Mengulik Dharmasraya; Kerajaan Tua Dalam Catatan Sejarah yang Masih Terkubur

Explore Dharmasraya; The Old Kingdom In Historical Records That Are Still Buried

Hai, Topers.
Semoga selalu dalam keadaan sehat wal afiat ya, untuk kali ini jurnal perjalanan akan saya bagi menjadi empat bagian:

A. Latar belakang
B. Catatan perjalanan
C. Pengumpulan data
D. Analisis data

Bacaan Lainnya

Oke, let’s go!

A. LATAR BELAKANG

Setelah berbincang cukup lama di penghujung bulan Desember bersama salah seorang Kabiro TopSumbar di Kota Padang saat acara perayaan enam tahun TopSumbar.co.id, niat saya untuk mengunjungi dan melakukan penelitian di Kabupaten Dharmasraya semakin menggebu-gebu. Dalam pandangan saya sudah tergambar dengan jelas apa saja yang akan dilakukan nanti di sana, namun rencana penelitian tersebut harus tertunda karena banyak hal yang diurus sebelum keberangkatan. Rencana yang pada mulanya dilaksanakan bulan Januari di tahun baru harus menunggu lima bulan, setelah hari raya idul fitri di tahun 2022.

Setelah mengurus semua perizinan, mulai dari urusan dengan Dinas Kebudayaan, dengan pemerintah setempat dan juga menghimpun tim, kami pun berangkat pada tanggal 24 Mei 2022. Perjalanan dari Kota Padang harus memakan waktu tujuh jam karena kami nekat mengendarai sepeda motor, berpacu dengan mobil besar yang ngebut di jalur lintas Sumatera dan juga mobil-mobil besar pengangkut sawit.

Salah seorang Dewan Redaksi TopSumbar yang ada di Dharmasraya, Bapak Husnul Afra, menyambut kami dengan tangan terbuka, kami berempat (Saya, Raisul Adli, Angel Arsy dan Fajri Assyodiqi) diperkenankan untuk menginap di rumah beliau. Dalam kesepakatan sebelumnya kami akan menginap di SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) namun berhubung lokasi SKB sedikit jauh dari Pulau Punjung maka kami batal untuk menginap di sana.

Pertama kali ke Dharmasraya, kesan yang saya dapatkan adalah sebuah tantangan. Kami sudah tidak sabar menunggu besok untuk melihat langsung komplek candi yang belum terekspos di Dharmasraya. Ada tiga candi yang akan kemi kunjungi; pertama candi Padang Roco, kedua Candi Pulau sawah, dan ketiga Candi Awang Maombiak. Menurut keterangan yang kami himpun, ketiga candi tersebut berada dalam satu garis lurus, yang entah bagaimana membuat saya melemparkan ingatan kepada Arc de Triophone buatan Napoleon yang menghadap lurus ke arah Ka’bah.

B. CATATAN PERJALANAN

Rinai membungkus perjalanan pertama kami. Setelah berkumpul di Kodim 03 Pulau Punjung dan mencari sarapan pagi dekat jembatan kabel Dharmasraya yang terkenal itu, perjalanan pertama menuju kantor Dinas Pariwisata, Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Dharmasraya. Kedatangan kami disambut hangat oleh kepala bidang dan mendapatkan izin untuk melakukan penelitian setelah menyerahkan surat tugas dari kantor redaksi bertanggal 24-27 Mei 2022.

Sehabis zuhur, kami menaiki mobil menuju candi Pulau Sawah yang berada di Nagari Siguntur, Kecamatan Pulau Punjung, Dharmasraya. Akses jalan ke sana cukup bagus, awan berarak di atas menyiratkan warna perak, tak ada matahari, mungkin nanti akan turun hujan.

Menurut keterangan yang di dapat, kompleks percandian tersebut saat diadakan festival Pamalayu tahun 2019-2020 sangat ramai dikunjungi masyarakat, namun sekarang keadaannya sudah tidak terawat lagi. Sampai di sana kami membuktikan sendiri hal tersebut, tapi bukan itu masalahnya, kami sudah tidak sabar lagi untuk melihat langsung bangunan tua tersebut yang disinyalir sudah ada sejak abad ke-7 M.

Karena semalam hujan, kami memarkirkan mobil di depan gerbang dan berjalan bersama ke dalam kompleks percandian sekitar lima ratus meter. Karung-karung berisi tanah, batu bata berukuran besar sudah menyambut kami di dalam. Ada banyak galian di sana-sini untuk merekonstruksi kembali bagaimana keutuhan candi tersebut dulunya.

