KEJ, Kemerdekaan Pers dan Sanksi Bagi Pers yang Kerap Langgar Etik

Catatan : Kamsul Hasan, SH, MH

1. Apakah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) membatasi kemerdekaan pers ?

Mari kita pahami apa itu kemerdekaan pers yang terdapat Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Bacaan Lainnya

Kemerdekaan yang diberikan kepada pers ada syaratnya dengan tiga prinsip yaitu demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum, maka jelas bahwa kemerdekaan pers ada batasnya yaitu ;

A. Harus demokratis, tidak otoriter dan ini diwujudkan pada Pasal 1 dan Pasal 2 KEJ.
B. Berkeadilan, hal ini diwujudkan pada Pasal 1 dan Pasal 3 KEJ, selain berimbang, menguji informasi dan menerapkan asas praduga tak bersalah.
C. Menegakkan supremasi hukum, diwujudkan pada Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 11 KEJ.

Seperti juga kemerdekaan pers yang diatur Pasal 2, memiliki dan mentaati KEJ juga perintah UU Pers yaitu Pasal 7 ayat (2).

Dengan demikian jelas kemerdekaan pers dengan mematuhi KEJ adalah hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan pers maupun wartawan.

Apalagi KEJ merupakan produk masyarakat pers sendiri yang dibuat bersama konstituen Dewan Pers sesuai Pasal 15 UU Pers. KEJ meski peraturan Dewan Pers tetapi bukan dibuat oleh Dewan Pers.

Sesuai tupoksi Dewan Pers, lembaga independen ini memfasilitasi masyarakat pers mengatur dirinya sendiri.

2. Bagaimana membedakan ruang privat dan publik dalam memilih pemberitaan sesuai Pasal 9 KEJ ?

Pasal 9 KEJ memang pada satu sisi ada perintah menghormati hak nara sumber tentang kehidupan pribadi tetapi pada sisi lain ada pengecualian terkait kepentingan publik.

Pertama yang harus dipahami adalah apakah objek dan subjek pemberitaan pejabat publik atau menyangkut kepentingan publik ?

Bila seorang pejabat publik atau orang lain tetapi terkait kepentingan publik maka hal ini dapat pengecualian dan dapat diberitakan.

Pemberitaan terbatas pada individu si pejabat publik atau orang lain yang bermasalah dengan kepentingan publik saja, keluarga, seperti anak atau istri/suami tidak disertakan dalam pemberitaan.

Kita sering membaca berita atau konten agar menjual dikaitkan dengan popularitas keluarganya.
“Putri Elvy Sukaesih Ditangkap Saat Nyabu”

https://news.detik.com/berita/d-3871131/putri-elvy-sukaesih-ditangkap-saat-nyabu-ini-sederet-barang-buktinya

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180216201301-12-276755/anak-ratu-dangdut-elvy-sukaesih-ditangkap-terkait-narkotik

https://amp-kompas-com.cdn.ampproject.org/v/s/amp.kompas.com/megapolitan/read/2018/02/16/22270631/putri-elvy-sukaesih-ditangkap-saat-gunakan-sabu-bersama-kakak-dan-ipar?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQHKAFQArABIA%3D%3D#aoh=16240909739344&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s

3. Bagaimana dampak apabila pers atau wartawan tidak mematuhi UU dan KEJ ?

Diawal sudah dijelaskan bahwa kemerdekaan pers dan mematuhi KEJ atau rambu pemberitaan lain merupakan perintah UU sebagai hak dan kewajiban.

Apalagi pada Pasal 2 dengan jelas kemerdekaan pers harus dilaksanakan dengan menerapkan tiga prinsip yaitu demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.

Bila kemerdekaan pers tidak dijalankan dengan tiga prinsip itu, berarti terjadi pelanggaran terhadap asas kemerdekaan pers itu sendiri.

Dampaknya bisa terjadi kekerasan terhadap pers atau wartawan karena orang yang merasa dirugikan gunakan caranya sendiri di luar hukum.

UU dibuat untuk mengatur ketertiban umum hidup bermasyarakat. Bila ada pasal atau aturan hukum yang dinilai tidak sesuai atau bertentangan dengan Pancasila maupun UUD, seharusnya dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Rambu pemberitaan yang memiliki sumber hukum jelas harus dipatuhi bersama baik oleh pers, wartawan dan masyarakat luas.

Rambu pemberitaan bukan hanya ada pada UU Pers tetapi juga UU lain apalagi secara hirarki kedudukannya lebih tinggi seperti UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Selain KEJ rambu lainnya juga dibuat oleh masyarakat pers seperti Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) Tahun 2011 dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) Tahun 2019.

