Ramadhan 1441 H / 2020 M, Covid-19, dan Surau Sydney : Sebuah Renungan di Akhir Syawal

Oleh: Ismet Fanany

Pada hari puasa bungsu tahun ini, 30 Ramadhan 1441 H / 23 Mei 2020, cuaca Melbourne mendung, sesekali rinyai membasahi bumi. Suasana terasa sendu dan syahdu, suasana yang sering menemani perpisahan. Bumi sepertinya berkabung dan tidak rela ditinggalkan Sang Bulan Yang Penuh Berkah.

Selain dari ibadah istimewa seperti biasanya di bulan Ramadhan, Ramadhan tahun ini ditandai banyak keistimewaan lainnya, banyak hal yang tidak biasa. Banyak yang luar biasa. Dapat dipastikan Ramadhan 1441 H / 2020 M ini akan selamanya dikaitkan dengan Covid-19 dan segala dampaknya.

Bacaan Lainnya

Social distancing menjadi kosa kata baru semua orang. Covid-19 menjungkir-balikkan pola beribadah yang dapat dilakukan. Berbuka bersama, tarawih dan tadarus di masjid atau surau, pengajian dan ibadah lainnya yang biasanya dilakukan bersama-sama dengan meriah dan sarat dengan makna sosial, kali ini tidak ada. Zoom menggantikan masjid dan surau sebagai sarana kebersamaan umat.

Dengan berakhirnya bulan Syawal, kita akan bertambah jauh pula dari bulan suci tersebut dan melihat ke belakang dengan perasaan yang semakin kuat tentang betapa signifikannya pengaruh Covid-19 itu dalam menjalankan ibadah di bulan suci kemarin itu.

Sungguh pun demikian, dalam merenungkan Ramadhan 1441 H itu di akhir Syawal ini, kata-kata Surau Sydney jauh lebih bermakna bagi saya. Covid-19 kalah telak. Kalau menggunakan metafora olahraga tinju, Covid-19 dikalahkan Surau Sydney dengan KO!

Betapa tidak! Pertama sekali, tidak ada yang unik dengan Covid-19. Katakanlah sejak awal abad ke-20 silam, banyak yang lebih hebat dari Covid-19 dari segi dampaknya terhadap dunia, terhadap manusia.

Dalam masa 120 tahun itu ada dua Perang Dunia (PD) ! Puluhan juta orang meninggal. Perobahan kehidupan manusia karena kedua PD itu tak terhitung jumlah dan besarnya.

Bagaimana dengan wabah pandemi? Spanish Flu yang melanda dunia seratus tahun lalu jauh lebih dahsyat, menjangkiti dan membunuh jutaan orang lebih banyak dari Covid-19.

Social distancing bukanlah ciptaan Covid-19. Di masa Spanish Flu dulu itu juga begitu. Covid-19 juga bukan pandemi pertama abad ke-21.

Julukan ini disandang oleh SARS, yang juga disebabkan oleh semacam virus corona. Jadi tidak ada rekor yang dipegang oleh Covid-19. OK, ada satu mungkin, yaitu Covid-19 membuat pemilik hak cipta Zoom menjadi kaya raya mendadak!

Lalu bagaimana dengan Surau Sydney? Nah, ini baru luar biasa! Unik! Memegang banyak rekor kalau kita lihat dari sudut pandang nasib surau Minang dalam masa 120 tahun terakhir, seperti membicarakan Covid-19 di atas tadi.

Pertama sekali, Surau Sydney belum ada, ya maksudnya belum ada bangunannya. Ini menambah keunikan dan nilainya. Yang ada adalah masyarakat Minang di Sydney yang bercita-cita untuk mendirikannya dan, bulan Ramadhan kemaren itu, mereka mengadakan pengajian Zoom setiap malam sampai tiga hari sebelum lebaran.

Ini barangkali sudah sebuah rekor, yaitu Surau yang belum ada secara fisik tetapi mengadakan pengajian setiap malam di bulan Ramadhan.

Lebih unik lagi, ustadz dan buya yang mengisi pengajian itu datang dari banyak tempat dan negara, termasuk dari Indonesia tentunya.