Potret demi potret gambar berhasil kami dapatkan, batuan bata berwarna orange tumpang tindih di banyak lokasi, ada yang masih utuh namun tak sedikit yang sudah hancur dan tak berbentuk lagi. Di depan galian tersebut juga sudah diberikan keterangan tentang candi terkait, yang saat itu kami berada di Munggu IX.

Kabiro TopSumbar, Mitra Yuyanti, menyarankan kami untuk melanjutkan perjalanan ke Candi Pulau Sawah II saja jika ingin melihat kompleks candi yang lebih jelas dan terawat. Benar saja, bangunan persegi tersebut terpampang jelas di depan kami lengkap dengan keterangan yang dibuat Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Sumatera Barat. Di candi Pulau Sawah II inilah dulunya ditemukan arca Awalokiteswara Amoghapasa yang terbuat dari perunggu dengan kondisi yang masih relatif utuh. Di candi ini pula ditemukan fragmen tangan yang terbuat dari batu andesit, arca ganesha berbahan perunggu dengan ukuran 13 x 6 x 4 cm, arca budha dari perunggu, juga arca Budha Gauthama namun dengan kondisi lutut yang sudah hilang. Yang paling menarik adalah di candi Pulau Sawah II ini ditemukan arca Garuda berbahan perunggu dengan kondisi yang hampir utuh. Semua temuan tersebut sekarang tersimpan di kantor BPCB Sumatera Barat, Batusangkar.

Ditilik dari bentang alamnya, candi Pulau Sawah II tepat berada di tepi sungai Batang Hari yang pada masa dulu sungai adalah urat nadi peradaban. Untuk analisisnya akan kita lakukan nanti. Ayo lanjut!

Puas dengan candi Pulau Sawah, perjalanan dilanjutkan ke candi Padang Roco yang lokasinya tidak terlalu jauh dari candi Pulau Sawah. Sepanjang perjalanan saya dan tim selalu berdiskusi untuk menentukan mana sumber yang akan kami pakai dalam jurnal penelitian nanti dan mana sumber yang akan kami buang. Tapi terlepas dari itu semua, kami baru meraba-raba karena meskipun kami memiliki sumber yang cukup banyak, dengan terjun langsung ke lapangan akan memacu adrenalin untuk menganalisis lebih dalam tentang apa sesungguhnya yang terjadi ratusan tahun lalu.

Di Padang Roco, kami tak terlalu berlama-lama karena hujan mulai turun, kompleks candi sudah dibuatkan atapnya dan sudah direkonstruksi dengan baik. Kami pun berasumsi dengan banyak argumen mengenai fungsi candi tersebut pada masanya. Namun yang saya fokuskan hanya pada satu; bahannya yang terbuat dari bata dengan ukuran yang sama persis dengan candi Pulau Sawah, berarti zaman pembangunan candi tersebut sangat berdekatan.

Di candi Padang Roco-lah dulu ditemukan alas kaki Arca Amoghapasa yang merupakan hadiah yang diberikan Kertanegara di Singosari kepada Melayu Dharmasraya, atau dihadiahkan kepada Srimat Tribuana Mauli Warmadewa dalam ekspedisi Pamalayu (jalinan kerjasama antara kerajaan Singosari dengan Kerajaan Melayu Dharmasraya untuk membendung pasukan Kubilai Khan).

Di Padang Roco ada tiga munggu yang sudah diberikan atap, antara satu munggu dengan munggu lainnya cukup berdekatan, yang disinyalir oleh beberapa sumber dulunya candi tersebut berfungsi sebagai tempat perjamuan tamu karena lokasinya sangat berdekatan dengan sungai. Namun juga ada beberapa sumber lainnya yang menyebutkan sebagai tempat persembahan, pengorbanan, eksekusi dan lainnya, akan kita bahas nanti dalam analisis data.

Sore, hujan deras mengguyur Pulau Punjung, kami tak bisa lagi melanjutkan perjalanan karena akses jalan ke candi terakhir yang akan kami kunjungi, candi Awang Maombiak, sangat licin. Baru esok paginya, pukul sembilan pagi kami kembali berkumpul di rumah Dewan Redaksi TopSumbar untuk membahas perlengkapan dan langkah yang akan kami ambil.

Berbeda dengan candi Pulau Sawah dan Padang Roco yang aksesnya mudah, ke Awang Maombiak harus melintasi perkebunan sawit, akses jalan tanah yang licin dan bergelombang dan juga jarak yang cukup jauh dari badan jalan di luar. Akhirnya kami sepakat untuk mengendarai motor saja, dan untuk kali ini pun kami ditemani oleh juru kunci Awang Maombiak, Bang Thomas.

