Paripurnakan Tiga Ranperda, Tentang Perhutanan Sosial jadi Usulan Prakarsa DPRD Sumbar

Topsumbar – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) menggelar rapat paripurna dalam rangka penyampaian tanggapan Gubernur Sumbar terhadap Ranperda Perhutanan Sosial dan penyampaian pandangan umum fraksi terhadap Ranperda Pajak Daerah serta Retribusi Daerah, Selasa (23/05/2023).

Rapat dipimpin langsung Ketua DPRD Provinsi Sumbar Supardi, dirinya menegaskan Ranperda Tentang Perhutanan Sosial adalah usulan prakarsa DPRD Sumbar. Ranperda tentang Perhutanan Sosial ini merupakan usul prakarsa DPRD Sumbar yang setidaknya memiliki beberapa landasan yang menjadi pertimbangan diusulkannya Ranperda Perhutanan Sosial tersebut.

“Landasan yang pertama yaitu dari segi Filosofis. Dari segi filosofis digambarkan bahwa pembentukan peraturan daerah tentang perhutanan sosial mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebathinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945,” ujar Supardi.

Bacaan Lainnya

Pancasila dan UUD 1945 kata Supardi mengamanatkan bahwa negara mempunyai tanggungjawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukankesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya Landasan Yuridis, yang memuat ketentuan hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Maka guna memenuhi amanat Pasal 86 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, disusunlah Peraturan Daerah Provinsi tentang Perhutanan Sosial ini,” jelas Supardi.

Kemudian yang ketiga adalah landasan Sosiologis. Diajukannya ranperda tentang Perhutanan Sosial ini dengan melihat pada tatanan masyarakat Sumatera Barat yang memiliki keterikatan yang kuat dengan hutan.

keterikatan itu baik asal-usul sebagai bagian dari tanah ulayat, maupun keterikatan religius yang tergambar dari praktek pengelolaan masyarakat adat di Nagari/Desa dengan berbagai tradisi sebagai bentuk pengungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

“Seperti tradisi Mambuka Kapalo Banda ketika memasuki waktu tanam padi, yang juga menggambarkan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan bentang alam baik mengenai penjagaan hulu air yang merupakan hutan, dengan aliran sungai dan area pertanian sebagai ruang pemenuhan pangan lokal masyarakat,”ujar Supardi.

Keterikatan-keterikatan tersebut kata Supardi mesti menjadi landasan sosiologis dalam pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat tentang Perhutanan Sosial.

Pemanfaatan hutan tersebut tentunya harus bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia,sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan bahwa, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.

(Han)

Pos terkait