Ketika Fiksi Mampu Menembus Sekat Alam Nyata

Hei hei hei, apakah kamu sudah puas melihat sunset dengan segala kemegahannya dari pinggiran pantai? Atau melihat mentari terbit dari puncak Merapi sambil menikmati secangkir kopi panas? Kira-kira ke mana ya kali ini kita akan menjelajah. Mmm, bulan Januari yang eksotis memang jadi suasana terbaik untuk melihat kapal yang merapat di dermaga sambil bercengkerama dengan seseorang yang istimewa. Yups, ini dia Sitti Nurbaya.

Apakah kamu tahu, Topers, di tahun 1893, seorang penulis kaliber pencipta karakter Sherlock Holmes berencana membunuh tokoh fiksinya di air terjun Reichenbach. Perseteruannya dengan rofesor Moriarty alias ‘Napoleon dunia jahat’ benar-benar akan mengakhiri hidupnya. Namun setelah keluarnya seri penutup itu, London mendadak heboh, sekelompok orang mengadakan demo menuntut Sir Arthur Conan Doyle untuk meneruskan karakter fiksi tersebut. Hal inilah yang mendasari terbitnya seri terbaru ‘Kembalinya Sherlock Holmes’ yang menceritakan keajaibannya selamat dari air terjun kejam tersebut.

Di Indonesia sendiri, ada sebuah roman yang mengguncang ranah sastra Indonesia ketika itu. Yap, mari buka pintu ke mana saja dan putar jam tahunnya ke angka tahun 1922 di Kota Padang. Ada seorang sastrawan adiluhung yang membuat jagat baru dalam sejarah sastra Indonesia, kita sebut dia sebagai Bapak Roman Modern Indonesia.

Bacaan Lainnya

Dalam banyak kritikan yang disampaikan kepada roman Sitti Nurbaya, yang akan selalu diingat orang adalah keserakahan dan kelicikan, juga tentang cinta yang luhur dan hati yang suci. Salah satu kritikan yang kritis menyebutkan bahwa alasan Marah Rusli membuat Datuk Maringgih dan Samsul Bahri wafat bersamaan adalah agar buku tersebut aman beredar di tengah-tengah kancah cengkeraman Belanda. Ungkapan “Matilah, kau, Anjing Belanda.” yang dilontarkan Samsul Bahri sebenarnya juga sebagai bentuk perlawanan bahasa terhadap bangsa kolonial. Karena bagi orang yang menyadari, kata-kata adalah senjata terkuat.

Demikian juga dengan adegan di mana saat Samsul Bahri Pulang ke Kota Padang dan duduk berdua dengan Sitti Nurbaya saat malam hari. Marah Rusli ingin menyampaikan demikianlah bobroknya hasil campur tangan budaya Belanda yang tidak mengenal sekat waktu antara seorang pemuda lajang dengan istri orang lain untuk saling bertemu.

Tapi sebentar, apakah kamu sudah membaca bukunya, Topers? Belum? Wah, sia-sia saja kita bicara kalau begitu.

Tapi baiklah, untuk menghemat waktu kamu bisa menonton serial drama musikal yang kren abis di channel Indonesia Kaya. Itu adalah garapan Sitti Nurbaya dengan mozaik modern yang tak meninggalkan sisi terbaik dari setiap suguhan adegannya di tahun 2021 lalu, lho.

Omong-omong soal fiksi, apakah roman Siti Nurbaya itu fiksi? Kalau fiksi mengapa lantas ada kuburan Sitti Nurbaya di Gunung Padang dan juga jembatannya sepanjang 156 meter di batang Arau?

Halo, Topers. Dalam sastra, hanya ada sedikit benang merah antara fiksi dan nyata. Kamu pernah membaca buku Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan? Buku itu dihantam habis-habisan oleh Buya Hamka karena mencampur adukkan antara fakta dan khayal. Kamu bisa membaca buku bantahan Buya Hamka tersebut dan pelajari di mana sisi ilusinya. Karena fiksi, sama sekali tidak pernah kuat jika diambil sebagai bahan rujukan.

Lalu jembatan itu, bagaimana? Oh ayolah, Topers. Pernah membaca The da Vinci Code karya Dan Brown? Atau Angel and Demon atau Inferno? Sama sekali mengguncang iman dan sejarah. Namun tidak bisa naik sebagai sumber sejarah.

Sekarang kita tutup pintu ke mana saja dan bicara empat mata. Apakah Sitti Nurbaya benar-benar nyata? Ada banyak sekali jawaban untuk satu pertanyaan, Topers. Tapi kebenaran hanya ada satu. Jawabannya adalah semi fiksi.

Kita mengetahui bahwa pergolakan antara Samsul Bahri dan Sitti Nurbaya juga terjadi dalam diri pengarangnya sendiri. Marah Rusli yang berdarah bangsawan Minangkabau harus rela tak melihat kampung halamannya untuk terakhir kalinya karena menikah dengan orang Sunda yang tidak berdarah Minangkabau, Nyai Raden Ratna Kencana Wati. Hal ini dapat kamu temukan dalam biografinya atau kamu bisa membaca sendiri novel terakhir yang ia tulis, Memang Jodoh.

Setelah pintu ke mana saja ditutup, rasanya lebih baik duduk di jembatan Sitti Nurbaya sambil menyaksikan mentari yang beranjak turun, jangan lupa sambil menikmati jagung bakarnya ya, Topers.

Apakah puas dengan petualangan kita kali ini, Topers? Semoga saja ya, hehehe.

(Haris)

Pos terkait