Sanksi Penyiaran Terestrial Pasca UU Cipta Kerja

Catatan : Kamsul Hasan, SH, MH

Isi siaran terestrial baik televisi maupun radio dibagi dalam dua kategori ;
1. Isi siaran jurnalistik
2. Isi siaran non jurnalistik

Isi siaran jurnalistik harus mematuhi ;
1. UU Pers dan KEJ serta rambu lainnya yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.
2. UU Penyiaran dan P3 SPS KPI karena output karya jurnalistik berada pada lembaga penyiaran terestrial.
3. Itu sebabnya pada Pasal 42 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mewajibkan wartawan penyiaran selain tunduk patuh pada KEJ sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) UU Pers, juga harus patuh pada P3 SPS KPI.

Bacaan Lainnya

Wartawan pada umumnya tidak dilarang menyajikan ciuman bibir pada karya jurnalistik, apalagi itu terkait prosesi pernikahan.

Namun wartawan penyiaran terestrial tidak boleh menyiarkan tayangan ciuman bibir meski itu prosesi pernikahan cucu Ratu Elisabeth karena melanggar P3 SPS KPI.

Sanksi terhadap pelanggaran oleh lembaga penyiaran terestrial ada dua macam yaitu ;

1. Sanksi administrasi ditetapkan oleh KPI terkait isi siaran yang melanggar P3 SPS. Bentuknya bisa teguran, penghentian tayangan sementara sampai penghentian tayangan tetap.

Saat ini juga sedang dirumuskan sanksi berupa denda.

2. Sanksi pidana ditegakkan melalui proses peradilan dengan terlebih dahulu dilaporkan ke polisi kemudian dilimpahkan ke pengadilan oleh jaksa penuntut umum.

3. Legal standing atau subjek hukum yang bertanggung jawab adalah pemegang izin frekuensi atau pemegang izin berusaha, bukan pengisi isi siaran.

4. Sanksi pidana untuk radio terestrial yang melanggar isi siaran sebagaimana dimaksud Pasal 36 ayat (5) dan atau ayat (6) adalah penjara 5 (lima) tahun atau denda maksimal Rp 1,5 milyar.

Sedangkan televisi terestrial maksimal penjara 5 (lima) tahun atau denda maksimal Rp 10 milyar.

5. Sanksi pidana ini mengalami perubahan disebabkan Pasal 72 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sanksi denda penyiaran radio naik dari Rp 1 miliar menjadi Rp 1,5 milyar.

Namun demikian ada perubahan materi hukum yang sebelumnya gunakan kata “dan atau” menjadi hanya “atau”. Dengan demikian penerapan sanksi atau vonis hakim pasca UU Cipta Kerja tidak boleh lagi kumulatif, harus alternatif.

Perubahan lain pada UU Cipta Kerja, adalah izin frekuensi diubah menjadi izin berusaha sehingga pengguna frekuensi tidak lagi dibatasi 5 tahun untuk radio dan 10 tahun untuk televisi.

Namun demikian izin berusaha tetap bisa dibatalkan atau dicabut, oleh pemerintah sebagai pemberi izin.

UU Cipta Kerja juga memerintahkan dilakukannya Analog Switch Off (ASO) dalam dua tahun sampai November 2022. Saat ini ASO sudah mulai dari Aceh pada ujung Barat Indonesia menuju ke Timur.

Selain itu setelah bersiaran digital semuanya bisa lakukan secara nasional tanpa berjaringan seperti yang disyaratkan UU Penyiaran.

(Jakarta, Sabtu 26 Juni 2021)

Kamsul Hasan merupakan Ahli Pers, Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Dosen IISIP, Jakarta dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014

Pos terkait