Shalat Jumat Tidak Wajib Saat Wabah Covid-19

Oleh: Abrar

Tradisi, Ibadah dan keyakinan beragama khususnya bagi masyarakat Minangkabau telah menjadi bagian inheren dalam hidup yang sulit untuk diubah, apalagi ditinggalkan.

Meskipun tidak semua berlatar pendidikan agama, tetapi orang Minangkabau terkenal kokoh dan kekeh menjadikan agama sebagai tolak ukur kehidupannya.

Bacaan Lainnya

Saat wabah Covid-19 datang beragam interpretasi muncul berkaitan dengan sikap beragama itu. Termasuk mereka yang tidak mendalami ilmu agama sekalipun, terutama ilmu fikih.

Tidak disangkal lagi bahwa al-Quran dan al-Sunnah menjelaskan tentang kewajiban shalat Jumat seperti QS. al-Jumah (62 ) : 9 ; “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu diseru untuk shalat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jual beli…”. Ayat ini disepakati oleh ulama tentang wajib melaksanakan shalat Jumat dengan memperhatikan adanya kata perintah fas’au ila zikrillah.

Beberapa hadis juga menjelaskan tentang ancaman bagi orang yang tidak melaksanakan Jumat.

Hadist Riwayat Abu Dawud, An-Nasai, dan Ahmad menjelaskan Sabda Rasulullah tentang “Siapa meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena meremehkan, niscaya Allah menutup hatinya”.

Hadis lain seperti diriwatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah bersabda, “Sungguh, aku ingin sekali memerintahkan seseorang mengimami shalat di tengah masyarakat, kemudian aku akan membakar rumah mereka yang tertinggal dari shalat Jumat,” dan beberapa hadis lainnya juga menjelaskan tentang kewajiban shalat Jumat tersebut.

Mungkin sebagian masyarakat mengetahui dalil-dalil itu dan sebagian juga bisa jadi tidak mengerti mengapa mereka wajib melaksanakan shalat Jumat. Karena orang Islam dalam kajian fikih dikategorikan menjadi tiga kelompok.

Pertama, orang yang disebut Mujtahid, yaitu mereka yang mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul dengan baik dan mendalam serta mampu menemukan hukum-hukum itu dalam menjawab fenomena hukum Islam yang terjadi.

Kedua, Muttabi’ yaitu orang yang mengikuti pendapat ulama dengan mengetahui dalil-dalil atau argumentasi tentang pendapat itu.

Ketiga, Muqallid yaitu orang yang beramal dengan mengikuti apa saja yang dikerjakan ulama atau orang lain tanpa didasarkan pada pengetahun dan argumentasi tentang amalannya itu.

Setidaknya umat Islam diharapkan mampu menempati posisi kedua sebagai muttabi’ sebagai bagian dari kewajiban untuk menggunakan ‘akal’.

Kategorisasi di atas seharusnya menjadikan masyarakat mengetahui posisi di mana mereka harus menempatkan diri.

Melakukan ijtihad termasuk fatwa hanyalah otoritas/hak orang orang yang mengetahui secara dalam tentang hukum Islam (faqih).

Sedangkan di luar itu seperti Muttabi’ apalagi muqallidhanyalah mengikuti hasil ijtihad dan juga fatwa para ulama mujtahid.

Meskipun hukum yang dilahirkan oleh ulama terutama dalam fatwa adalah zhan (tidak qath’i) tetapi zhan di sini sudah hampir mencapai tingkat pasti karena didasarkan pada sumber otoritatif yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau MUI dan diperkuat oleh instruksi pemerintah pada hakikatnya secara fikih sudah menempati posisi paling tinggi diantara produk hukum (fikih) lainnya.

Covid-19 sudah dinyatakan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization, sering disingkat WHO, sebagai pandemi dan virus ini mematikan. Secara realitas di banyak negara bahkan sampai ke Sumatera Barat virus ini sudah menyebar dan merenggut nyawa.

Perdebatan kewajiban shalat Jumat bagi umat Islam khususnya di Sumatera Barat masih saja berjalan. Sebagian sudah menjalankan sepenuhnya untuk mengganti dengan shalat zuhur di rumah, dan sebagian tetap melaksanakan ibadah Jumat.

Memang di dalam fatwa MUI diberikan alternatif-alternatif tentang pelaksanaan shalat Jumat berkaitan dengan Covid-19. Ada larangan shalat Jumat jika dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali yang mengancam jiwa. Larangan itu berlaku sampai keadaan normal kembali dan wajib menggantinya dengan shalat zuhur.

