Sastra, Kota, dan Dialektika Masyarakatnya

Karya Pram banyak disebut sebagai kanon sastra Indonesia, melebihi karya-karya lain karena demikian nyata dan apa adanya, tidak melebihkan, dan sarat akan filosofi.

Bahkan, saat Pram menulis Arus Balik yang merupakan epos kejayaan Nusantara abad ke-16 M, dia dipuji habis-habisan karena telah “memenjarakan waktu” sehingga orang di masa depan dapat mengkaji ulang bagaimana kehidupan di era tersebut.

Bagaimana Ispanya (Spanyol) dan Peranggi (Portugis) saling bersiteru bagai memperebutkan roti, bagaimana bejadnya kelakuan orang-orang Arab yang tak bisa melihat perempuan cantik hingga jakunnnya naik turun, bagaimana hebatnya maritim Nusantara saat itu namun dikungkung oleh aturan besi (seperti meriam yang tak boleh diturunkan dari kapal atau jung dan hanya dipakai dalam pertempuran laut saja), dan bagaimana sifat masyarakatnya yang serba manut dengan raja-raja mereka.

Bacaan Lainnya

Itu adalah gambaran jelas kota dan sastra memainkan peran yang sangat penting di dalamnya.

Dimana Batas Imajinasi Sastrawan?

Jawabannya, tidak terbatas.

AA Navis, sebagai sastrawan dunia akhirat (disebut demikian karena beliau menulis bukan hanya persoalan dunia semata, namun sampai kisah menggugat Tuhan dalam salah satu cerpennya, Robohnya Surau Kami) sebenarnya sudah sangat jelas mengedepankan kalau imajinasi bersifat tak hingga atau absolut. Yang kemudian, jika diaplikasikan dalam ranah filsafat menjadikan orang-orang dicap murtad dan Eropa di Abad Pertengahan membakar orang-orang dengan pemikiran tersebut.

Giordano Bruno, seorang ahli kosmologi dan filsuf berkebangsaan Italia dibakar di jalanan Roma karena dicap bid’ah oleh golongan gereja hanya karena mengatakan Tuhan tidak sependek itu imajinasinya, Tuhan tidak mungkin menciptakan kehidupan di bumi saja, namun juga di tempat yang lain.

Pemikiran gereja saat itu adalah, jika ada dunia lain, tentu saja ada santo di sana, tentu saja ada paus di sana, yang kemudian membuat gereja kebakaran jenggot dan membakar Bruno hidup-hidup.

Seiring berjalan waktu, orang-orang seperti Bruno kian banyak lahir, bahkan lebih terang-terangan dan lebih blak-blakan. Inilah yang kemudian mengilhami Eropa menjadi cerah dan disebut sebagai zaman renaisans, pencerahan atau pembaharuan, pemikiran-pemikiran gila dengan imajinasi tingkat tinggi bermunculan bagai cendawan di musim hujan.

Jika kita mau membandingkan, tentu saja dengan orang-orang Islam yang mengikat, memandang Islam sebagai suatu agama yang kaku dan menolak kemajuan peradaban.

Saat Barat sudah menemukan mesin tik, orang-orang Turki Utsmani mengharamkan benda berguna tersebut dan baru memakainya satu hingga dua abad kemudian. Singkatnya, orang-orang yang memiliki pemikiran konservatif akan segara dilindas zaman dan tinggal dalam peradaban.

Pos terkait