Imperialisme Istilah-istilah Perkuliahan Abad ini, Kedunguan yang Dipelihara

Foto: Ilustrasi wisuda (Dok. Topsumbar.co.id)

Catatan: Hasbunallah Haris

Heboh soal penggunaan istilah wisuda yang dipraktikkan oleh TK dan SMA belakang ini ternyata merembes ke sejumlah imperialisme lain.

Beberapa waktu lalu, santer fenomena wisuda TK dan SMA yang dinilai sebagai bentuk kudeta atau penjajahan terhadap prosesi wisuda yang sebenarnya. Banyak pihak menolak keras prosesi tersebut namun tidak sedikit pula yang menerima.

Bacaan Lainnya

Bagi yang pro melaksanakan wisuda TK membentengi diri mereka dengan menyebut prosesi tersebut sebagai hadiah sekaligus pelecut untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya yang lebih tinggi. Sedangkan yang kontra menilai wisuda TK adalah bentuk penyimpangan yang dilakukan secara sadar atau bahkan lebay seolah sang anak telah menempuh pendidikan yang berdarah-darah dan melelahkan.

Mereka yang kontra menyebut perlakuan tersebut adalah bentuk kedunguan sebab tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya, seharusnya cukup diisi dengan acara perpisahan saja tanpa embel-embel toga dan jubah.

Fenomena viral tersebut bahkan sampai membuat Kemendikbud turun gunung dengan menyampaikan bahwa prosesi wisuda TK dan SMA (bahkan sekarang ada pula wisuda tahfidz) tidak diwajibkan atau tidak ada undang-undangnya, melainkan hanya kebijakan sekolah saja. Yang jelas, untuk prosesi tidak boleh memberatkan orang tua wali murid.

Lantas, mengapa pihak perkuliahan merasa dirugikan dengan adanya fenomena tersebut? Tercatat dalam sejarah bahwa pemakaian jubah sebagai tanda akademik mulai diterapkan sejak abad ke-12 M di Eropa, di mana pemakaian jubah adalah satu bentuk perlindungan terhadap musim dingin, sementara toga adalah simbol perbedaan antara pendidikan dengan orang awam yang tidak menempuh pendidikan. Sedangkan penggunaan secara resmi pertama kali dilakukan oleh Universitas Oxford dan Cambridge.

Sedangkan toga, berasal dari bahasa Latin yaitu Tego yang berarti penutup. Bangsa pertama yang memakai toga tercatat dalam sejarah adalah orang-orang Etruria atau Etruskan, mereka adalah seniman-seniman Romawi yang tinggal di tepi sungai Tiber, Italia sekarang.

Padam soal wisuda, kini muncul fenomena baru yang makin membuat geleng-geleng kepala. Imperialisme istilah kali ini disebut sebagai “Kompre Tahfidz,” “Kompre Sejarah,” atau kompre-kompre lainnya yang berada di jenjang siswa.

Penggunaan istilah ini tentunya agak janggal bahkan mengundang tawa jika ditelisik dari paradigma makna sesungguhnya dari kompre tersebut. Yang jadi pertanyaan adalah apakah tidak ada istilah lain sehingga harus mengambil istilah-istilah dalam dunia perkuliahan? Begitu minimkah kata atau sebutan dalam bahasa Indonesia ini? Atau hanya ingin terlihat sok keren saja?

Sejatinya, perlakuan imperialisme istilah tersebut bukanlah barang baru, namun sudah kerap terjadi di tahun-tahun bahkan abad sebelumnya. Namun, sesuatu yang sudah menjadi hak paten (meski tidak tertulis) jika dipakaikan untuk barang lain tentu akan mengundang cemooh. Misalkan saja dengan budaya hena pada pengantin wanita yang diadopsi dari India, hal tersebut pada permulaan terbilang ganjil sebab tak biasa dilakukan. Namun seiring berjalan waktu, nyaris pekerjaan tersebut (rias hena) menjadi pekerjaan tetap.

Lantas, bagaimana dengan pemakaian istilah? Apakah akan lumrah saja wisuda TK, kompre tahfidz, dan hal-hal lainnya? Atau jangan-jangan nanti juga ada skripsi TK, dekan TK, kajur TK, bahkan sempro tahfidz? Alangkah dungunya hal tersebut bila benar-benar terjadi.

Penulis merupakan Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab (BSA) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang.

Pos terkait