Sengketa Jual Beli Tanah Pusako, Yulizal Yunus: Kaum Malayu Gantiang Harus Segera Melapor ke Polisi

Enam tahun telah berupaya dalam pencegahan dan melakukan gugatan terbitnya sertifikat pusako tinggi atas nama pribadi oleh Marnis (Dubalang Suku Malayu). Kini Kaum Malayu Gantiang Jorong Batukarak Nagari Dilam Kabupaten Solok dikejutkan dengan telah terbitnya sertifikat atas pusako tinggi yang dikuasai oleh Marnis di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Solok.

“Entah bagaimana caranya sertifikat itu bisa terbit, padahal kita dengan seluruh anggota kaum terus menggugat permohonan penerbitan sertifikat oleh Marnis ke BPN,” kata Syahrial Malin Batuah selaku Mamak Kaum di Malayu Gantiang pada TopSumbar.co.id, Senin (24/08/2020).

Lebih lanjut Syahrial Malin Batuah menyebutkan, dugaan dari tujuan menerbitkan sertifikat tersebut adalah untuk diperjualbelikan. Itu dibuktikan dengan adanya transaksi jual beli tanah sawah di Jorong Kapalo Koto Nagari Dilam oleh Marnis kepada Yosep Ilham.

Bacaan Lainnya
Kaum Malayu Gantiang Jorong Batukarak Nagari Dilam melakukan aksi penolakan pengukuran tanah di Gurun Kandang Cangkuek Jorong Palokoto, Jumat (19/03/2020).

Senada dengan itu, Erma Nova anggota Kaum Malayu Gantiang (Adik sepupu dari Marnis) membenarkan apa yang dikatakan oleh Mamak Kepala Kaum nya itu. Ia pun secara pribadi telah mengupayakan secara maksimal untuk membatalkan terbitnya sertifikat itu, baik ke pemerintahan nagari, Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan lembaga terkait di Nagari Dilam.

“Selain itu, kita juga telah meminta Niniak Mamak Suku Malayu Batukarak Nagari Dilam untuk membantu menyelesaikan permasalahan ini, namun sampai sekarang belum membuahkan hasil,” tutur Erma Nova.

Malahan, dilanjutkan Erma Nova, dari keterangan pihak BPN Kabupaten Solok saat kami konfirmasi, Senin (24/08/2020), menjelaskan, BPN Kabupaten Solok pernah melayangkan surat ke KAN Dilam untuk menyelesaikan permasalahan sengketa harta “Pusako tinggi”, yang terjadi di anggota Kaum Malayu Gantiang ini. Namun sampai sekarang, kami tidak pernah dipanggil oleh KAN Dilam terkait permasalahan itu.

“Sekarang tanpa kami ketahui, permohonan sertifikat yang diajukan oleh kakak kami Marnis ke BPN Kabupaten Solok telah diterbitkan, nah ada apa sebenarnya” keluhnya.

Munculnya masalah ini di kepolisian dan diliput berbagai media mencuri perhatian berbagai pihak, baik orang rantau, pengamat, dan pakar hukum. Salah satunya ahli Sejarah Islam Sumatera Barat (Sumbar) Doktor Yulizal Yunus.

Doktor yang juga pernah menjabat Dekan Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN (sekarang UIN) Imam Bonjol Padang ini menilai, masalah ini tidak harus berujung di kepolisian. Ia mengatakan bahwa masalah jual beli harta pusako ini harus duduk dulu perkaranya antara kemenakan, dan mamak di Kaum Malayu Gantiang Jorong Batukarak Nagari Dilam.

“Dalam adat Minangkabau kan sudah jelas, bahwa pusako tingi itu tidak bisa digadai apalagi dijual. ‘Kok digadai ndak dimakan sando, Dijua indak dimakan bali’, artinya tidak bisa disandra atau tidak bisa dialihkan kepada orang lain. Masalah ini muncul sekarang, kok digadai indak tabayia, nan mamagang dipindahkan pula ke orang lain. Dijua indak dimakan bali artinya indak terbeli, ini harus dipahami dulu,” jelasnya.

Dijelaskannya, prinsip dasar dalam tatanan adat nan sabatang panjang di Minangkabau harta pusako ada tiga, yakni:

  1. Kalau mau berpindah tangan tidak boleh keluar dari kaum nya. Artinya harta pusako tinggi tidak boleh pindah ke tangan orang lain.
  2. Kalau mau dijual juga, haruslah ke dusanak terdekat dulu, mulai dari saparuik, sakaum, sasuku.
  3. Bulieh digadai atau dijual jika memenuhi tiga syarat, rumah gadang katirisan, mayat terbujur di atas rumah, gadih gadang indak balaki, atau rando indak balaki.

Dikatakan nya, digadai atau dijual boleh untuk memperbaiki rumah gadang tersebut, tapi kan sekarang ndak ada rumah gadang nan katirisan? Mayat terbujur di atas rumah, tidak ada biaya untuk penyelenggaraan nya, tidak harus juga kita menggadai atau menjual harta pusako tinggi, kan kita hidup bermasyarakat dalam nagari. Gadih gadang indak balaki, atau rando indak balaki, boleh mengambil harta pusako untuk panutuik malu atau panutuik malu nan alah tacoreang di kaniang, atau mambangkik batang tarandam, contoh datuak nan alah lamo talipek, ndak ado yang ma angkek nyo, kaum lah basamo-samo ma angkek penghulu nyo.

