Status Harta/Utang Bersama dan Hukum Perkawinan Kedua Sebagai Akibat Perceraian

Amri Zakar Mangkuto Malin, SH, M.Kn

Kajian Jumat Oleh: Amri Zakar Mangkuto Malin, SH, M.Kn

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْه ُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد
قال الله تعالى: اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

Pembaca Topsumbar yang setia, dengan keimanan dan senantiasa merindukan kebenaran senantiasa tersampaikan ketika ada yang menggantinya dengan kesalahan dan menyembunyikan dibalik penampilan dan jabatan serta kepopuleran.

Bacaan Lainnya

HARTA BERSAMA ADA SELAMA PERKAWINAN, SEBELUM PERKAWINAN ITU HARTA BAWAAN/HARTA PRIBADI

Sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan (UUP) nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia berlaku UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk, dan juga berlaku ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terhadap Harta bersama.

Harta bersama terbentuk sejak akad nikah, Menurut pasal 119 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri.”

HARTA BERSAMA DAPAT DITIADAKAN ANTARA SUAMI ISTERI MEMBUAT PERJANJIAN PERKAWINAN BAIK SEBELUM MENIKAH ATAU DALAM PERKAWINAN.

Kecuali jika suami istri membuat perjanjian harta terpisah melalui Perjanjian Perkawinan (Huwelijke Voorwaarden) yang diatur dalam Pasal 139 KUHPerdata bahwa: “Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini.” Dan dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
69/PUU-XIII/2015.

Oleh karena itu, jika sebelum perkawinan telah dibuat perjanjian kawin terkait pemisahan harta yang mencakup seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut, maka tidak dikenal istilah harta bersama (harta gono gini).

Apabila terjadi perceraian, masing-masing suami/istri tersebut hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama masing-masing.

HARTA BAWAAN DALAM HARTA BERSAMA SUAMI ISTERI

Harta bawaan dalam perkawinan yaitu harta pribadi masing masing ketika masih gadis/bujang sebelum perkawinan dan di bawa ke perkawinan, seperti isteri atau suami sudah ada rumah dan rumah tersebut ditempati oleh pasangan tersebut setelah menikah, maka harta tersebut menjadi harta bawaan dari pasangan yang memiliki hak atas rumah tersebut, demikian juga dengan mobil dan sawah serta ladang.

Harta bawaan lainnya adalah harta warisan, harta didapat dari hibah serta hadiah selama perkawinan oleh masing masing pasangan.

Termasuk harta menurut hukum adat yaitu harta Pusaka tinggi dan harta tepatan, yaitu seperti adat Minangkabau bahwa suami tinggal dilingkungan rumah/tanah keluarga isteri, maka harta tersebut adalah harta bawaan isteri yang berasal dari harta orangtua isteri, dengan berbagai status pada umumnya berstatus harta pusaka tinggi dan ada juga harta hibah ke anak atau harta bersama orangtua isteri dsb.

KEWENANGAN BERTINDAK ATAS HARTA BERSAMA ADALAH BERSAMA-SAMA SEDANGKAN ATAS HARTA PRIBADI BEBAS BERTINDAK TANPA PERSETUJUAN PASANGAN KAWIN.

Menurut Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; dan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pada Pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa, “MENGENAI HARTA BERSAMA, SUAMI ATAU ISTRI DAPAT BERTINDAK ATAS PERSETUJUAN KEDUA BELAH PIHAK”. Sedangkan pada ayat (2) menyebutkan bahwa, “Mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.

Seperti disebutkan dalam KHI Pasal 87 bahwa, “(1) Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

(2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau lainnya”.

UTANG BERSAMA MENJADI TANGGUNGJAWAB BERSAMA DENGAN HARTA BERSAMA DAN HARTA MASING-MASING

Dalam KHI pasal 93 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing”. Hal ini berbeda jika utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga. Utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama.

KHI pasal 93 ayat (2) menyebutkan bahwa, “Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama”.

Maka ketika pasangan bercerai, maka segala utang yang timbul selama perkawinan menjadi UTANG BERSAMA, sehingga jangan hanya melihat jumlah harta yang ada ketika bercerai, tetapi juga dipertimbangkan UTANG YANG TIMBUL atas adanya harta tersebut, seperti HARTA yang masih dalam proses kredit atau diagunkan untuk jaminan utang, maka sering menjadi BEBAN dan TANGGUNGJAWAB SEPIHAK antara suami isteri yang bercerai, maka disinilah pentingnya putusan pengadilan untuk menentukan besarnya kewajiban UTANG dalam harta bersama suami isteri.

JIKA UTANG UNTUK KEPENTINGAN KELUARGA TIDAK CUKUP DIBAYAR DENGAN HARTA BERSAMA DIBEBANKAN KE HARTA SUAMI, DAN JIKA TIDAK CUKUP DIBEBANKAN KE HARTA ISTERI

Sebagaimana ditentukan dalam KHI pasal 93 ayat (3) dan (4) yang menyebutkan bahwa, “Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta istri”.

HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI

Menurut KHI Pasal 94 ayat (1), disebutkan bahwa, “Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri”, pada ayat (2) menentukan bahwa, “Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat”.

Jadi, harta bersama terhitung sejak akad perkawinan. Jelasnya harta bersama perkawinan terbentuk sejak disahkannya perkawinan kedua, ketiga dan keempat, sehinga bagi pasangan yang menikah secara poligami sebaiknya DILAKUKAN PEMISAHAN HARTA dengan perkawinan pertama dan seterusnya agar tidak menimbulkan masalah kemudian hari.

Pemisahan itu dilakukan bisa dengan PERJANJIAN KAWIN ATAU harta di atas namakan ke isteri masing masing, tetapi jika atas nama suami akan terjadi permasalahan pada isteri pertama, isteri kedua,isteri ketiga atau keeempat.

STATUS HARTA KETIKA CERAI HIDUP DAN CERAI MATI, WAJIB DIPUTUSKAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN

Ketika terjadi cerai hidup, maka harta bersama dibagi dua antara suami isteri setelah dikeluarkan utang bersama. Sedangkan jika cerai mati, maka setengah harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup terlama. Sebagaimana dalam KHI Pasal 96 yang menyebutkan bahwa,

“(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya utang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama”.

Sedangkan pada KHI Pasal 97 menyebutkan bahwa, “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Ketika suami isteri yang sudah bercerai, atas harta bersama harus diputuskan dengan putusan pengadilan terkait pembagian masing masing atau peralihan ke salah satu pasangan, agar tidak menimbulkan masalah kemudian hari.

Sering antara suami isteri yang bercerai bersepakat untuk membagi, tetapi kesepakatan itu akan terwujud jika KEDUANYA bertindak secara hukum, misal dengan dijual atau hibah ke anak, tetapi jika ingin dialihkan ke salah satu pasangan, maka MESTI DENGAN PUTUSAN PEGADILAN, sehingga dengan putusan pengadilan tersebut pasangan yang mendapatkan hak dapat bertindak secara penuh tanpa persetujuan pasangan atau waris dari pasangan kawin yang sudah bercerai.

RUJUK DALAM MASA IDDAH ADALAH HAK BAGI ISTERI UNTUK MENENTUKAN PILIHAN KARENA MEMPUNYAI HAK YANG SEIMBANG DENGAN SUAMI

Sebagaimana firman Alloh SWT bahwa apabila suami menghendaki ishlah dengan cara yang makruf maka isteri diberi hak yang sama dengan suami, artinya TIDAK BOLEH ADA PEMAKSAAN SUAMI ATAS RUJUK KEPADA ISTERI dengan DALIL DAN CARA APAPUN dan sebaliknya.

Sebagaimana firman Alloh SWT:” Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah:228).

ISTERI YANG DICERAIKAN /BERCERAI DARI SUAMI BERHAK MEMBERIKAN TEBUSAN ATAS DIRI KEPADA SUAMI UNTUK BEBAS DARI PERMASALAHAN SUAMI ISTERI DAN SUAMI TIDAK BERHAK MENGAMBIL KEMBALI HARTA YANG SUDAH DIBERIKAN KEPADA ISTERI SELAMA PERKAWINAN

Hal ini terjadi ketika pasangan suami isteri bercerai karena adanya masalah ketidak cocokan isteri dengan suami, sementara suami juga tidak dapat memperbaiki dirinya dan sikapnya atas isteri, maka isteri diberi hak untuk menentukan sikap dengan memberikan sejumlah uang kepada mantan suami untuk dirinya bisa bebas dari masalah suami isteri atau masalah setelah perceraian, baik dalam bentuk masalah harta bersama maupun masalah adanya tekanan mantan suami untuk rujuk sementara si isteri tidak berkenan dst.

Sebagaimana firman Alloh SWT:”Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (qs albaqarah 229).

Apabila perceraian terjadi maka suami tidak berhak MENGAMBIL ATAU MEMINTA KEMBALI APA APA YANG SUDAH DIBERIKAN KEPADA ISTERINYA SELAMA PERKAWINAN.

PERKAWINAN SUAMI ISTERI YANG BERCERAI KARENA TALAK 3

Apabila telah talak 3, maka antara suami isteri tidak berhak lagi untuk rujuk dengan kata lain keadaan sudah kembali sebagaimana sebelum perkawinan terjadi, yaitu telah LEPASNYA IKATAN PERKAWINAN UNTUK SELAMA-LAMANYA.