Mengendarai tiga motor, kami melaju dengan kecepatan sedang, benar saja karena semalam hujan, akses jalan ke Awang Maombiak sangat licin, bahkan jalan sudah digenangi air dan terpaksa beberapa kali kami memutar untuk menghindari lanyah atau genangan air yang dalam di tengah jalan. Jaraknya mungkin sekitar 2 km dari luar, dari Ram Amoy. Namun karena harus berhati-hati membuat kami cukup kesulitan menemukan jalan yang pas untuk menghindari jalan berlubang yang berisi air.

Mungkin di Awang Maombiak-lah kami sedikit lama, karena setelah mengamati struktur bata yang ada di sana, kami juga menemukan pecahan relief candi dengan motif bunga yang terkubur di dekat komplek percandian. Batu tua tersebut dikubur sekitar 60 cm dan ditutup dengan bata lainnya sebagai penanda. Juru kunci menjelaskan bahwa relief tersebut adalah bagian dari relief lainnya yang sudah dibawa ke kantor BPCB di Batusangkar.

Untuk relief yang kami temukan dengan motif bunga tersebut memang sangat unik, satu bagiannya diukir sementara bagian lainnya datar saja, itu menandakan bahwa relief tersebut mungkin dulunya ditempelkan pada dinding candi. Juru kunci juga menjelaskan bahwa dulu di Awang Maombiak banyak ditemukan senjata-senjata lama, arca garuda dari perunggu dan juga cerita-cerita mistik lainnya. Dari Awang Maombiak pandangan kita akan lepas ke bukit Barisan yang membujur panjang serta persawahan yang luas di bawahnya. Letak Awang Maombiak persis di atas sebuah bukit yang menandakan bahwa dulu bangunan tersebut sangat penting, terlebih lagi di dua candi lainnya (Padang Roco dan Pulau Sawah) tidak ditemukan relief apapun.

Tak ada penggalian terbaru di Awang Maombiak, hanya galian-galian lama yang sudah tidak teratur, struktur bata yang ada di sana juga sudah kacau dan berserakan. Akan butuh waktu lama untuk bisa merekonstruksi kembali bangunan tersebut. Namun yang kami pikirkan adalah apakah ini hanya puncaknya saja? Kalau benar demikian berarti badan candinya masih terkubur jauh di dalam tanah, pun sama dengan Pulau Sawah dan Padang Roco, jika dilakukan penggalian lebih dalam lagi mungkin akan ditemukan struktur yang lebih besar dan megah.

Sayang sekali perjalanan ditutup dengan kepuasan yang tidak terlalu bagus karena penasaran kami makin menggeliat setelah melihat langsung candi-candi tersebut. Deduksi yang saya lakukan memberontak bahwa mungkin saja F.M Schnitger di tahun 1926 benar mengatakan bahwa Palembang bukanlah pusat dari Sriwijaya, dan Melayu Dharmasraya adalah kerajaan terbesar Hindu-Budha ketika itu. Akan kita bahas di analisis data, Topers, ayo!

C. PENGUMPULAN DATA

Kita mulai masuk ke pembahasan yang sedikit serius dan mungkin saja akan menguras pikiran kita. Tapi terlepas dari semua itu Alm. Mestika Zed, seorang sejarawan Minangkabau pernah mengatakan bahwa “Belajar sejarah itu seperti menarik panah, kita menariknya ke belakang namun yang akan kita tuju adalah bidikan di depan sana. Semakin kuat tarikan yang kita berikan akan semakin ganas panah tersebut meluncur menembus sekat-sekat penghalang.”

Dharmasraya sendiri memiliki catatan sejarah yang panjang. Untuk itu marilah kita mulai membuka sekat batas wilayah administrasi yang telah ditetapkan sekarang karena kita akan membalikkan tahun di mana sekat tersebut belum tercipta.

Dalam Tambo Kerinci, dalam buku Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabhumi karya Prof. Dr. Slamet Muljana, dalam catatan Liangsu abad ke-5, dalam Kitab Sejarah Dinasti Liang, dalam catatan AA Navis (1981) dalam buku Sejarah Melayu-Jambi, dalam catatan I-Tsing, disebutkan bahwa dulunya di wilayah Chen-pi (Jambi) pada abad 3 M (pra Sriwijaya) telah berdiri sebuah negeri, sebuah kerajaan, sebuah komunitas yang bernama Koying. Penduduknya berkulit gelap dengan gigi putih dan ramah, mereka menjual komoditi mutiara, emas, kayu, perunggu dan lainnya kepada pedagang yang datang dari Javadwipa, Funan (Vietnam sekarang) Cina dan India.

