Sebelas Hari Wafatnya Buya Syafii Maarif

Oleh: Adpi Gunawan

Penyuluh Pertanian Muda,
Bendahara Panitia Pembangunan Gedung Dakwah Muhammadiyah – Ahmad Syafii Maarif (PPGDM-ASM) Sijunjung,
Pemerhati Sosial,
Wartawan topsumbar.co.id

Sijunjung │ Topsumbar – “Saudara kerjanya apa?”, Penyuluh Pertanian Pak, jawab saya. Itulah percakapan kami, antara saya dengan Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif yang lebih dikenal dengan panggilan Buya, namun saya memanggil beliau dengan sebutan Bapak pada pertemuan tersebut.

Bacaan Lainnya

Pertemuan antara kami dengan Buya Syaffi Maarif terjadi pada hari Senin malam tanggal 2 September 2019 di Rumah Dinas Bupati Sijunjung. Sebelumnya, pertanyaan yang sama juga diajukan Buya Syafii Maarif kepada sahabat saya Janaka Adisran “Di Pemda Buya” jawabnya, kemudian pertanyaan serupa berlanjut kepada Emzamzami “Swasta Buya” jawabnya.

Itulah pertemuan saya pertama kali dengan Buya Syafii Maarif, kemudian kami tak pernah lagi bertemu secara langsung dan tak akan mungkin pernah bertemu karena Buya Syafii Maarif telah wafat pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2022 di Yogyakarta.

Meskipun Buya Syafii Maarif telah wafat, namun kenangan akan sosok Guru Bangsa ini tak pernah luput dari ingatan saya meskipun awalnya saya mengenal Buya Syafii Maarif hanya melalui media massa saat beliau menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggantikan Prof. Dr. Amien Rais pada 1998.

Meskipun Buya Syafii Maarif beberapa kali memang ke Sijunjung sekaligus pulang kampung ke Nagari Sumpur Kudus sebagai bentuk kepedulian beliau terhadap pembangunan di daerah dan menginap di Ibukota Kabupaten namun tak pernah kami bersua apalagi berkomunikasi.

Adapun terjadinya komunikasi diantara saya dengan Buya Syafii Maarif adalah karena adanya pembangunan Gedung Dakwah Muhammadiyah – Ahmad Syafii Maarif (GDM-ASM) Kabupaten Sijunjung yang berlokasi di Muaro Sijunjung dan saya diberi amanat untuk menjadi bendahara, sementara ketua adalah Janaka Adisran dari Sumpur Kudus dan sekretaris yaitu Emzamzami dari Palaluar (sekampung dengan saya).

Ada beberapa poin penting yang patut dipedomani, ditiru dan diteladani dari Buya Syafii Maarif, walau hanya sekali pertemuan diantara saya dengan beliau, Pertama adalah cara beliau memanggil. Meskipun usia saya separuh daripada usia beliau, tak mau Buya Syafii Maarif memanggil dengan sebutan “kamu”, “anda”, apalagi “waang”, dengan halusnya beliau memanggil saya dengan panggilan Saudara.

Kedua, mengenai pekerjaan, belakangan barulah saya sadar bahwa ternyata pekerjaan berpengaruh besar terhadap personal yang akan mengurusi organisasi kemasyarakatan atau lembaga sosial karena membutuhkan pengorbanan baik dari segi waktu, tenaga, pikiran dan sangat rawan terhadap godaan penyimpangan dana.

Pelajaran ketiga, Buya Syafii Maarif menginstruksikan “Lanjutkan pembangunan Gedung Dakwah Muhammadiyah, sebelum masa jabatan Bupati berakhir bangunan harus siap”. Nyatanya hingga berakhir periode kepemimpinan Bupati dan digantikan oleh yang baru, kemudian terjadi wabah pandemi covid-19, sehingga bangunan belum juga selesai, namun Buya Syafii Maarif tak marah apalagi mengungkit kembali instruksinya terdahulu. Malah saat Milad Muhammadiyah ke-109 di Gedung Pancasila yang dihadiri secara virtual oleh Buya Syafii Maarif pada 21 Nopember 2021, beliau menyebut inilah awal kebangkitan Muhammadiyah di Sijunjung.

