Mantan Rektor IAIN Imam Bonjol Padang Prof Amir Syarifuddin Meninggal Dunia, Thawalib Padang Panjang Turut Berduka

TOPSUMBAR – Mantan Rektor Institut Agama Islam (IAIN) Imam Bonjol Padang (kini UIN Imam Bonjol Padang, red) Dua periode Prof DR H Amir Syarifuddin meninggal dunia.

Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin meninggal dunia di kediamannya di Lubuk Lintah, Kuranji, Padang pada 27 Desember 2023 pukul 08.50 WIB dalam usia 86 tahun.

“Innalillahi wainna ilaihi raajiun. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu, waadkhiljannata matswahu,” ujar Ketua Yayasan Thawalib Padang Panjang DR. Abrar melalui keterangan tertulis diterima Topsumbar.co.id, Rabu jelang siang ini.

“Insya Allah setelah zuhur di shalatkan di Masjid Kampus UIN Imam Bonjol Padang dan Insya Allah akan di maqamkan di Pakan Sinayan Kabupaten Agam,” sambungnya.

Thawalib Padang Panjang sebut Abrar turut berdukacita atas berpulangnya almarhum yang adalah juga salah seorang alumni terbaik Perguruan Thawalib Padang Panjang.

“Kami pengurus Yayasan Thawalib Padang Panjang beserta segenap santri Perguruan Thawalib berdukacita dan kehilangan salah seorang tokoh penting tidak saja di Sumbar tapi juga di Indonesia, selamat jalan Prof,” ujar Abrar.

Tentang Prof Dr H Amir Sjarifuddin

Dikutip dari tulisan Riga Firdaus Asril berjudul ‘Prof. Dr. Amir Syarifuddin : Sepanjang Hidup untuk Belajar dan Mengajar’ Haluan.id, (2021), Amir Syarifuddin lahir di sebuah desa kecil di kaki Gunung Singgalang pada 9 Mei 1937, Amir Syarifuddin mengaku tidak pernah mengetahui wajah ayahnya yang wafat pada 1938.

Ia hanya mengetahui, nama ayahnya adalah Hakam Labai Mudo. Sedari kecil, Amir dibesarkan oleh ibunya yang bekerja sebagai petani dan penjual bibit cabai pada hari-hari pakan di Padang Panjang. Dari usaha itu, Amir dibesarkan.

Amir tumbuh saat Nusantara masih di bawah kuasa Kolonial Belanda. Kondisi itu pula yang membuat anak-anak seusianya tidak mudah mendapatkan penghidupan yang layak dan menjanjikan. Seperti anak-anak lainnya, Amir kecil menjalani masa kecil dengan dengan penuh keprihatinan dan kekurangan.

“Ibu saya selalu berpesan, agar saya kelak menjadi orang yang mandiri dan senantiasa menjalankan ibadah,” kata Amir mengenang pesan ibundanya.

Sebab keterbatasan yang dialami keluarganya, Amir sejak kecil sudah membantu orang tuanya menjajakan kue dan rokok di kampungnya.

Kemudian, menginjak usia tujuh tahun, Amir masuk ke sekolah rakyat di Pakan Sinayan. Keinginan untuk bersekolah, kata Amir, muncul dari diri sendiri, tanpa paksaan. Oleh sebab itu pula, ia selalu giat belajar dan berhasil meraih prestasi, dengan nilai-nilai yang selalu memuaskan, dan menjadi kebanggaan guru serta kawan-kawannya.

Setamat dari SR di Pakan Sinayan, pada tahun 1950 Amir melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Swasta Kurai, di Bukittinggi. Namun, karena saat itu Amir juga bekerja di sebuah pabrik rokok untuk membantu ekonomi keluarga, maka setahun kemudian keluarga memindahkannya ke Madrasah Thawalib Padang Panjang agar fokus belajar pada bidang agama.

Tak disangka, Amir hanya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan pendidikan setingkat Tsanawaiyah di Thawalib. Lebih cepat dari anak-anak lain yang melahapnya dalam waktu tiga tahun. Kemudian, Amir melanjutkan pendidikan ke tingkat Aliyah di lembaga yang sama. Di sini, Amir menjadi murid langsung dari Buya Abdul Hamid (Angku Mudo). Pimpinan Madrasah Thawalib Padang Panjang kala itu.

Bagi Amir remaja, belajar kepada Angku Mudo meninggalkan kesan yang amat mendalam. Angku Mudo menurutnya adalah guru yang amat luar biasa, karena keluasaan ilmu dan bacaanya, serta cara dan metode pembelajaran yang diterapkan membuat pelajaran yang diberikan sangat mudah untuk dicerna. Saat itu, Angku Mudo mengampu mata pelajaran Fiqih dan Ushul Fiqih. Oleh karena itu pula, dua bidang ilmu itu pula yang paling disenangi Amir, hingga kemudian mengantarkan dirinya menjadi guru besar di kemudian hari.