“Kalau melihat masalah ini, berarti rumah gadangnya yang sudah dijual,” tegas Doktor Yulizal Yunus.

Ia juga menjelaskan, bagi orang Minangkabau boleh menggadai, tapi tidak dinampakkan, masih bisa ditahan ya ditahan dulu, seperti pepatah Kalau indak kayu janjang dikapiang, kalau tak ameh bungkah diasah artinya, diesek nan lain dulu kok ado kacio, tabungan, atau panaruah nan lain nyo.

“Kalau mamak terpaksa juga menjual mungkin dengan alasan lain, harus dengan kesepakatan kaum. Kalau tidak kesepakatan kaum mamak menjual harta pusako tinggi, berarti mamak sudah melakukan kejahatan terhadap adat, dan itu sudah pidana masalahnya,” ungkap Yuyu sapaan akrab Doktor ke 97 lulusan Program Pascasarjana UIN IB Padang itu.

Mamak sudah melakukan kejahatan, jelasnya, dan merusak tatanan adat di kaum nya sendiri, dan itu harus dilaporkan. Sebab di Minangkabau nan mamak itu bukan raja, Penghulu ninik mamak harus berdasarkan kesepakatan kaum, rajo sakato alam. Maka ada ungkapan penghulu sakato kaum, rajo sakato alam,” tegas Yuyu.

Dijelaskan nya lagi, di Minangkabau harta pusako itu yang memelihara nya adalah mande nan tuo, namonyo mande sako. Mande sako inilah yang memegang pusako, sedangkan mamak hanyalah sebagai pengawas, bahwa harta pusako ini tidak boleh disampang siurkan.

“Inikan harta komunal, harus diamanahkan dan dipegang kuat-kuat. Kalau mau menjual harus sepakat dulu dengan Mande sako dan selingkar kaum. Tapi kalau dicurangi dan tidak ada kesepakatan kaum itu sudah merusak tatanan adat kita sendiri. Itu merupakan kejahatan dan segera laporkan,” kata Doktor Yulizal Yunus saat dihubungi keluarga Kaum Malayu Gantiang, Kamis (20/08/2020).

Keponakan boleh menyidangkan mamaknya, lanjutnya, dipanggil mamak itu lalu disidangkan dengan kemenakan. Kalau ndak kuat minta bantuan pengamanan pada ninik mamak di nagari, jangan ke polisi, malulah kita, urusan pusako berujung di kepolisian.

Melihat kasus jual beli tanah di Kaum Malayu Gantiang Nagari Dilam, mestinya kaum yang melaporkan mamak (penjual tanah) ini ke polisi. Karena sudah melakukan pengacauan terhadap tatanan adat yang berlaku.

“Seharusnya mamak itu yang memelihara adat, mamak itu pula yang mengacau, berarti pagar makan tanaman, segera laporkan itu. Datuk saja di Minangkabau ini tidak bisa menjual harta pusako apalagi Dubalang, tidak boleh,” kata Yuyu.

Sudah enam tahun Kaum Malayu Gantiang Jorong Batukarak Nagari Dilam melakukan gugatan ke KAN Dilam dan BPN Kabupaten Solok, bahkan KAN Dilam sudah mengeluarkan pernyataan tahun 2014 bahwa tanah pusako tinggi Kaum Malayu Gantiang tidak boleh dijual.

“Dalam keputusan KAN Dilam itu poin kedua menetapkan, selama Kaum Maridin Rajo Api (Mamak Marnis) Suku Malayu Batukarak masih hidup, maka sako dan pusako dibawa, dikelola dan dinikmati hasilnya oleh kaum tersebut,” sebutnya.

Poin ketiga, dikatakan setelah Kaum Maridin Rajo Api punah, maka putuih nan ka mauleh adalah Kaum Junahar Malin Batuah Suku Malayu Batukarak yang gala nya saat ini dipakai oleh Syahrial,” tegasnya.

Ia juga mengatakan keputusan KAN Dilam tersebut jelas-jelas telah dilanggar oleh Marnis, dengan telah melakukan praktik jual beli dengan Yosep Ilham tanpa sepengetahuan dan persetujuan Kaum Malayu Gantiang Jorong Batukarak Nagari Dilam.

Melihat kasus ini, polisi bisa saja mengembalikan ke kaum, seharus nya Mamak Kaum Malayu Gantiang itu yang melaporkan ke polisi bahwa harta kaum ada yang dijual. Si penjual sudah mengacau tatanan adat dan merusak harta komunal Kaum Malayu Gantiang, itu sudah duduk pasalnya. “Orang yang seharusnya memelihara adat seharusnya tidak mengacau adat,” tambah Yulizal Yunus.

Ia menegaskan, siapa yang mengacaukan tatanan adat itu adalah pidana, sudah merusak dan melanggar hukum adat, melanggar Undang-undang Dasar (UUD), melanggar Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014, melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 2008 dan banyak yang dilanggarnya.

Kaum Malayu Gantiang juga harus segera melaporkan ini ke polisi, karena sipenjual (Dubalang Suku Malayu) itu fungsinya adalah pengamanan di dalam kaum, kok malah pengamanan pula yang mengacau dan merusak adat. Dubalang itu kan fungsinya pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), nah disinilah polisi memiliki peran membina Kamtibmas ini demi menegakkan hukum.

“Masa orang yang menegakkan hukum pula yang merusak hukum? Dubalang itu tagak di pintu mati, dia harus mati-matian membela harta pusako kaum nya,” kata Yulizar Yunus mengakhiri. (TIM)

Pos terkait