Pupuik Sarunai: Ketika Tangis Pecah di Rantau Orang

Hai, Topers. Selamat datang kembali di seri petualangan budaya. Musim panas seperti sekarang sebaiknya kita berkunjung ke gubuk kakek Tambo yang ada di tengah sawah. Kalau beruntung, mungkin kita masih bisa mendapatkan sisa jagung rebus ataupun kacang rebus semalam setelah menjaga padi. Selain itu kita juga akan mendapatkan cerita menarik dari kakek Tambo. Yuk, Topers, waktunya kita let’s go!

Sebenarnya dari jauh juga sudah terdengar alunan sepoi-sepoi alat musik itu, membelah ilalang yang tumbuh di bukit-bukit kecil belakang perkampungan dan tembus ke gendang telinga kami. Lalu mengalir, menganak sungai dan jatuh ke lubuh hati. Di sanalah bunyi tersebut mengendap menjadi sosok ternyaman yang pernah ada, bergulir bersama kenangan-kenangan manis saat memetik buah kemunting sambil menyanyikan lagu ‘Kampuang Nan Jauah di Mato.’

Siang itu benar kakek Tambo sedang duduk di pondok sawahnya sambil meniup pupuik sarunai, alunan nadanya begitu menyentuh hingga membuat alam tertegun dan berhenti sejenak, menyaksikan mahligai suara yang melengking tinggi seolah tengah menjerit pada nasib rakyat yang makin tercekik akibat harga pupuk yang melambung naik. Kami berdiri menyaksikan kakek Tambo menyelesaikan satu lagunya, baru mendekat dan duduk di dekat api unggun yang masih menyala.

Bacaan Lainnya

Tiga umbi singkong sebesar lengan terjerang di sana, meletup-letup dimamah api kuning dari kayu kulit manis yang harum. Kakek Tambo membaliknya sebelum kemudian mengalihkan pandangan pada kami.

“Untuk apa anak datang siang-siang begini? Tahu benar rupanya kakek sedang memanggang ubi,” kata kakek mengawali kunjungan kami.

Namun alih-alih memerhatikan ubi bakar itu, kami malah terpaku pada alat musik tiup yang diletakkan kakek Tambo di dekat duduknya, alat itu mungil dan sudah tampak tua. Pendek, hitam mengkilat serta ada beberapa lubang di badannya yang ringkih. Kakek tambo yang menyadari keingintahuan kami menjelaskan dengan riang, alat musik itu dinamakan dengan Pupuik Sarunai.

“Kata orang-orang dahulu, pupuik ini asalnya dari India, namanya Shenhai. Kalian pernah melihat orang meniup Shenhai dan membuat ular menari?”

Aku mengangguk, di TV banyak sekali acara-acara seperti itu. Bahkan tak sedikit penonton yang menyodorkan uang kepada tukang tiup Shenhai.

“Pupuik Sarunai ini adalah salah satu alat musik tradisional Minangkabau yang sangat terkenal di dataran tinggi serupa di daerah Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh Kota, dan juga di sepanjang pantai Sumatera Barat,” lanjut kakek Tambo. “Bagi anak-anak Minangkabau yang jauh di rantau, ketika mendengar suara pupuik sarunai, itu mengingatkan mereka pada kampung halaman dan membuat mereka rindu kampung halaman.”

“Tapi ujungnua mengapa dibuat mengembang seperti itu, Kek?”

“Ah, ini adalah bagian teruniknya, biasanya terbuat dari tanduk atau bahan keras lainnya yang berfungsi untuk meningkatkan volume suara.”

Bentuk yang unik, kecil dan ringkih itu ternyata dapat menghasilkan bunyi yang melengking tinggi dan menyayat-nyayat hati. Kakek Tambo lalu menceritakan pengalamannya saat dulu merantau dan ketika mendengar alunan pupuik sarunai di tengah malam, kakek Tambo pun menangis teringat kampung. Teringat dengan tepian mandi berarir jernih, bukit-bukit tempat biasa menggembalakan kerbau, dan pondok-pondok sawah yang dibuat pakai dangau untuk tempat beristirahat. Semuanya tergambar jelas dalam pandangan kakek Tambo, besoknya kakek Tambo langsung pulang dan tak pernah pergi merantau lagi. Katanya sangat takut jika nanti meninggal di rantau orang dan tak sempat lagi melihat kampung halaman.

Kakek Tambo juga menjelaskan bahwa orang tua-tua dahulu sangat suka dan sangat lincah memainkan pupuik sarunai, beragam nadapun berhasil diciptakan. Bahkan menurut orang kampung, alunan nada pupuik sarunai kakek Tambo bisa membuat mata mereka mengantuk. Aduh, benar-benar luar biasa ya.

Pada tahun 2016, pupuik sarunai secara resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, hal ini tentu saja membuat semuanya merasa gembira. Kakek Tambo lalu mengajarkan kepada kami bagaimana cara bermain pupuik sarunai dan menjelaskan betapa pentingnya menjaga alat musik tradisional. Karena itu adalah kekayaan yang tak mungkin ternilai dengan uang.

Kami lalu memakan ubi bakar kakek Tambo dengan lahap sambil ditemani alunan pupuik sarunai yang mendayu-dayu itu. Bahagia yang sangat sederhana.

(Haris)

Pos terkait