Yang kedua, dukungan berdatangan dari banyak tempat, dari banyak tokoh, dari banyak organisasi, termasuk dari Jaringan Perantau Minang Sedunia.

Nurhayati Subakat, pemilik kosmetik Wardah yang dermawan itu, Sandiaga Uno pengusaha hebat dan calon Wakil Presiden dalam pemilu terakhir, hanyalah dua contoh saja dari sebaris panjang tokoh lainnya yang pernah hadir dan berbicara pada pengajian harian itu. Unik kan? Terima kasih Zoom.

Kehebatan gagasan Surau Sydney menarik perhatian dan mendapat dukungan dari tokoh-tokoh penting Minang di mana-mana.

Padahal, setiap kali topik surau ada dalam pembicaraan masyarakat Minang, yang lebih sering terdengar adalah nostalgia kehebatan yang konon dimiliki surau di masa lalu.

Keinginan dan tekad kembali ke surau sejauh ini tidak cukup untuk menyalapan api semangat dalam masyarakat Minang itu sendiri di ranah, tempat dulunya kejayaan surau itu berada, ataupun di rantau.

Yang lebih dahsyat lagi tentang Surau Sydney adalah kemungkina ia akan berdiri tahun 2021 yang akan datang, paling tidak itu tekad saudara-saudara kita di Sydney dan didukung banyak tokoh Indonesian serta berbagai kalangan masyarakat di Ranah.

Kalau ini terjadi, kata dahsyat tadi mungkin sekali kurang kuat. Soalnya, dalam setiap diskusi tentang Surau Sydney, ia berpijak pada masa lalu Surau yang dilihat berhasil menciptakan tokoh-tokoh Minang yang hebat, terlepas dari benar tidaknya penglihatan itu.

Akan tetapi, kalau Surau Sydney menjadi kenyataan, ia akan memiliki banyak kedahsyatan :

  1. Belum ada surau yang menarik begitu banyak dukungan dari masyarakat Minang di mana saja mereka berada, bahkan tokoh yang bukan orang Minang;
  2. Sekalipun masyarakat Minang dalam beberapa tahun terakhir mencanangkan himbauan kembali ke surau, yang dianggap merupakan bagian penting dari masyarakat Minang, sejauh ini belum ada Surau Minang di rantau! Paling tidak, belum ada surau di luar Ranah yang didirikan dengan tekad mengembalikan peran surau masa lalu yang selalu disebut-sebut itu.

Orang Minang membawa masakan khas Minang ke mana saja mereka pergi. Masakan Minang paling terkenal, sekurang-kurangnya paling dikenal, secara meluas dibandingkan masakan lokal lainnya.

Tetapi orang Minang tidak membawa Surau mereka ke mana mereka pergi.

Jutaan perantau Minang berada di luar Ranah, di luar Sumatera Barat, tetapi tidak ada Surau yang sengaja dibangun untuk tujuan-tujuan yang dianggap luhur seperti belajar agama Islam, mewariskan budaya Minang kepada generasi baru yang lahir dan besar di rantau, dan sebagai salah satu identitas masyarakat Minang di rantau. Tidak ada!

Nah, sekarang kita bisa mengatakan belum ada sambil berdoa supaya Surau Sydney akan menjadi surau pertama di Rantau, di luar ranah, yang dirancang khusus untuk tempat belajar agama Islam serta bahasa, adat dan budaya Minang. Lebih luar biasa lagi, ia akan menjadi surau rantau bukan di sembarang rantau, akan tetapi di rantau di luar Indonesia, di dalam masyarakat kita yang jumlahnya bukan jutaan, bukan ratusan ribu, akan tetapi beberapa ratus saja!

Seperti saya katakan tadi, dahsyat bukan? Mana mungkin Covid-19 dapat menyaingi Surau Sydney. Izinkan saya berdoa, dan mohon diaminkan, semoga Surau Sydney akan terwujud karena ada sebersit rasa kuatir di sudut hati saya karena nasib surau sejauh ini tidaklah menggembirakan seperti disebutkan di atas tadi.

Melbourne, Ujung Syawal 1441 H
Ismet Fanany
Professor of Language and Society

Deakin University
Melbourne

Pos terkait