Mengenang Budayawan Radhar Panca Dahana

Oleh: Alfian YN

Innalillahiwainna ilaihi rajiun …

Kabar meninggalnya Radhar Panca Dahana pada Kamis, 22 April 2021 atau empat hari lalu mengejutkan banyak pihak. Terutama kalangan jurnalis, pegiat sastra, teater, dan budayawan tanah air.

Bacaan Lainnya

Berita meninggalnya Radhar Panca Dahana langsung trending topic di hampir seluruh media online besar ibu kota dan media maenstrem. Semua menyatakan turut berduka cita. Tak terkecuali saya selaku salah seorang pembaca setia tulisan dan karya-karyanya di harian Kompas minggu (rubrik Teroka) turut terkejut dan berduka cita.

Iya, dulu sekitar tahun 2008 sebelum media online gebyar atau booming di jagat internet. Nyaris saban hari minggu saya selalu membaca harian Kompas dan rubrik Teroka yang diasuh Radhar Panca Dahana selaku redaktur menjadi bacaan favorit saya.

Bagi saya pribadi yang hanya penikmat bacaan, tulisan Radhar Panca Dahana berupa Puisi, Cerpen, Essai dan kritikan sastra nya enak sekali dibaca.

Termasuk membaca latar kehidupan Radhar Panca Dahana hingga ia dikenal sebagai budayawan, sastrawan, teaterwan dan julukan lainnya. Radhar Panca Dahana meninggal dalam usia 56 tahun.

Lantas siapa Radhar Panca Dahana? Berikut sekilas tentangnya yang penulis kutip dari berbagai sumber bacaan.

Radhar Panca Dahana lahir 26 Maret 1965 adalah budayawan yang memiliki segudang julukan. Ia dikenal sebagai esais, sastrawan, kritikus sastra, dan jurnalis.

Ia pun bergiat sebagai pekerja dan pengamat teater. Puluhan esai, kritik, karya jurnalis, kumpulan puisi, naskah drama, pertunjukan teater, dan beberapa buku tentang teater telah dihasilkannya.

Radhar Panca Dahana memang dianugerahi bakat menulis. Ketika masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar, ia sudah mampu menulis sebuah cerita pendek “Tamu Tak Diundang.” Radhar mengirimkannya ke harian Kompas dan dimuat.

Pada saat duduk di bangku kelas dua SMP, ia menjadi redaktur tamu majalah Kawanku. Selama beberapa bulan, ia membantu menyeleksi naskah cerpen dan puisi yang masuk.

Ia mulai mengarang cerita pendek, puisi, dan membuat ilustrasi ketika duduk di kelas tiga SMP.

Beberapa karyanya, diantaranya, dimuat di majalah Zaman, yang waktu itu redakturnya adalah Danarto. Radhar menyamar jati dirinya dengan nama Reza Morta Vileni.

Ia diterima di sosilogi, UI. Mata kuliahnya diselesaikan dalam waktu 2,5 tahun. Teater dan kerja jurnalistik kembali menggodanya sehingga ia tidak acuh pada tata adminitrasi di kampusnya.

Saat ia akan pergi ke Prancis, barulah ia mengurus masalahnya itu. Tahun 1997, Radhar melanjutkan studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Prancis, dengan meriset postmodernisme di Indonesia (tidak tamat).

Pencapaiannya adalah mengelola rubrik “Teroka” di harian Kompas, memimpin Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Teater Kosong yang ia dirikan serta pengajar di Universitas Indonesia.

Radhar Panca Dahana menetap di Tangerang bersama istri dan seorang anaknya.

Dia pun membuat buku antara lain,

1. Homo Theatricus
2. Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002)
3. Jejak Posmodernisme (2004)
4. Inikah Kita; Mozaik Manusia Indonesia (esai humaniora, 2006)
5. Dalam Sebotol Coklat Cair (esai sastra, 2007).

Kemudian kumpulan puisi, antara lain,
1. Simponi Duapuluh (1988)
2. Lalu Waktu (2003).

Lalu kumpulan cerpen, antara lain
1. Masa Depan Kesunyian (1995)
2. Ganjar dan Si Lengli (1994)
3. Cerita-Cerita dari Negeri Asap (kumpulan cerpen, 2005)

Kumpulan drama, antara lain,
1. Metamorfosa Kosong (kumpulan drama, 2007)

Radhar Panca Dahana memimpin kelompok Teater Aquilla, Telaga, dan Teater Kosong. Radhar Panca Dahana terpilih sebagai satu di antara lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996).

Ia juga pernah meraih Paramadina Award (2005), serta menjadi Duta Terbaik Pusaka Bangsa dan Duta Lingkungan Hidup (sejak 2004). Pada tahun 2007 ia menerima Medali Frix de le Francophonie 2007 dari lima belas negara berbahasa Prancis.

Diantara sekian banyak karya puisi Radhar Panca Dahana, puisi berjudul ‘Pulang’ sempat viral dijagat maya pasca berita meninggalnya.

PULANG

hujan sedari tadi belum berhenti
kenapa merpati terbang sendiri
kuyup basah tidak perduli
sudah berapa pagi,
tak mau juga ia menepi.
apa yang kau cari?
kabar kekasihkah menyertai
atau sekedar ingin kembali?
tahukah kamu, di sini
seumur hujan ia menanti

Selamat jalan Kang, semoga husnul khatimah. Karya-karyamu abadi dihati pembaca setiamu.

(Padang Panjang, 25 April 2021)

Alfian YN, Jurnalis Topsumbar.co.id

Pos terkait