Satu Hari Bersama Bansi

Apakah kamu pernah menonton pertunjukan musik dari seluruh dunia? Di Italia, ada sebuah pesta untuk merayakan titik balik matahari musim panas yang dinamakan fiesta de la musica, musisi-musisi dari 120 negara akan berkumpul dan memainkan musik bersama. Rasanya benar-benar seolah menyaksikan perpaduan zaman dalam satu mozaik suara.

Pada tahun 1982 di Prancis, Kementerian Kebudayaan Prancis mengadakan penelitian musik dan mendapatkan hasil bahwa Prancis memiliki lebih dari empat juta jenis alat musik yang tidak sering digunakan dan terancam punah. Mereka lantas mengadakan satu hari bersama musik atau ‘One Day With Music’. Orang-orang akan turun ke jalanan dan bergembira sambil memainkan alat musik yang mereka sukai.

Sementara itu, dalam buku Kutemukan Suratmu, Padre, yang ditulis oleh Katidiang, menjelaskan bagaimana kondisi Fiesta de la Musica di depan Pantheon dikala senja. Penari-penari dari Jawa datang bersama gamelan dan angkulung untuk turut memeriahkannya. Lalu sin beralih ke Teatro Parioli dimana para akrobat dan penari balet melompat-lompat dengan lincah di atas ujung jari kaki mereka. Sungguh hari yang tidak akan terlupakan oleh seorang Giordano d’angelo yang mengenal Antonio Stadivari, pembuat biola legendaris itu. Stadivarius.

Bacaan Lainnya

Sekarang, mari naik pesawat dari megahnya kampung Romus dan Remulus dan mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Lihat! Perempuan-perempuan itu tengah menari bersama. Rasanya sedikit aneh karena mereka terpaku pada gerakan tangan dan kaki saja tanpa menggoyangkan pinggul, namun di sanalah bagian terbaiknya. Minangkabau terkenal sebagai negeri beradab, perempuan-perempuannya dijaga dan dimuliakan. Kita akan mengunjungi sebuah negeri dengan peradaban yang cukup tua menurut sejarah yang berhasil tercatat.

Ada tiga perempuan muda yang datang membawa bejana besar berisi daun sirih dan beberapa hal lainnya. Dan kamu bisa mendengarkan perpaduan alat musim talempong, saluang dan apa itu? Bunyinya begitu lembut dan ramah. Alat musik itu ditiup dan jari-jari berbuku peniupnya begitu lincah menutup dan membuka lubang kecil pada alat musik tersebut.

Selamat, Topers. Kamu sedang melihat Bansi, salah satu alat musik tiup Minangkabau yang sangat legendaris. Meskipun punya kemiripan dengan saluang, namun bansi memiliki lebih banyak lubang kecil serta ukurannya yang lebih pendek. Suaranya juga berbeda dari saluang jika kamu mendengarkan lebih teliti lagi.

Menurut sejarah, bansi berasal dari daerah Painan di Kabupaten Pesisir Selatan. Di zaman awal kemunculannya, bansi erat kaitannya dengan hal-hal yang berbau supranatural. Ada pula cerita yang mengungkapkan bahwa bansi digunakan untuk memikat lawan jenis. Ketika seorang pria menyukai seorang wanita, maka ia akan memainkan bansi untuk memikat wanita tersebut hingga membuatnya jatuh cinta.

Di zaman dulu, bansi mendapat kecaman dari masyarakat, lebih-lebih saat perang Padri. Dampak tersebut karena banyak para wanita yang jadi tergila-gila kepada orang yang bukan ia cintai secara murni. Bunyi yang bagus dianggap pula memiliki pitunang.

Pitunang adalah mantera-mantera atau doa-doa yang digumamkan pemainnya ke dalam alat musik tersebut. Ya, begitulah orang zaman dahulu, padahal alunan suara musik indah yang dihasilkan tersebut harusnya menjadi apresiasi kepada sang pemain. Kita tidak bisa menyalahkan zaman, bukan?

Seiring berjalannya waktu, bansi mulai mendapatkan tempat dan menjadi musik yang berpadu dengan talempong, seperti dalam tari pasambahan yang kita saksikan tadi. Zaman yang mengecamnya telah berbalik memberikan restu, bansi menjadi banyak dipelajari dan beragam nada pun tercipta.

Sekarang, mari pejamkan mata dan nikmati betapa lembutnya alunan suara bansi yang mendayu-dayu itu. Rasanya menjalar perlahan dan memberikan rasa nyaman, rindu, kasih sayang yang bercampur dalam satu perasaan. Ini adalah alat musik yang sangat luar biasa.

(Haris)

Pos terkait