Catatan mengenai kerajaan/negeri ini dicatat oleh K’ang-thai dan Wang Chen dari bangsa Wu (222-280 M) juga dimuat dalam Ensiklopedi T’ung-Tien yang ditulis Tuyu (375-812 M) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin ke dalam Ensiklopedi Wenhxien-t’ung-k’ao, yang menyebutkan bahwa Koying berada di dataran tinggi dengan banyak gunung berapi aktif di sekitarnya, selain itu mereka juga menjual banyak mutiara, emas, perak dan pinang ke Teluk Wen kepada orang-orang Cina dan Javadwipa.

Sezaman dengan Koying, telah berdiri pula sebuah negeri kerajaan, yang bernama Tupo (Muara Tebo sekarang, abad ke-3 M) di tepi Teluk Wen, antara Koying dan Tupo menjalin kerjasama dagang yang erat pada masanya. Hingga pada satu kali terjadi perselisihan yang menyebabkan kedua kerajaan tersebut saling bakuhantam dan dimenangkan oleh Koying. Peristiwa tersebut ditaksir terjadi pada abad ke-5 M, di mana di sebelah Koying yang makin besar sudah muncul pula sebuah kerajaan/negeri baru yang bernama Kuntala/Kantoli/Kendari (diprediksi sebagai Kuala Tungkal sekarang) yang pada mulanya juga menjalin kerjasama dengan Koying yang telah mengalahkan Tupo.

Banyak hal yang perlu dipertanyakan sebenarnya, para peneliti dan sejarawan berbeda pendapat mengenai sumber, yang mana hampir keseluruhan sumber didapatkan dari Cina. Meski benar telah ditemukan keramik-keramik zaman Tiongkok lama di sepanjang sungai Batang Hari (Kuala Tungkal atau Muara Tungkal) namun hal tersebut masih jauh dari kesempurnaan data yang dihimpun.

Salah satu sumber lain yang cukup tua adalah Kitab Negarakertagama dan Pararaton yang menyebutkan bahwa Dharmasraya, Jambi dan Palembang tak pernah dan tidak bisa tunduk di bawah kuasa Majapahit. Meski terbilang belum mencapai zaman Koying, namun setidaknya imperium Jambi-Dharmasraya-Palembang adalah kekuatan yang solid karena mampu membendung Majapahit.

Kembali kepada Kuntala, kerajaan tersebut tercatat sangat makmur karena hubungannya dengan kerajaan luar sangat erat serta diperintah oleh seorang pemimpin yang agung. Sumber mulai menguak di mana Kuntala diinterpretasikan sebagai Sriwijaya. Sarjana pertama yang menentang Palembang sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya adalah J.L. Moens. Seorang ahli arkeologi Indonesia, Soekmono tahun 1955 juga menolak Palembang sebagai pusat Sriwijaya (yang dibangun oleh Sri Maharaja Diraja Jayanasa) ia malah mengalokasikan Jambi sebagai pusat dari Sriwijaya. Senada dengan hal itu, Slamet Muljana (1981) juga mengungkapkan hal yang sama, menyetujui bahwa Jambi-lah yang menjadi pusat dari Sriwijaya, bukan Palembang.

Pada bulan Juli-Agustus, tim dari Amerika Serikat melakukan ekskavasi di empat situs di Palembang. Di bawah pimpinan Dr. Bernet Bronson dan Jan Wessemen yang bekerjasama dengan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta mengeluarkan pendapat bahwa Sriwijaya tidak mungkin berada di Palembang, karena situs-situs di Palembang baru ada sekitar abad ke-14. Lalu di mana Sriwijaya yang sebenarnya?

Seorang pendeta Budha, I-Tsing, yang melakukan pelayaran dan singgah di Kerajaan Me-la-you cukup lama mengabarkan bahwa daerah tersebut adalah daerah yang makmur, terletak di tepi sungai dan penghasil emas murni yang sangat berlimpah.

Dalam kronik Cina, Hsin-Tang-Su mencatat kedatangan orang-orang Melayu ke Cina pada tahun 644-645 M, sementara utusan Sriwijaya (Shin-li-fo-sih atau San-fo-tsi) baru datang pada tahun 670 M. Berarti kerajaan Melayu Kuntala telah berubah menjadi Sriwijaya. Kesimpulan tersebut didapatkan setelah mencocokkan sumber lain ke dalam catatan Hsin-Tang-Su.