Adapun di tempat penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam tetap wajib menyelenggarakan shalat Jumat.

Persoalan yang muncul kemudian adalah, bagaimana memastikan bahwa di daerah tertentu terkendali, karena pembawa virus ini (carrier) tidak diketahui secara pasti.

Dalam hal inilah sebenarnya masyarakat berbeda sikap dalam melaksanakan shalat jum’at. Sebagian menganggap wilayahnya sudah rawan penyebaran virus dan sebagian yang lain masih menganggap normal saja.

Anggapan seperti di atas tentu wajar-wajar saja, karena tidak ada standar yang dijadikan patokan daerah yang rawan secara detail, meski pemerintah telah mengeluarkan data tentang perkembangan Covid-19 di daerah masing-masing.

Sumatera Barat seperti diinformasikan mengalami kesulitan dalam menangani fenomena Covid-19 ini, mulai dari ketersediaan peralatan medis di rumah-rumah sakit apalagi dengan tingkat penambahan pasien yang semakin hari semakin meningkat jumlahnya.

Menghindari berkembangnya Covid-19 ini pun sudah dapat dijadikan kategori hukum pertama yang dijelaskan MUI untuk tidak melakukan shalat Jumat, karena jika kondisi rumah sakit dan pasien Covid-19 dengan segala derivasinya bertambah maka itu akan menimbulkan kemudharatan baru.

Agama mengajarkan agar kemudaratan itu harus dihilangkan (al-Dhararu Yuzal). Seperti sering dicontohkan dalam kajian ushul fikih tidak boleh membuat lubang di depan pintu rumah seseorang, karena akan mengakibatkan si pemilik rumah akan jatuh ke lubang tersebut.

Tetapi apakah ada kepastian penghuni rumah akan menginjak lubang tersebut, tentu tidak. Itu hanya dugaan kuat.

Sama halnya dengan berkumpulnya orang pada shalat Jumat tidak bisa dipastikan terkena virus corona, tetapi diduga kuat akan bisa terkena bahkan menyebarkan virus tersebut. Dalam kajian metodologi hukum Islam dinamakan dengan sadd li al-zari’ah (menutup peluang terjadinya kerusakan)

Menjaga diri dari timbulnya penyakit dan kematian dari Covid-19 hukumnya wajib karena itu termasuk dalam al-dharuriyyah al-Kamsah.

Pun memutus mata rantai dari menyebarnya Covid-19 hukumnya juga wajib. Karena proses menuju sebuah ketentuan hukum itu sama dengan hukum itu sendiri.

Ini sesuai dengan kaedah hukum : Amru bi al-syai’ Amrun bi wasa ilihi, Nahyun ‘an syai’ nanyun wasailihi (perintah terhadap sesuatu juga perintah untuk mengikuti jalannya, larangan terhadap sesuatu juga larangan mengikuti jalannya).

Meninggalkan shalat Jumat untuk kepentingan pemeliharaan jiwa sangat diapresiatif dalam hukum Islam, bahkan termasuk bagian dari tujuan disyariatkannya hukum itu sendiri (maqashid al-syari’ah).

Allah membolehkan melakukan yang terlarang bahkan meninggalkan perintahnya untuk memelihara jiwa dari kematian.

Tidak melaksanakan perintah Allah, melaksanakan shalat Jumat bukanlah pembangkangan terhadap perintahNya, tetapi justru mejalankan perintah Allah dalam bentuk yang berbeda dan itu juga perintah.

Kematian itu tidak bisa dipastikan, karena itu adalah kuasa Allah, tetapi usaha menghindari Covid-19 yang menyebabkan kematian itu bisa dilakukan oleh manusia.

Hal ini sesuai dengan kaedah hukum Islam; Nahnu Nahkumu bi al-Zhawahir wa Allah Yatawalla bi al-Sarair (kita hanya bisa melihat ketentuan hukum menurut zhahirnya saja, dan Allah yang tahu dibalik yang tersembunyi).

Oleh karena itu lebih baik memastikan yang tampak (menghindari Covid-19) dari pada mengatakan bahwa Allah yang menentukan kematian. Karena kematian urusan Allah dan urusan manusia adalah menghindari bahaya Covid 19 itu sendiri.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.(*)

Penulis adalah Dosen Politik Hukum Islam Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang dan Ketua Umum Yayayan Thawalib Padang Panjang.

Pos terkait