Melemahnya Ketaatan Ramah Anak (1)

Catatan: Kamsul Hasan, SH, MH

Seorang wartawati/jurnalis perempuan di Medan, Sumatera Utara ‘memotret’ adanya kelemahan terhadap pemberitaan ramah anak.

Dia bukan sekedar wartawati tetapi jurnalis perempuan yang aktif pada perkumpulan dan sedang menyelesaikan program pasca sarjana.

Sepanjang satu jam lebih, Sabtu, 11/11-2023, saya diwawancarai sebagai narasumber penelitiannya, alasannya sebagai salah satu tim perumus PPRA Dewan Pers.

Pertanyaan pertama sejarah lahirnya Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). Kenapa ada PPRA dan masih ada Pasal 5 KEJ yang juga mengatur pemberitaan tentang anak.

Awalnya lahir UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang diberlakukan lima tahun setelah UU SPPA sah atau pada tahun 2017.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan komunikasi dengan Dewan Pers untuk sama-sama mematuhi Pasal 19 UU SPPA mengenai larangan membuka identitas.

Akhirnya Dewan Pers melanjutkan kerjasama dengan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) karena rambu pemberitaan tidak boleh dibuat pihak lain harus masyarakat pers.

Gayung bersambut Kemen PPA dan Dewan Pers memfasilitasi masyarakat pers mengatur diri sendiri merumuskan turunan Pasal 19 UU SPPA sehingga lahir PPRA Dewan Pers.

Memang benar terjadi “dualisme” pengaturan tentang rambu pemberitaan anak. Satu pada KEJ lainnya PPRA yang sama-sama produk Dewan Pers.

KEJ masih menggunakan asas hukum lama dengan definisi anak mereka yang belum 16 tahun atau belum menikah. Sementara PPRA gunakan hukum baru yang usia anak sampai 18 tahun.

Perbedaan lain KEJ hanya melarang identitas anak pelaku tindak pidana identitasnya dibuka. PPRA meluaskan menjadi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), baik anak sebagai pelaku, korban bahkan saksi.

Jadi, ada pemberitaan tidak melanggar KEJ tetapi dia melanggar PPRA. Ini persoalan yang dihadapi newsroom, menjadi salah satu faktor melemahnya Ketaatan pada rambu pemberitaan ramah anak.

Sebagian mengatakan wartawan mengatakan “Kita mentaati perintah Pasal 7 ayat (2) memiliki dan mematuhi KEJ. Itu sebabnya saat terjadi perselisihan antara keduanya kita memilih taat pada KEJ.”

Bersambung karena karakter IG terbatas.

Jakarta, 11 November 2023

Kamsul Hasan merupakan Ahli Pers Dewan Pers, Ketua Bidang Pembelaan Wartawan/Advokasi PWI Pusat, Dosen IISIP, Jakarta dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014

Pos terkait