Undang-undang Tanjung Tanah dalam Perspektif Filologi Hingga Munculnya Suku Anak Dalam

(BAGIAN II)

Hai, Topers. Sekarang kita sudah masuk ke seri petualangan yang ke-34, juga bagian ke-2 dari deretan penjabaran Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah. Jika sebelumnya kita menelusurinya dengan jalur pertanggalan dan buku The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript karya Uli Kozok, kali ini kita akan mencoba menelusurinya menggunakan salah satu cabang ilmu yang sangat penting dalam sejarah. Yup, apalagi kalau bukan Filologi dan Paleografi.

Sudah siap? Yuk kita let’s go!

Bacaan Lainnya

Pada 31 Mei 1916, lahirlah seorang anak berkebangsaan Belanda yang kelak akan mengubah sikap pemerintah Indonesia yang dahulunya menganggap remeh bidang arkeologi untuk dijadikan bahan pengajaran tentang sejarah awal dan arkeologi di Indonesia. Dia adalah Johannes Gijsbertus de Casparis, atau yang lebih dikenal sebagai de Casparis, seorang Filolog senior.

Di tahun 1989, setelah meneliti kerajaan Melayu, de Casparis menulis sebuah buku yang berjudul Peranan Adityawarman Putera Melayu di Asia Tenggara, isinya memuat pendapatnya mengenai kerajaan Melayu di Sumatera serta penelitiannya di Muara Jambi.

Sekarang, sahabat budaya akan kembali coba paparkan bahwa untuk melihat keakuratan sejarah, kita memerlukan begitu banyak bukti, salah satunya adalah prasasti. Sebelum dunia mencatat peristiwa bersejarah dengan tulisan di atas kertas, tulisan-tulisan pada batu sudah lebih dulu merajainya. Begitu banyak prasasti yang ditemukan dan memperlihatkan sisi sejarah di masa lalu, dan untuk mengetahui makna tulisan-tulisan tersebut, kita memerlukan ilmu Filologi, yang merupakan saudara Arkeologi.

Sejujurnya kita tentu tetap mewanti-wanti bahwa Belanda bisa saja membelokkan sejarah atau keliru dalam mengartikan maksud tulisan karena orang Minangkabau selalu bicara dengan gaya tutur tak langsung atau sindiran. Seperti kalimat ‘buah tangan’ yang dimaknai Belanda dengan ‘upeti’ kemarin, juga beberapa catatan yang salah besar dalam buku Sejarah Sumatera Tengah yang dikeluarkan oleh Kementerian Penerangan yang diprakarsai oleh University of Wisconsin, mengatakan bahwa Sri Tribuana Mauli Warmadewa datang dari Jawa dengan gelar Maharaja Diaraja. Tapi itu tak perlu kita bahas lagi karena sudah tuntas dalam seri petualangan ke-18.

Dalam bukunya, de Casparis menjabarkan bagaimana masa-masa kerajaan Melayu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya hingga membuat peneliti sedikit bingung. Tercatat bahwa pusat kerajaan Melayu berada di Muara Jambi, dibuktikan dengan situs prasasti Muara Jambi. Namun entah atas alasan apa, kemudian kerajaan tersebut berpindah ke Dharmasraya pada tahun 1286 M, tak lama kemudian pusat kerajaan kembali pindah ke Saruaso pada tahun 1310 M. Sebetulnya apa yang membuat hal tersebut terjadi?

Jika kita melihat kepada letak geografisnya, dari daerah kawasan Selat Malaka melalui Batang Hari, akan langsung sampai ke Dharmasraya. Terlebih lagi peristiwa tersebut terjadi ratusan tahun yang lalu, jadi jangan samakan luas batang hari seperti sekarang, dan juga jalurnya. Uli Kozok juga memberikan sedikit pendapat bahwa mungkin perpindahan ibu kota tersebut didasari serangan kerajaan lain ke Dharmasraya. Maka dipilihlah daerah yang sedikit lebih ke pedalaman yaitu Saruaso.

Selain itu, antara Kerinci dan Dharmasraya juga banyak sekali perbedaan dalam hal komoditi, Kerinci dengan merica-nya sementara Dharmasraya dengan tambangnya. Namun dalam analisis Uli Kozok, setidaknya ada lima pendapat yang menguatkan bahwa naskah Undang-Undang Tanjung Tanah benar-benar layak disebut sebagai naskah Melayu tertua di dunia:

Pertama, dalam naskah Undang-Undang Tanjung Tanah tidak terdapat kata serapan dari bahasa Arab sehingga dapat disimpulkan bahwa naskah tersebut berasal dari zaman pra-Islam. Penanggalan ini tentu sangat relatif apalagi mengingat betapa sedikit kita ketahui tentang masuknya agama Islam ke pedalaman Jambi.

