Ruang Digital dan Bunuh Diri di Sumbar

Oleh : Sartana, M.A

Dalam tiga minggu terakhir, sejak 19 Februari hingga minggu pertama Maret 2024, di Sumatera Barat ada empat kejadian bunuh diri yang berlangsung secara beruntun. Tiga kejadian terjadi pada bulan Februari melibatkan seorang ibu rumah tangga di Padang Pariaman, seorang pria di Limapuluh Kota, dan seorang pelajar perempuan di Padang Pariaman. Kejadian terbaru, pada awal Maret, melibatkan seorang mahasiswa kedokteran yang ditemukan gantung diri di rumahnya.

Kejadian itu kembali menegaskan pentingnya perhatian serius terhadap isu kesehatan mental dan bunuh diri di Sumbar. Karena berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, Sumatera Barat menempati ranking ke delapan propinsi dengan jumlah bunuh diri tertinggi. Jawa Tengah merupakan provinsi dengan kasus bunuh diri paling banyak, yaitu 356 kasus. Kemudian di susul Jawa Timur 184 kasus, Bali 84, Jawa Barat 60, DI Yogyakarta 48, Sumatera Utara 41, Lampung 27, lalu setelah itu Sumatera Barat dengan jumlah 26 kasus.

Data itu adalah data yang tercatat. Sementara banyak kasus bunuh diri yang tidak tercatat. Terkait ini, harian Kompas menulis bahwa 859, 10 persen kasus bunuh diri di Indonesia tidak terlaporkan. Itu artinya, jumlah kasus yang sebenarnya bisa jadi delapan kali dari data-data yang dipaparkan dalam laporan Pusiknas Polri tersebut.

Hal itu sekilas juga terlihat dari data Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kabid Humas Polda Sumbar Pol Dwi Sulistyawan yang menyebutkan bahwa dalam rentang Januari-November 2023 telah terjadi 67 kasus bunuh diri di Sumbar (padek.jawapos.com). Jumlah ini lebih tinggi dari data yang disiarkan oleh Pusiknas Polri.

Tentu, ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri. Orang dapat melakukan bunuh diri karena masalah asmara, masalah keuangan, bullying, tekanan pekerjaan, dan sebagainya. Tetapi, masalah ketahanan mental menjadi salah satu faktor resiko yang utama memengaruhi seseorang untuk melakukan bunuh diri.

Saat ini, salah satu yang dapat menjadi sumber masalah mental dan memicu orang untuk melakukan bunuh diri tersebut adalah teknologi digital. Berbagai bentuk hubungan sosial, tontonan, atau stimulus yang tersaji di layar seseorang dapat menjadi sumber tekanan mental. Tekanan mental yang timbul dari teknologi dan dunia digital ini kerap disebut sebagai stress digital. Meskipun ada juga yang menyebut sebagai e-stress, sebagai singkatan dari elektronik stress.

Menurut Hefner dan Vorderer (2016) seseorang dapat didera stress digital karena mereka terpapar oleh konten sosial yang sangat banyak dan beragam. Orang juga dapat merasa stress juga karena mereka cemas atau takut terhadap respon atau reaksi orang terhadap jejak digital mereka di dunia maya. Selain itu, karena mereka takut ketinggalan sesuatu yang baru. Ketakutan demikian dapat menjadi beban tersendiri bagi orang bersangkutan. Ia dapat menyebabkan munculnya kelelahan secara emosional.

Karena tekanan mental dan sumbernya yang tidak kelihatan, orang kerap gagal untuk menjelaskan keterkaitan antara aktivitas berselancar di dunia maya dengan kesehatan mental mereka. Apalagi untuk mengkaitkan perilaku demikian dengan bunuh diri. Hal itu dapat dijelaskan ketika ada lembaga yang secara berkala melakukan survey dengan populasi yang luas mengenai kesehatan mental masyarakat.

Penelitian umumnya ini dilakukan di negara-negara maju, misalnya Amerika. Karena untuk mengerjakan ini tentu butuh biaya yang besar. Sehingga yang mampu melakukan adalah lembaga-lembaga pemerintah, atau lembaga survey swasta atau sosial yang memiliki sumber dana yang memadai. Secara umum, riset-riset tentang pengaruh ruang digital terhadap kesehatan mental di Indonesia masih dilakukan pada konteks atau skala mikro. Sehingga kadang kurang kuat untuk mendukung kesimpulan-kesimpulan umum yang lebih kuat.

Tentang pengaruh dunia digital terhadap peningkatan stress itu sudah diuji oleh beberapa penelitian. Salah satu contohnya, Leventhal (2021) melakukan sebuah analisis berbasis populasi di Amerika Serikat, dengan data individu multi-tahun dengan peserta 72.942 orang. Riset ini menunjukan adanya penggunaan media sosial secara berlebihan berhubungan dengan peningkatan kasus bunuh diri yang dilakukan pada remaja.

Riset Lubenets dan timnya (2022) menyimpulkan bahwa ruang digital memfasilitasi perbuatan bunuh diri bukan semata karena menimbulkan stres, melainkan juga karena memungkinkan orang menciptakan ideasi bunuh diri. Selain itu, kadang-kadang ruang digital juga dapat memberikan dukungan dan dorongan untuk melakukan tindakan tersebut.

Mempertimbangkan temuan riset tersebut, penting adanya perhatian untuk penciptaan ruang dan perilaku digital yang sehat supaya orang mengalami stress digital dan dijauhkan ide untuk melakukan bunuh diri. Usaha itu perlu dilakukan pada level mikro, meso hingga makro.

Menurut penelitian Winstone dan rekan-rekan (2023), pencegahan stres digital pada tingkat individu dapat dilakukan dengan mengatur pengaturan media sosial. Penelitian ini menunjukkan bahwa mengatur privasi di media sosial dapat meningkatkan ketahanan terhadap beberapa sumber stres digital. Namun, yang lebih krusial adalah meningkatkan sumber daya sosial dan emosional dalam kehidupan sehari-hari melalui hubungan dengan orang-orang di sekitar, bukan hanya secara daring.

Namun, karena masalah mental yang timbul dari ruang digital bersifat massif, intervensi perlu dilakukan pada skala yang luas, termasuk di tingkat kelompok dan masyarakat, dengan menciptakan budaya digital yang mendukung kesehatan mental.

Diperlukan regulasi atau hukum yang mendorong apresiasi untuk individu yang menciptakan lingkungan positif di media sosial, sementara memberikan sanksi kepada mereka yang menyebarkan nilai-nilai negatif. Melalui pendekatan ini, diharapkan budaya digital yang mendukung kesehatan mental dapat tumbuh, membuat ruang digital menjadi tempat yang nyaman dan mengurangi risiko masalah kesehatan mental.

Padang, 14 Maret 2024

Sartana, M.A adalah Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Universitas Andalas

Pos terkait