Nama Kantoli/Kuntala telah dikenal oleh pemerintahan Kaisar Hsiau-wu (459-464 M). Menurut catatannya raja dari Kantoli bernama Sa-pa-la-na-lin-da menyuruh utusannya bernama Taruda untuk pergi ke negeri Cina sebagai utusannya.

Menurut kronik Cina, pada abad ke-5 dan ke-6 M, jauh sebelum nama Siwijaya (Shihli-fo-shih) dan Melayu (Mo-lo-yu) tercantum dalam kronik-kronik Cina, di daerah Asia Tenggara terdapat sebuah negeri atau kerajaan yang disebut dalam kronik Cina dengan nama Kan-to-li.

Keterangan tentang negeri ini terdapat dalam sejarah Dinasti Liang (502-556 M), yang antara lain berbunyi: Negeri Kan-to-li terletak pada sebuah pulau di laut selatan. Negeri ini menghasilkan pakaian dengan motif bunga, kapas dan pinang. Dari kronik-kronik Cina diketahui pula bahwa negeri Kan-to-li mengirimkan utusan ke negeri Cina pada tahun 441, 445, 502, 518, 520, 560, dan 563 M. Oliver W. Wolters mengatakan bahwa pada abad ke5 dan ke-6 M, ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang melakukan perdagangan dengan Cina, yaitu Kerjaan Kan-to-li dan Kerajaan Ho-lotan.

Lalu kapan Dharmasraya muncul?

Dharmasraya baru muncul pada abad ke-7 M, terungkapnya keberadaan kepurbakalaan di daerah aliran Sungai Batanghari tidak terlepas dari hasil survei yang dilakukan oleh Westeneck (seorang ahli pemetaan) pada tahun 1909. Dalam laporan tertulisnya terungkap bahwa di tempat-tempat seperti Pulau Sawah, Lubuk Bulan, dan Padang Roco banyak ditemukan sisa-sisa pondasi bata bekas suatu bangunan kuna.

Setelah laporan itu, baru pada tahun 1920 muncul laporan dari Callenfels tentang keberadaan sisa-sisa bangunan di lokasi yang sama. Pada tahun 1935 seorang peneliti Belanda, F.M. Schnitger melakukan ekskavasi terhadap kepurbakalaan di daerah hulu Sungai Batanghari, khususnya di Situs Padang Roco.

Lalu timbullah pertanyaan bagaimana mungkin penyebaran orang Melayu tersebut begitu nyata dan ramai? Apa perbedaan antara Melayu Dharmasraya dengan Melayu Jambi? Pertanyaan tersebut terjawab dalam catatan yang dinukilkan oleh Mid Jamal dalam bukunya bahwa setelah Kuntala di Jambi berkuasa, mereka menggabungkan kekuatan dengan kerajaan baru di Dharmasraya (yang sebelumnya merupakan kerajaan Minanga didirikan oleh Dapunta Hyang). Itulah mengapa pada naskah kuno Undang-undang Tanjung Tanah dalam sidang Mahatmia nama Dharmasraya (Dhammasaraya) disebut-sebut sebagai raja yang berkuasa. Wilayahnya jauh hingga mencapai Thailand, hal tersebut dibuktikan dengan penemuan prasasti Grahi di Selatan Thailand.

Dalam buku Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang karya Rusli Amran juga banyak membahas tentang kerajaan ini, juga penemuan arca Amoghapasa dan arca Bhairawa yang disinyalir adalah Adityawarman sendiri atau yang biasa disebut sebagai Si Rocok.

D. ANALISIS DATA

Sekarang kita masuk pada bagian akhir yaitu analisis data, setelah sebelumnya dipaparkan tentang perjalanan, sumber-sumber yang dihimpun, kini kita masuk pada tahap yang sangat rentan dan bisa dikatakan sebagai area yang berbahaya dalam dunia deduksi.

Sebelum menetapkan pusat kerajaan Melayu Dharmasraya, lebih dahulu dibicarakan adat-istiadat kaum pendatang yang mendirikan kerajaan Melayu. Di seberang Utara Selat Malaka, terhampar daerah Semenanjung Melayu, yang disebut Malaya, didiami oleh penduduk asli bangsa Melayu. Di seberang Selatan memanjang pantai timur Sumatera, di mana terletak pelabuhan Melayu yang sudah dikenal pada zaman Sriwijaya. Nama Malaya dan Melayu berasal dari kata yang sama, yakni kata Sanskerta malaya, artinya: “bukit”. Kata tersebut berkembang di dua tempat yang berbeda. Di seberang Utara Selatan Malaka, kata tersebut mempertahankan bentuk aslinya Malaya; di seberang Selatan kata tersebut mengalami perubahan bunyi, menjadi Melayu. Di daerah Orissa, masih ada gunung yang bernama Malayagiri, di dekat ujung Comorin ada lagi gunung yang bernama Malayam. Bentuk tersebut terang turunan dari bentuk kata Sanskerta malaya.

