Sastra, Kota, dan Dialektika Masyarakatnya

Di tahun 1968, Indonesia dihebohkan oleh sebuah cerpen berjudul Langit Makin Mendung yang dicap sebagai personifikasi Tuhan dan Nabi Muhammad SAW sehingga sang penulis dipaksa untuk mencabut kembali cerpen tersebut dan diberhentikan dari peredaran.

Ini bukanlah barang baru, bahkan di kalangan ulama sendiri kerap terjadi pembatasan pemikiran seperti perihal pemahatan patung, ada yang menyebut haram, ada yang menyebut mubah, dan ada yang menyebut boleh-boleh saja kalau tidak untuk disembah.

Hamka dalam tulisannya, Patung Menghargai Pemimpin, yang terbit di Mimbar Indonesia tahun 1950 menyebut apa salahnya, toh iman tidak akan goyah hanya dengan patung saja. Zaman dulu Nabi melarang karena kadar keimanan umat zaman itu masih belum sekokoh sekarang.

Bacaan Lainnya

Fenomena terbaru juga terjadi beberapa bulan lalu, sebuah pementasan teater menampilkan Sumakti (Surau Kami Mati Suri) oleh mahasiswa prodi Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, pun dengan konsep yang sama, bahkan mereka tak hanya melakukan personifikasi terhadap Tuhan, namun juga memperdengarkan suara Tuhan dari belakang panggung.

Apakah hal tersebut salah? Tentu saja tidak, karena semua orang tahu, itu hanyalah teater belaka.

Dalam banyak lini kehidupan, sastrawan dan imajinasi adalah pilar yang tak boleh dinomor duakan, dia mambangun kota dan membawa pembacanya untuk merenung sejenak bagaimana kehidupan ini seutuhnya.

Barangkali kisanak juga membaca roman Layar Terkembang yang sangat indah itu, atau Aki yang ditulis Idrus dengan gagah berani, atau Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang melegenda.

Benang merah antara semua ini dapat tercipta adalah; imajinasi yang tidak dibatasi dan memang tidak perlu untuk dibatasi.

Bagaimana Kota Membangun Masyarakat Urban di Dalamnya?

Masyarakat urban tentu saja jemu dengan pekerjaan yang melelahkan, mereka menginginkan suatu pencairan suasana, sebuah petualangan, dan beberapa sengatan dalam hidup mereka yang tak mungkin cukup hanya dengan liburan ke mall atau swalayan saja, atau sekedar pergi ke tempat-tempat indah (namun sayang sekali di kota tentu saja jarang tempat dengan nuansa wisata alam).

Keinginan tersebut hanya terjawab dengan sastra, diskusi, dan asmara.

Tiga pilar inilah yang akan membangun pola pikir masyarakat urban yang bagaikan lingkaran tanpa ujung.

Seseorang membutuhkan asmara, namun sebelum itu dia harus memiliki wawasan untuk menarik lawan jenis (wawasan yang didapat sebagai hasil diskusi dan membaca), dan imajinasi (baca; sastra) melengkapi point tersebut sehingga baru dapat disebut sebagai manusia yang gentle atau memenuhi standarisasi manusia modern.

Pos terkait