Maka apabila suami isteri yang sudah bercerai karena talak 3, HUKUM ALLOH ADALAH keduanya MESTI MERASAKAN MENIKAH DENGAN ORANG LAIN ATAU TETAP DENGAN KEADAAN STATUS PASCA PERCERAIAN, KARENA JIKA TUJUAN MENIKAH DENGAN ORANG LAIN UNTUK DAPAT MENIKAH LAGI DENGAN PASANGAN YANG BERCERAI ADALAH MEMPERMAINKAN HUKUM ALLOH SWT.

Perkawinan sebagai tumbal dan sifatnya sementara untuk tujuan agar dapat menikah lagi dengan pasangan yang bercerai, setelah menikah bercerai lagi merupakan perbuatan perkawinan yang dilaknat oleh Alloh karena tujuannya yang tidak sesuai dengan tujuan perkawinan tetapi hanya untuk memenuhi KEINGINAN DUNIAWINYA SEMATA.

Sebagaimana hadist diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW suatu kali ditanya perihal muhallil. Maka, beliau menjawab, “Tidak, kecuali pernikahan atas dasar suka sama suka, bukan pernikahan tipuan, dan tidak pula (pernikahan untuk) memperolok-olok kitab Allah, hingga ia (si suami kedua) merasakan nikmatnya berhubungan badan.”

Dalam hadist lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat muhallil dan muhallal lah, (HR Ibnu Majah).

Karena ketika suami isteri telah bercerai artinya ada NIAT DAN KEHENDAK UNTUK BERPISAH, maka KONSEKUENSINYA HUKUM ALLOH JUGA ada PASCA PERCERAIAN, jangan hanya melihat kebolehan menikah lagi setelah bercerai, tetapi ada persyaratan dari Alloh SWT yaitu sebagaimana firman Alloh SWT:” Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka PEREMPUAN ITU TIDAK HALAL LAGI baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan “(Qs albaqarah 230).

RUJUK DILAKUKAN DALAM MASA IDDAH JIKA SETELAH HABIS MASA IIDAH TIDAK DAPAT DILAKUKAN RUJUK ATAS PERCERAIAN

Sebagaimana ditentukan Pasal 118 KHI (Kompilasi Hukum Islam) – Buku Kesatu: Hukum Perkawinan – Bab XVI: Putusnya Perkawinan; Bagian Kesatu – Umum menyatakan bahwa :Talak Raj’I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.

Sedangkan Pasal 120 KHI (Kompilasi Hukum Islam) – Buku Kesatu: Hukum Perkawinan – Bab XVI: Putusnya Perkawinan; Bagian Kesatu – Umum Yang mengatur tentang Talak Ba’in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan hadis masa iddahnya.

HAK ASUH ANAK SEBAGAI AKIBAT PERCERAIAN

Sering Hak asuh dan Hak nafkah anak menjadi beban orangtua yang menjaga dan melindungi anak, terutama anak yang masih dibawah umur, tentunya berada dalam pengasuhan ibunya, persoalan sering muncul adalah berkaitan dengan nafkah atas biaya anak, maka kewajiban nafkah adalah kewajiban SUAMI, apabila suami tidak menunaikan kewajiban akan isteri dapat mengajukan ke pengadilan untuk mendapatkan hak atas nafkah dan pengaturannya, sebagaimana diatur Pasal 41 UUP yang menyatakan bahwa:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Berdasarkan hal tersebut di atas, sebagai orangtua yang sudah dewasa dalam menjalani kehidupan, maka perlu kiranya untuk mempertimbangkan banyak hal sebelum terjadi perceraian terutama tentang nasib dan hak anak anak ketika orangtua bercerai termasuk beban mental dan psikisnya.

Tetapi apabila perceraian tidak bisa dihindari lagi karena dengan bercerai adalah JALAN TERBAIK buat keduanya, maka mesti siap memikul beban masalah akibat perceraian, seperti hak asuh anak bisa jadi jika anak diasuh ibu maka ibu akan berperan jadi ayah juga, bahkan memikul beban tanggungjawab nafkah ketika ayah tidak lagi memikirkan biaya dan tanggungjawab atas anaknya, atau adanya beban masalah setelah bercerai baru sadar dan ingin bersama lagi, dan salah satu pihak sudah tidak mau, maka sering adanya TEKANAN dan GANGGUAN kepada mantan isteri oleh MANTAN SUAMI, BISA DALAM BENTUK pemaksaan, ganguan psikis dan fitnah keji, tetapi semua itu TIDAK MESTI terjadi apabila pihak suami isteri yang bercerai MENYADARI bahwa sudah bercerai semestinta MEMENTUKAN NASIB dan mengurus diri masing masing, sedangkan kepentingan dan hak anak merupakan bagian terpisah dari adanya HUBUGAN DAN KEWAJIBAN SUAMI.

NUUN WALQOLAMI WAMA YASTHURUN.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

(Sukabumi, Jumat, 2 Desember 2022)

Penulis merupakan seorang pendakwah, dosen, penulis buku dan praktisi hukum

Pos terkait