Pelajaran keempat, Buya Syafii Maarif mengatakan “Muhammadiyah itu lurus, asal kita baik maka banyak orang yang peduli termasuk CSR”. Disini dapat dipetik pelajaran berharga akan pentingnya keterbukaan, menjaga kepercayaan serta pertanggungjawaban dalam sebuah pekerjaan.

Selanjutnya yang kelima, pernyataan Buya Syafii Maarif “Sejak bumi terkembang, PDM tak punya kantor” ini merupakan bentuk ke-Minang-an seorang Buya Syafii Maarif.

Meskipun besar di Yogyakarta kemudian melanjutkan studi di Amerika, namun beliau tak pernah tercabut dari keluhuran nilai akar budayanya. Ciri orang Minang pada umumnya adalah kiasan serta hiperbola dalam bertutur.

Keenam, “Jangan pakai nama saya” demikian Buya Syafii Maarif menegaskan dengan setegas-tegasnya. Namun dengan penuh kesungguhan Janaka Adisran sang ketua meyakinkan Buya Syafii Maarif bahwa pemakaian nama Ahmad Syafii Maarif untuk nama gedung bukanlah bentuk mengkultus individukan, namun lebih sebagai bentuk penghargaan daerah terhadap jasa-jasa Ahmad Syafii Maarif yang telah berkontribusi bagi bangsa dan negara sekaligus peduli terhadap pembangunan di daerah.

Ketujuh, “Awasi kinerja kontraktor” demikian Buya Syafii Maarif menambahkan dalam pertemuan yang dihadiri oleh 13 orang pada malam itu (data 13 orang saya dapatkan setelah menghitung jumlah orang dalam poto yang telah dipajang di dinding rumah saya). Pengawasan merupakan salah satu kunci keberhasilan dari empat unsur manajemen klasik yang masih relevan hingga sekarang (planning, organizing, actuating, controlling).

Kedelapan, Buya Syafii Maarif mengajukan pertanyaan “Coba ulangi lagi apa yang saya sampaikan, ada di tulis?” semua yang hadir terdiam. Tak satupun kami yang mencatat pernyataan Buya Syafii Maarif. Beruntunglah saya masih sempat membawa “Buku Kerja Penyuluh Pertanian” yang diproduksi oleh Dinas Pertanian melalui APBD Tahun 2018 pada malam itu. Setelah didiktekan ulang akhirnya saya menulis kembali pernyataan Buya Syafii Maarif.

Pelajarannya disini yaitu, meski di usia yang tak lagi muda Buya Syafii Maarif selalu membiasakan diri untuk menulis. Dan menulis ini sangat erat kaitannya dengan membaca. Tercatat hingga tulisan ini dibuat, Ahmad Syafii Maarif masih tercantum sebagai Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah, sebuah majalah dwi mingguan yang pertama kali terbit pada tahun 1915 dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan dan kini hadir versi digital.

Buya Syafii Maarif mencintai Muhammadiyah dibuktikannya dengan menjalani pengobatan di Rumah Sakit Muhammadiyah, beliau yang juga seorang jurnalis, pengajar, guru besar, dan cendekiawan menjadi penulis yang produktif dan rajin membaca. Sebuah kebiasaan yang baik.

Melalui rubrik Resonansi di republika.co.id tulisan-tulisan terakhir Buya Syafii Maarif yang saya baca adalah “Tukang Tambal Ban”, kemudian “Generasi Perengek”, lalu “Serangan Umum 1 Maret 1949” dan saya masih menunggu-nunggu sebetulnya tulisan Buya Syafii Maarif selanjutnya. Namun itu tak akan terwujud, karena beliau telah terbaring di Pemakaman Husnul Khatimah, Kulonprogo, Yogyakarta, dan saya berkeyakinan Buya Syafii Maarif “Husnul Khatimah”.

Pos terkait