Penggunaan kata Melayu juga telah dikenal sekitar tahun 100–150 M seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon. Dan kemudian dalam kitab Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud pulau Melayu.

Bicara mengenai Melayu Dharmasraya, berarti kita sedang bicara tentang kerajaan yang pernah melegenda pada masanya (abad ke-7 M) terusan dari kerajaan Minanga yang didirikan oleh Dapunta Hyang yang datang untuk mengalap berkah dari India, tepatnya di pegunungan Himalaya.

Lalu apa hubungan antara Dharmasraya dengan Jambi? Pada masanya menurut sumber yang dihimpun, kerajaan Kuntala menggabungkan kekuatan dengan Dharmasraya setelah adanya jalinan persahabatan. Melayu Jambi yang dipimpin oleh Sigindo memberikan kebebasan pada Melayu Dharmasraya karena mereka pada kenyataannya adalah bersaudara. Orang-orang yang berlabuh di Teluk Wen adalah orang-orang Cina kebanyakan, sementara kontak dagang orang-orang Dharmasraya adalah dengan pedagang dari Arab, India dan Gujarat.

Mengenai Dharmasraya, kerajaan ini hadir jauh sebelum Adityawarman dilahirkan, karena wangsa Mauli yang ada di Dharmasraya merupakan keturunan Melayu tulen tua atau yang bisa disebut sebagai nenek moyang zaman sekarang.

Kata Dharmasraya sendiri berasal dari kata Dharma yang berarti hukum dan Sraya yang berarti perlindungan, dengan demikian kata DharmaSraya (Dharmasraya sekarang) berarti daerah dengan tatanan perlindungan hukum yang tinggi, berperadaban tinggi dan hal tersebut memang benar dapat dibuktikan. Para pedagang Arab menyebut Melayu sebagai Melaju karena kapal-kapal buatannya dapat berlayar dengan cepat dan berukuran sedikit kecil dari biasanya. Hal tersebut tentu saja mengingat rute sungai yang menjadi urat nadi transportasi ketika itu.

Di dalam karya Tambo Kerintji Voorhoeve memuat transliterasi 261 naskah. Tiga
naskah di antaranya, yaitu nomor 259, 260, dan 261, pada saat itu disimpan di Museum Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (cikal bakal Museum
Nasional), dan kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Ke-258 naskah yang lain berasal dari 83 koleksi naskah/pusaka di Kerinci. Hampir semua naskah Kerinci ditulis pada lima jenis media, yakni bambu, kulit kayu, daun lontar, tanduk, dan kertas dengan menggunakan tiga jenis aksara, yaitu surat injung, jawi, dan sejenis aksara yang oleh Voorhoeve disebut “Jawa Kuno”.

Satu hal yang aneh dan menjadi pertanyaan adalah mengapa naskah Undang-Undang Tanjung Tanah ditulis dengan media daluang? Sebagaimana diketahui bahwa daluang adalah media yang sering digunakan di daerah Jawa dan Madura. Yuk kita bahas lebih jernih lagi!

1. Apa alasan Kertanegara menjalin kerjasama dengan Dharmasraya?

Ini adalah persoalan yang cukup mudah dimengerti karena pada masa Singosari, Kertanegara telah mempermalukan utusan Kubilai Khan, Meng-shi (Men-ci) dengan memotong telinganya (ada yang menulis memotong lidah dan lainnya namun tak menjadi masalah) pandangan Kertanegara langsung dialihkan kepada Melayu Dharmasraya untuk meminta persekutuan. Hal ini membuktikan bahwa Dharmasraya pada mada itu telah jaya juga karena Kertanegara mengetahui dengan pasti wilayah Dharmasraya di pulau Andalas (Sumatera) dan langsung mengirimkan utusannya dalam ekspedisi Pamalayu. Peristiwa tersebut terjadi pada abad ke-12, setelah kejatuhan Sriwijaya yang agung.

Namun mari kita tarik benang merah tersebut ke belakang, ketika Melayu Dharmasraya belum terlalu besar dan hanya Sriwijaya saja yang mendominasi pulau Sumatera hingga ke semenanjung Malaka. Salah seorang sejarawan Minangkabau, Yulizal Yunus saat diminta keterangannya mengatakan bahwa; “Sriwijaya itu pada masa kejatuhannya memindahkan (mengangkut) barang-barangnya ke Dharmasraya, dipindahkan karena Rajendra Cola I menyerang. Jadi antara Sriwijaya dan Dharmasraya itu sudah terjalin juga hubungan baik sejak dulunya.”