Amir tidak menamatkan pendidikan di Thawalib. Sebab di tengah berjalan, Amir mengikuti tes masuk Pendidikan Guru Agama (PGA) di Padang. Di sekolah kedinasan itu, Amir menjadi murid termuda dengan usia yang baru 15 tahun. Amir pun sejatinya sudah menjadi pegawai atau digaji pemerintah. Sebab, PGA adalah sekolah untuk mempersiapkan guru-guru agama.

Setamat dari PGA pada 1955, Amir ditugaskan menjadi guru agama ke Sukabumi. Tidak berlangsung lama, Amir pun memutuskan untuk berhenti. “Alasan saya berhenti saat itu, aspek intelektualitas tidak meningkat. Bahkan hanya jalan di tempat,” ucap Amir.

Keinginan dan dahaganya akan ilmu akhirnya mengantarkan Amir ke ADIA, singkatan dari Akademi Dinas Ilmu Agama. Tepatnya pada jurusan syariah. Di ADIA, Amir kembali mendapatkan kesempatan untuk mendalami dua bidang ilmu yang disenanginya, Fiqih dan Ushul Fiqih.

Ilmu Agama. Tepatnya pada jurusan syariah. Di ADIA, Amir kembali mendapatkan kesempatan untuk mendalami dua bidang ilmu yang disenanginya, Fiqih dan Ushul Fiqih.

ADIA sendiri adalah lembaga pendidikan Islam milik Departemen Agama di samping Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Pada tahun 1960, dua lembaga itu pun diintegrasikan dan kemudian melahirkan Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah, yang juga tumbuh menjadi cikal bakal IAIN Imam Bonjol.

Lalu pada tahun 1961, Amir berhasil menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelar sarjana muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, dan berhasil menjadi lulusan terbaik saat itu. Amir pun langsung mendapat kesempatan mengajar di sana dengan jabatan asisten pada mata kuliah Ushul Fiqih. Di saat bersamaan dan tempat yang sama, Amir melanjutkan pendidikan ke jenjang doktoral.

Tahun 1982, Amir pun meraih gelar doktor pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia merupakan orang kedua yang mendapatkan gelar doktor di lembaga tersebut. Setelah sebelumnya, Dr. Aminuddin Rasyad. Dalam sidang akhir promosi doktor, Amir mengajukan disertasi berjudul “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkup Adat Minangkabau”, yang kelak dibukukan dan mendapatkan banyak penghargaan.

Dikutip dari Wikipedia, Amir Syarifuddin adalah seorang ahli hukum Islam, pengajar, dan politisi Indonesia.

Ia pernah menjabat Rektor IAIN Imam Bonjol dua periode 2983-1993, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat 1995-2000 anggota penasihat MUI Pusat, serta anggota MPR-RI.

Amir Syarifuddin lahir pada tahun 1937 di Pakan Sinayan, Banuhampu, Agam, pada masa Hindia Belanda.

Amir menikah lagi pada 29 Juli 1977 dengan Afni Bustami yang juga seorang akademisi. Ia menikahi adik dari istri pertamanya yang telah lebih dulu meninggal dunia.

Karier

Prof. Amir pernah menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol (IAIN Imam Bonjol) Padang, Sumatera Barat, menggantikan H. Hasnawi Karim yang menjabat Caretaker Rektor sepanjang 1982-1983.

Ia menjabat Rektor IAIN Imam Bonjol yang ke-9 selama dua periode (1983-1993) sebelum digantikan oleh rektor berikutnya, Dr. H. Mansur Malik.

Ia juga dikenal sebagai pendiri dan juga Direktur Pascasarjana IAIN Imam Bonjol.

Sebagai politisi, Amir Syarifuddin pernah menjadi anggota MPR RI selama dua periode pada masa-masa sebelum kejatuhan Orde Baru (tahun 1999).

Sebagai ulama, ia juga dipercaya menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat periode  1995-2000, serta sebagai salah seorang anggota penasihat MUI Pusat periode 2010-2015.

Sedangkan sebagai Guru Besar, Prof. Amir pernah pula menjadi profesor pelawat pada Fakultas Pengkajian Islam Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), Selangor, Malaysia.

Pada tahun 1984 salah satu karya tulisnya yang berjudul Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Minangkabau mendapat penghargaan dari Depdikbud RI sebagai buku terbaik di bidang ilmu sosial.

(AL/Red)

Pos terkait