Pulau Rempang yang Saya Tahu

Catatan Perjalanan Eddy Yatman

Dalam beberapa hari terakhir ini, perhatian kita tertuju pada gelombang demo yang masif, yang menebar pilu bercampur sendu. Demo itu terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Demo yang digelar besar-besaran oleh hampir semua penduduk beretnis Melayu itu dipicu oleh sebuah pemaksaan kehendak yang tak lagi sudi mengenal kata win-win solution.

Bacaan Lainnya

Pendemo merasa hak mereka untuk tinggal di tanah yang sudah mereka tempati selama puluhan atau mungkin ratusan tahun itu dirampas. Dirampas oleh penjajah? Tidak. Tapi oleh seikat jalinan kepentingan dari sekumpulan penguasa dan segelintir pengusaha. Tentu saja bukan pengusaha sekelas saya atau beberapa rekan sejawat saya. Tapi oleh pengusaha superkakap, yang embusan napas mereka saja bisa membuat kita terpelanting-pelanting jauh.

Saya takkan membahas aspek politik dan aspek juridis keabsahan dari kepemilikan tanah warga Pulau Rempang yang kini terancam jadi kaum “nomaden” itu. Karena saya memang tak punya kompetensi untuk hal itu.

Tapi, sebagai seorang manusia yang masih memiliki nurani dan nilai-nilai kemanusiaan, saya merasa amat terenyuh dalam sebuah renungan yang menatap jauh ke belakang: apakah untuk ini para pahlawan kita dulu rela mengorbankan seluruh harta, jiwa, raga, dan nyawa mereka?

Sejak 2006 hingga 2019, saya sudah berkali-kali berkunjung ke Batam dan pulau-pulau lain di Provinsi Kepri (Kepulauan Riau). Dan yang saya tulis di bawah ini adalah sepenggal info yang sempat saya peroleh tentang Kepulauan Riau, khususnya Rempang dan Galang.

Mengapa provinsinya diberi nama Kepulauan Riau? Karena di sana terdapat banyak sekali pulau. Tujuh di antaranya saling berdekatan, dan berada di seputar Pulau Batam. Oleh pemerintah, sejak beberapa dekade belakangan ini, ketujuhnya dihubungkan oleh enam jembatan yang kokoh.

Dari tujuh itu, tiga terbesar adalah Pulau Batam, Pulau Rempang, dan Pulau Galang. Itulah sebabnya wilayah itu disebut Barelang, sebuah akronim dari Batam, Rempang, dan Galang.

Di Pulau Galang, pada tahun 1970-an, pernah belasan keluarga pengungsi Vietnam cukup lama bermukim sehingga tempat itu dijadikan situs bersejarah oleh PBB. Kok bisa mereka sampai di sana? Karena waktu itu terjadi perang dahsyat antara dua negara bersaudara, yaitu Vietnam Selatan, dengan ibu kota Saigon, dan Vietnam Utara, dengan ibu kota Hanoi.

Vietnam Selatan merupakan negara nonkomunis yang pro-Amerika Serikat sedangkan Vietnam Utara negara komunis yang pro-Rusia (waktu itu masih bernama Uni Soviet).

Setelah berlangsung beberapa lama, perang itu dimenangi oleh kelompok komunis pimpinan Jenderal Ho Chi Minh. Dan sejak saat itu kedua negara itu dilebur menjadi satu dengan nama Vietnam, dan nama Kota Saigon diganti dengan Ho Chi Minh City, yang kemudian dijadikan ibu kota dari dua negara yang sudah dijadikan satu itu. Di tahun 2019 lalu saya sempat berkunjung ke kota itu dan beberapa kota lainnya di Vietnam.

Karena kejamnya kelompok komunis ini, mereka yang tak tergabung ke dalam kelompok tersebut banyak yang kabur ke negara-negara lain untuk menyelamatkan diri. Termasuk ke Kepri.

Dengan perahu yang ada di foto inilah sebagian dari mereka bertaruh nyawa berhari-hari bersama seluruh anggota keluarga, hingga akhirnya terdampar di Kepri. Sedangkan perahu-perahu lainnya mungkin saja terdampar di negara lain.

Foto ini saya abadikan ketika saya ke Pulau Rempang dan Pulau Galang 21 Juni 2011. Saat itu, di kedua pulau itu saya lihat sudah ada sejumlah perumahan penduduk Melayu di sepanjang jalan. Tapi, kata “guide” saya, di sepanjang garis pantai populasi mereka jauh lebih banyak ketimbang di pinggir jalan raya. Karena umumnya mereka berprofesi sebagai nelayan. Tentu kini jumlah mereka sudah semakin banyak.

Lalu, pertanyaan kita: apakah mereka akan terima begitu saja jika ada yang berniat “membersihkan” mereka dari sana saat ini?

Eddy Yatman merupakan seorang akademisi, pengusaha, dan traveler, tinggal di Jakarta

Pos terkait