Apakah kita sedang memikirkan hal yang sama, Topers? Bagaimana dengan nama Koja Ali yang kita bahas di bagian pertama? Sepertinya Kozok sama sekali tidak mempertimbangkannya dan hanya fokus kepada tulisan. Memang benar di dalam naskah tersebut tidak ada kata serapan Arab, namun yang menuliskan naskah tersebut bernama Arab, rasanya sangat lucu sekali. Kita dapat mengambil jalan tengah bahwa Islamisasi bukanlah penaklukan, jadi apa salahnya dengan hal tersebut? Bahkan pada masa Adityawarman sendiri agama Islam dan Hindu berjalan berdampingan, sah-sah saja dan aman-aman saja. Dengan tidak adanya serapan bahasa Arab dalam naskah Undang-Undang Tanjung Tanah bukan berarti Islam belum sampai ke sana.

Kedua, Maharaja Dharmasraya dua kali disebut dalam naskah Tanjung Tanah sementara kerajaan Dharmasraya hanya disebut pada sumber-sumber sejarah dari abad ke-13 dan ke-14. Hal tersebut merupakan petunjuk kuat bahwa naskah itu ditulis sebelum abad ke-15.

Memang benar, karena sebelum Dharmasraya bangkit, Sriwijaya sedang merajai Selat Malaka, baru pada 1025 M kerajaan Melayu kembali menunjukkan kekuatannya.

Ketiga, sebagian besar naskah ditulis dalam bahasa Melayu namun terdapat juga kata pengantar serta penutup yang berbahasa Sansekerta (aksara pasca-pallawa), yang memuja Maharaja Dharmasraya. Hal itu sangat berbeda dengan konvensi yang mana biasa terdapat pada teks yang berasal dari zaman Islam.

Jika kita merunut, masa tersebut Islam sama sekali belum masuk ke lingkungan kerajaan. Karena jika Topers melihat naskah-naskah kuno dalam masa Islam, selalu diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim, namun dalam Undang-Undang Tanjung Tanah tidak ada.

Keempat, pada naskah Tanjung Tanah, selain teks beraksara pasca-Pallawa, terdapat satu lagi teks yang beraksara surat incung. Jenis aksara yang digunakan di sini jelas lebih tua daripada semua naskah Kerinci yang selama ini diketahui.

Jika kamu mengetahuinya, Topers. Aksara incung ini terdapat pada dua halaman terakhir dari naskah Undang-Undang Tanjung Tanah, dan yang membuat bingung adalah aksara incung tak lazim ditulis dalam daluang, media yang biasa dipakai untuk aksara ini adalah bambu dan tanduk. Lagipula aksara incung hanya digunakan dalam dua hal; pertama tembo dan kedua karang mindu, lain daripada itu tidak. Tembo sendiri adalah ranji suatu suku sementara karang mindu berisi ratapan (biasanya akibat asmara). Lalu bagaimana mungkin dia ada dalam naskah Undang-Undang Tanjung Tanah? Dapat dipastikan bahwa dua halaman terakhir dari naskah Tanjung Tanah ditulis setelah naskah lainnya. Jadi itu adalah tambahan, meskipun dalam bahan yang sama yaitu daluang.

Dalam ilmu Filologi, kita dapat mengetahui usia sebuah naskah hanya dengan melihat watermark yang ada dalam media tulisan tersebut. Namun dalam urusan daluang, hal ini tentu sedikit sulit dilakukan karena tidak terdapat watermark. Pengujian hanya bisa dilakukan dengan radiokarbon. Uli Kozok telah melakukan hal yang cemerlang dalam hal ini.

Kelima, naskah Tanjung Tanah tertanggal dengan menggunakan tahun Saka namun tahunnya tidak terbaca. Penggunaan tahun Saka dan bukan tahun Hijrah jelas menunjukkan bahwa naskah berasal dari zaman pra-Islam.

Meskipun Islam telah masuk, sebenarnya penanggalan tidak terlaku mendesak untuk diperdebatkan. Karena pada masa Majapahit, Demak hingga Pajang dan seterusnya, penanggalan menggunakan tahun saka tetap dilakukan, dan saat itu Islam sudah masuk. Hal ini membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak merusak budaya, adat dan hal-hal lainnya di Nusantara. Para wali menyebarkan Islam dengan media wayang yang merupakan media Hindu, sementara di Minangkabau sendiri tradisi membakar kumayan bukan juga milik Islam melainkan milik lokal.

Sekarang bagaimana dengan Suku Anak Dalam yang ada di Dharmasraya? Jika Dharmasraya adalah kerajaan yang maju pada masanya mengapa meninggalkan sebuah suku yang mengasingkan diri tersebut?

Kita perlu membaca Sumpah Suku Anak Dalam terlebih dahulu yang sahabat budaya dapatkan dari sumber yang tak ingin disebutkan. Dikatakan; ka mudiak dikutuak rajo Minangkabau, ka hilia kanai kutuak rajo jambi, ka ateh indak bapucuak ka bawah indak baurek, ditangah-tangah digiriak kumbang.

(Ke mudik dikutuk raja Minangkabau, ke hilir dikutuk raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat, di tengah-tengah dimakan kumbang)

Untuk penjelasan selanjutnya akan kita jabarkan di seri berikutnya ya, Topers. Selalu nantikan seri petualangan berikutnya ya.

Salam budaya.

(Haris)

Pos terkait