Negara Harus Memastikan Terpenuhinya Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual

Yefri Heriani, Direktur Nurani Perempuan.
Yefri Heriani, Direktur Nurani Perempuan.

Angka korban kekerasan seksual yang muncul diberbagai data lembaga layanan saat ini diyakini belumlah angka keseluruhan. Karena kasus kekerasan seksual hingga saat ini merupakan fenomena gunung es. Banyak korban yang tidak dan belum mengakses lembaga layanan dikarenakan terbatasnya informasi terhadap keberadaan lembaga layanan yang berpihak pada hak -hak korban kekerasan seksual.

Terbatasnya informasi bahwa negara punya kewajiban untuk memastikan terpenuhinya hak-hak perempuan korban kekerasan seksual. Dipahami kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan yang sering dialami oleh perempuan. Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga dia adalah kejahatan kemanusiaan.

Hingga pertengahan November 2017, angka laporan kasus kekerasan seksual di Nurani Perempuan mencapai 46 kasus, dari 90 kekerasan berbasis gender. Artinya kasus kekerasan seksual lebih dari 50%. Ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah hendaknya membangun kerjasama dengan berbagai organisasi masyarakat sipil yang menyediakan layanan bagi perempuan korban kekerasan.

Kampanye Internasional 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, yang setiap tahunnya dilaksanakan Nurani Perempuan Women’s Crisis Center bersama jaringannya di Sumatera Barat merupakan salah satu upaya refleksi gerakan perempuan dalam pemajuan hak-hak perempuan, khususnya hak perempuan korban kekerasan berbasis gender.

Kampanye Internasional ini telah dilaksanakan sejak tahun 1991 oleh Women’s Global Leadership Institute. Indonesia mulai terlibat dalam kampanye ini pada tahun 2001, yang diprakarsai oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dengan melibatnya mitra strategisnya di provinsi, kabupaten/kota. Pada saat itu Sumatera Barat berpartisipasi dengan berbagai agenda budaya dalam rangka pencegahan kekerasan terhadap perempuan.

Kampanye dilaksanakan sepanjang 25 November – 10 Desember. Rangkaian kegiatan untuk menggalang kesadaran dan kepedulian pemerintah, kooperasi dan masyarakat dilakukan. Pilihan tanggal 25 November sebagai hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan se Dunia, yang mengawali kampanye dan 10 Desember sebagai hari HAM internasional memiliki makna yang fundamental dalam gerakan perempuan.

Gerakan Perempuan untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan hendak mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM dan ini adalah kejahatan kemanusiaan.

Tahun 2017 Nurani Perempuan akan melaksanakan berbagai kegiatan kampanye yaitu, Sabtu, (25/11/2017) upacara hari penghapusan kekerasan terhadap perempuan se dunia dan diskusi publik di Aula SMA Don Bosko. Minggu, (26/11/2017) melaksanakan aksi damai, perempuan mampu dalam bentuk long march, pengumpulan dukungan, distribusi media, aksi teaterikal, pembacaan puisi dan orasi.

Sementara tanggal 27 November- Desember dilakukan diskusi komunitas, roadshow dan pemutaran film di beberapa wilayah. Sabtu, 2 Desember 2017 dilakukan kegiatan dengan mengusung tagline Galanggang Suaro yang akan menampilan berbagai pengalaman penyintas dan komunitas dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Juga menampilkan pentas seni komunitas dan kelompok muda.

Nurani Perempuan melaksanakan kegiatan ini bersama komunitas dampingan yang menjadi mitra dalam memastikan hak-hak perempuan terpenuhi dan juga jaringan diantaranya IPPI, PBT, GNI, LP2M, PKBI, PSE-JPIC, KPAK Padang, PBHI, LBH Padang

Negara harus menjamin pemajuan, perlindungan dan pemenuhan perempuan korban melalui, menyediakan berbagai kebijakan guna memastikan hak-hak tersebut didapatkan oleh perempuan korban. Sejak beberapa tahun belakangan Nurani Perempuan dengan jaringannya mengusung agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual harus segera di undangkan dengan memperhatikan berbagai aspek yang paling esensi harus masuk ke dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut.

Beberapa aspek tersebut adalah memastikan pemulihan terhadap korban, menyediakan restitusi bagi korban, pemidanaan bagi pelaku dengan pemberian pidana pokok berupa putusan hakim, pencabutan jabatan/profesi, pencabutan hak menjalankan pekerjaan, pembinaan khusus, kerja sosial serta pemindanaan tambahan dengan mempertimbangkan adanya pemberatan atan perbuatan pelaku.

Rehabilitasi bagi pelaku juga menjadi bagian yang harus diperhatikan, agar pelaku tidak melakukan pengulangan kekerasan. Untuk itu DPR-RI harus memastikan hal ini masuk ke dalam perundangan nantinya.

Di Sumatera Barat, perlu dipastikan tersedia berbagai fasilitas untuk mendukung proses pemulihan korban. Pemerintah Sumatera Barat harus memastikan penanganan korban kekerasan seksual dilakukan dengan perspektif HAM dan gender. Sehingga kasus-kasus kekerasan seksual tidak lagi dianggap sebagai kasus moralitas dan kesusilaan yang akan merugikan korban. (***)

Pos terkait