Walikotamadya Padang No. 188.452.25/SK-ESK/1986 peristiwa dijadikan sebagai hari dan tahun jadinya Kota Padang. Serangan kedua terjadi pada tahun 1870. Kedua serangan itu terjadi adalah akibat sikap monopoli dagang Belanda yang menganggu kebebasan dagang mereka dan sikap pongah kaki tangan Belanda yaitu bangsa mereka sendiri.

Pada tanggal 20 Mei 1784, untuk pertama kalinya Belanda menetapkan Kota Padang sebagai pusat kedudukannya dan pusat perdagangan di Sumatera Barat. tahun 1793 kota ini sempat dijarah dan dikuasai oleh seorang bajak laut dari Perancis yang bermarkas di Mauritius bernama François Thomas Le Même, yang keberhasilannya diapresiasi oleh pemerintah Perancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan. Kemudian pada tahun 1795, Kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris. Namun, setelah peperangan era Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kembali kawasan ini yang kemudian dikukuhkan melalui Traktat London, yang ditandatangani pada 17 Maret 1824. Pada tahun 1837, pemerintah Hindia-Belanda menjadikan Padang sebagai pusat pemerintahan wilayah Pesisir Barat Sumatera (Sumatra’s Westkust) yang wilayahnya meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang.

Sampai akhir abad ke-18 Kota Padang hanya sekitar Batang Arau, Kampung Cina, Kampung Keling, Pasar Hilir, Pasar Mudik, Pulau Aia, Ranah Binuang, Alang Lawas dan Seberang Padang. Ketika pemerintah Belanda melalui de Stuers (1788-1861) memimpin Padang, kota ini diperluas ke utara, yaitu ke Nanggalo dan Ulak Karang ke selatan sampai ke Teluk Bayur, ke timur sampai ke Lubuk Begalung, Marapalam dan Andalas. Pada masa itu terjadi peralihan dimana wilayah dikepala oleh penghulu kemudian diganti dengan sistem pemerintahan Wijk atau kampung. Penghulu wijk bukan lagi kepala pemerintahan atas kaum atau suku, tetapi atas nama kampung atau wijk. Masing-masing wijk yang tercatat adalah :

Wijk I : Kampung Mata Air dan Kampung Durian.
Wijk II : Kampung Purus, Damar, Olo, Ujung Pandan dan Rimbo Kaluang.
Wijk III : Kampung Jawa, Sawahan, Belantung, Terandam dan Jati.
Wijk IV : Kampung Pondok, Kampung Sebelah, Berok, Kampung Cina dan Belakang Tangsi.
Wijk V : Kampung Parak Gadang, Simpang Haru dan Andalas.
Wijk VI : Alang Lawas, Ganting, Ranah Binuang, Pasa Gadang, Kampung Nias dan Palinggam.
Wijk VII : Teluk Bayur, Air Manis, Seberang Padanga dan Kampung Teleng.
Wijk VIII : Nanggalo dan Ulak Karang.
Pemekaran selanjutnya daerah kota kemudian diperluas dengan membentuk Wijk IX yaitu Lubuk Begalung, Sungai Barameh, Parak Laweh dan Gurun Laweh. Kesemua Panghulu Wijk tersebut bergabung dalam satu dewan yang bernama Dewan Penghulu Wijk yang diketuai oleh seorang Regent yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Regent didampingi oleh seorang wakil[ Dalam beberapa literatur tercatat wakil Regent ini memiliki jabatan yang bernama Bandaro, Kadhi dan Imam.]. Pada tahun 1905 berdasarkan Ordonansi Gubernur Jenderal Hindia Belanda April 1905 batas-batas Kota Padang ditetapkan. Kemudian berdasarkan Lembaran Negara No. 321 Tahun 1913, daerah di Kota Padang dibagi atas beberapa distrik, yaitu :

Distrik Tanah Tinggi
Dstrik Batang Arau
Distrik Binuang
Distrik Koto Tengah
Distrik Pauh IX
Distrik Sungkai
Distrik 7 Lurah Pauh V

Ketujuh distrik itu disebut juga Luhak yang dikepala oleh seorang Asisten Residen, tapi dalam keseharian dikenal juga dengan nama Tuanku Luak. Disamping ketujuh distrik tersebut, Kota Padang juga dibedakan atas dua bagian yaitu; Padang Kota, didalamnya terdapat Distrik Tanah Tinggi, Batang Arau, dan Binuang; dan, Padang Luar Kota yaitu Distrik Koto Tengah, Pauh IX, Sungkai dan Pauh V.

Pos terkait