*Pers Kerap Langgar Etik, Apa Sanksinya ?*

1. Bagaimana caranya dan upaya apa yang bisa membuat pers patuh pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) ?

Mematuhi KEJ merupakan perintah Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Derajatnya sama dengan Pasal 2 yang memberikan kemerdekaan terhadap pers.

Perusahaan pers mendapatkan perlindungan hukum atas kemerdekaan pers bila mematuhi prinsip kemerdekaan pers yaitu dikelola secara demokratis dan berkeadilan serta menjunjung supremasi hukum.

KEJ Dewan Pers dan P3 SPS KPI meski sama-sama dibuat oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh UU, namun memiliki perbedaan.

Dewan Pers hanya memfasilitasi masyarakat pers yaitu organisasi kewartawanan, organisasi perusahaan pers dan tokoh masyarakat untuk mengatur dirinya sendiri, kemudian Dewan Pers membuatnya jadi peraturan untuk disepakati dan dipatuhi bersama.

Sedangkan P3 SPS dibuat langsung oleh komisioner KPI lalu dijadikan peraturan.

Bila saudara melihat ada pelanggaran terhadap KEJ, sebagai masyarakat diberikan ruang untuk melakukan hak jawab atau hak koreksi, yang merupakan peran serta masyarakat sesuai Pasal 17 UU Pers.

2. Apakah dengan asas kemerdekaan pers yang dimiliki perusahaan media boleh melakukan apa saja ?

Kemerdekaan pers diatur pada Pasal 2 tidak berdiri sendiri. Ada pembatasan seperti diatur Pasal 5 Jo. Pasal 18 UU Pers.

Tidak semua fakta yang diketahui pers bisa menjadi konsumsi publik. Pasal 5 ayat (1) berbicara tentang pembatasan terhadap norma agama, kesusilaan dan asas praduga tak bersalah.

Politik hukum Indonesia berbeda dengan negara lain seperti Belanda, Denmark dll. Mereka boleh membuat lomba kartun Nabi Muhammad dengan menampilkan wujud Rasullullah, di Indonesia itu pelanggaran hukum dan pers termasuk dilarang.

Pers Indonesia juga harus mematuhi asas praduga tak bersalah sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 3 KEJ. Pemberitaan boleh tetapi harus presisi sebagaimana perintah Pasal 6 UU Pers.

Jadi orang yang baru diduga harus ditulis sebagai terduga atau terlapor. Bila dua alat bukti dilengkapi baru menjadi tersangka, belum pelaku.

Bahkan saat pengadilan tingkat pertama memvonis bersalah, bila masih ada upaya hukum atau pikir-pikir tidak boleh disebut pelaku.

Peristiwa terkait etnis dan anak berhadapan dengan hukum juga tak boleh dibuka identitasnya, meski itu fakta yang didapat bahkan sudah disiarkan atau viral pada media sosial.

3. Apakah masyarakat memiliki hak atas kemerdekaan pers ?

Kemerdekaan pers merupakan sebagian dari wujud kedaulatan rakyat. Peran pemerintah terhadap pers memang ditiadakan pasca reformasi, namun peran masyarakat justru diberikan baik oleh UU Pers maupun UU Penyiaran.

Saudara bisa memanfaatkan Pasal 17 UU Pers untuk menyampaikan Hak Jawab sebagaimana diatur Pasal 5 ayat (2) atau Hak Koreksi sesuai Pasat 5 ayat (3).

Bisa juga memilih langsung mengadu ke Dewan Pers dan bermediasi di sana sesuai tupoksi Pasal 15 UU Pers.

Bila menyangkut isi siaran baik non jurnalistik maupun karya jurnalistik bisa gunakan peran serta masyarakat sesuai Pasal 52 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Pada prinsipnya hak masyarakat dalam kemerdekaan pers dan penyiaran dilindungi hukum, bahkan penanggung jawab media bisa dikenakan pidana pers atau pidana penyiaran.

Baik Dewan Pers maupun KPI memiliki aturan main untuk menerapkan sanksi administrasi, seperti hak jawab, hak koreksi sampai pencabutan berita.

Dewan Pers juga memiliki aturan pembatalan atau pencabutan kartu maupun sertifikat uji kompetensi wartawan, sesuai Peraturan Dewan Pers Nomor 3 Tahun 2015.

Pidana pers dan atau penyiaran proses hukumnya sesuai KUHAP dilaporkan ke polisi lalu dilimpahkan ke pengadilan oleh JPU.

Dapat disimpulkan, Pers yang profesional adalah memperoleh kemerdekaan dengan menunaikan kewajiban.

(Jakarta, 19 Juni 2021)

Kamsul Hasan merupakan Ahli Pers, Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Dosen IISIP, Jakarta dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014

Pos terkait