2. Uji Radiokarbon yang dilakukan

Untuk mengetahui usia sebuah peninggalan bersejarah salah satunya adalah dengan menggunakan uji radiokarbon, seperti yang dilakukan Uli Kozok terhadap naskah Undang-Undang Tanjung Tanah. Merujuk pada keterangan BPCB Sumatera Barat, sampel candi Awang Maombiak tengah diuji di luar negeri dan tinggal menunggu hasilnya saja. Untuk sekarang masih menggunakan teori relatif saja dalam penentuan abad berapa candi tersebut di bangun, melirik pada peninggalan-peninggalan yang ditemukan (berupa patung-patung perunggu, piring Cina, gerabah, senjata).

“Untuk data absolut kita masih menunggu,” ujarnya.

3. Fungsi candi Padang Roco itu sebagai apa?

Melirik struktur bangunan yang simetris, menggunakan bahan batu yang keras dan berbeda dengan candi pada umumnya di pulau Jawa, banyak asumsi yang dikeluarkan untuk fungsi dari candi tersebut. Salah satunya adalah sebagai ruang tamu raja-raja, mengingat Padang Roco sangat dekat dengan sungai Batang Hari. Namun ini adalah teori yang lemah karena pada umumnya candi Hindu-Budha memiliki gapura megah pada bagian depan ruang tamunya, hal ini dilakukan untuk menunjukkan betapa besarnya wibawa kerajaan tersebut dan di Padang Roco tak ditemukan hal serupa itu.

Sumber kedua menyebutkan bahwa Padang Roco berfungsi sebagai tempat peribadatan, bahkan situs resmi pemerintah Kabupaten Dharmasraya pun menuliskan hal yang sama. Hal tersebut tentu saja didasari karena agama Hindu-Budha sangat menghormati sungai. Setelah pemujaan biasanya mereka akan mandi di sungai suci, seperti India yang mengagungkan Sungai Gangga dan Yamuna. Penemuan-penemuan patung budha dan garuda pun ditemukan di sekitar kawasan Padang Roco, bahkan arca Bhairawa sendiri juga ditemukan di sana.

4. Candi Pulau Sawah dan Awang Maombiak sebagai apa?

Banyak sumber yang didapatkan ketika kita turun langsung ke lapangan. Salah satunya adalah bahwa Pulau Sawah adalah lokasi di mana banyak ditemukan benda purbakala berbahan perunggu dan periuk kuno. Seperti yang disebutkan di atas, bahkan inskripsi kertas emas dari Candi Pulau Sawah VII pun ditemukan di candi Pulau Sawah. Asumsi yang diterima bahwa candi Pulau Sawah adalah bagian dapur kerajaan pada masanya karena banyak ditemukan periuk-periuk kuno. Namun hasil penelitian terbaru menyebutkan bahwa candi Pulau Sawah berkemungkinan dulu difungsikan sebagai tempat peribadatan, menilik dari temuan yang ada dan juga stupa yang banyak ditemukan yang berisi abu.

Agama Buddha mengajarkan kremasi (membakar mayat yang sudah wafat dan meletakkan ke dalam stupa) dan itu ditemukan di Candi Pulau Sawah. Banyak stupa yang ditemukan dan juga arca berukuran kecil dan besar yang menandakan bahwa tempat tersebut dulunya mungkin daja sebagai tempat peribadatan.

Sementara untuk candi Awang Maombiak adalah candi yang istimewa, jika di Padang Roco dan Pulau Sawah tak ditemukan satu pun ukiran (relief) maka di candi Awang Maombiak hal tersebut banyak ditemukan. Arkeolog Minangkabau juga memaparkan pendapatnya bahwa candi yang biasanya memiliki relief adalah kompleks raja-raja. Kami dan tim juga meyakini hal yang sama, relief yang kami temukan di Awang Maombiak adalah relief yang dulunya menyatu dengan dinding karena satu bagiannya diukir sementara satu bagiannya lagi polos.

Melirik dari letaknya pun makin menitikberatkan bahwa candi tersebut dulunya difungsikan sebagai kompleks raja-raja. Candi Awang Maombiak dibangun di atas sebuah bukit yang ke mana pun pandangan diarahkan akan nyata pemandangan yang indah. Jika tak terhalang pepohonan, maka kawasan Padang Roco juga kelihatan dari Awang Maombiak.

5. Keterangan sesepuh terkait situs candi tersebut

Salah seorang sesepuh atau orang yang tahu banyak dengan Dharmasraya saat diminta keterangan menjelaskan bahwa kerajaan itu namanya adalah Swarnabhumi dengan Dharmasraya sebagai ibukotanya. Orangnya tinggi besar dan bertelanjang dada (khas raja-raja pada masa Hindu-Budha).

Dilihat dari segi manapun, kehadiran orang besar di kawasan Sumatera memang sudah menjadi hal yang lumrah, bahkan pada masa kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu pun orang besar masih disebut-sebut, mereka mengatakannya sebagai Inyiak Garagasi, senada dengan keterangan Zera Permana dalam bukunya yang membahas sejarah Pesisir Selatan.

Narasumber kami (tak ingin disebutkan namanya) memaparkan bahwa dulu di sungai Batang Hari pernah ditemukan sebuah cincin yang sangat besar, itu berarti ukuran orang pada masa itu tidak seperti ukuran orang zaman sekarang. Selain itu juga pernah ditemukan ikat pinggang yang juga dengan ukuran yang luar biasa besar.

Alm. Bapak Dasril Panin Datuak Labuan, wakil bupati kabupaten Dharmasraya (2022) menjelaskan bahwa dulu semasa kecil banyak menemukan patung-patung yang berserakan di kompleks percandian tersebut. Belum lagi keterangan dari sumber yang kami jumpai mengatakan bahwa Swarnabhumi adalah kerajaan yang jaya pada masanya, kerajaan inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Pagaruyung saat Adityawarman memindahkan pusat kerajaan ke Saruaso.

6. Bahan candi tersebut bagaimana?

Ditilik dari struktur bata yang kami temukan di ketiga candi (Padang Roco, Pulau Sawah dan Awang Maombiak) bahan yang digunakan adalah sama. Namun yang mencengangkan kami saat melihat struktur dan bahan yang dipakai di situs candi Muaro Jambi juga sama, bahkan ukuran batanya pun nyaris sama. Kombinasi tersebut membuat penelitian kami menjadi lebih kuat, memang antara Dharmasraya-Jambi pada masa dulu telah terjalin banyak kerjasama yang tidak tanggung-tanggung.

Saat melihat ranji raja-raja Dharmasraya, kita akan semakin terang bahwa hubungan antara Sriwijaya-Dharmasraya juga telah terhubung dengan erat. Dalam Tambo Kerinci, Tambo Minangkabau dan Tambo Sriwijaya kita akan menemukan benang merah yang menghubungkan semuanya, ditambah lagi keterangan dalam Kitab Negarakertagama dan Pararaton juga sumber dari Cina pada masa Dinasti Thang (akan kita bahasa dalam satu tulisan terpisah).

7. Aliran Budha apa pada masa Dharmasraya?

Perlu diketahui bahwa aliran dalam Budha sangat banyak (sedikitnya ada 13 aliran) :

1. Theravada
2. Mahayana
3. Vajrayana
4. Nawayana
5. Budhayana
6. Tridharma
7. Kasogatan
8. Maitreya
9. Nichipen
10. Hinayana
11. Tantrayana
12. Syiwa-Budha
13. Wisnu-Budha

Sementara aliran Budha yang ada di Dharmasraya adalah aliran Budha Hinayana (yang tidak memakai sistem kasta) berbeda dengan aliran Budha lainnya yang memakai sistem kasta (akan kita bahas dalam tulisan terpisah).

PENUTUP

Sebenarnya masih banyak yang perlu diceritakan mengenai topik yang sangat menarik ini, namun berhubung tulisan ini sudah dirasa cukup panjang maka kita akan paparkan dalam tulisan terpisah, semoga tulisan singkat ini bisa membuka rasa penasaran dan minat kita terhadap benda peninggalan purbakala dan juga situs-situs bersejarah. Akan kita ulik bagaimana perjalanan Dharmasraya dari masa ke masa sampai lahirnya kerajaan Pagaruyung, saat Adityawarman memindahkan pusat kerajaan ke Saruaso dan perseteruannya dengan Datuk yang berdua (Katumanggungan dan Parpatih Nan Sabatang) pun mengenai hasil terbaru dari riset yang dilakukan BPCB juga akan kita paparkan nantinya. Namun sebagai salam terakhir kita memiliki PR bagaimana sosok Adityawarman yang sesungguhnya itu? Apakah benar seperti Bhairawa atau Si Rocok yang beringas? Yang memegang pisau di tangan kanannya dan gelas darah di tangan kiri serta menginjak tengkorak manusia?

(Haris)

Pos terkait