Istana Rajo Bagindo di Solok Selatan dan Kisah Menariknya

Hai, Topers.

Kita kembali dengan judul baru setelah tiga kisah tentang tambo Alam Surambi Sungai Pagu, dua bagian di Sejarah Kerajaan. Untuk pembahasan kali ini sangat menarik karena kita akan mengulas salah satu raja di Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu (raja adat) yang memiliki istana di Balun, beliau adalah Daulat yang Dipertuan Tuanku Rajo Bagindo Raja Adat Alam Surambi Sungai Pagu.

Pada bulan April tahun 1922 di gedung pertemuan Bagindo Aziz Chan, Kota Padang, diadakan pameran Surat Emas Raja-raja dan Manuskrip Nusantara. Salah satu peserta yang dibawa adalah Puti Ros Dewi dari Istana Raja Balun milik suku Kampai Nan 24. Beliau dijemput oleh istri gubernur Sumatera Barat dan membawa Naskah Balun yang ditulis pada abad ke-15 (naskahnya masih ada sampai sekarang).

Bacaan Lainnya

Beberapa hari yang lalu dalam program ‘Jelajah Solsel’ saya berkunjung ke Istana Rajo Bagindo dan bertemu langsung dengan Puti Ros Dewi Balun, anak dari Puti Andam Dewi, keturunan ke-16 yang sudah berusia 82 tahun. Meski sudah terbilang tua, namun guratan kecantikan dan kewibawaan beliau masih tetap nyata. Saya diperkenankan naik ke rumah gadang dan kami berbincang cukup lama seputar Alam Surambi Sungai Pagu.

“Dulu, pada masa PDRI, rumah gadang ini dibakar oleh Belanda,” ujar beliau bersemangat. “Untung saja datang Inyiak membantu, orang Belanda itu lari kocar-kacir.”

Bagi orang Minangkabau, sebutan Inyiak tentu saja sudah menjadi hal yang lumrah. Maksudnya adalah inyiak harimau yang datang. Namun saat istana tersebut dibakar Belanda, bukan hanya harimau saja yang datang, melainkan juga seekor ular besar.

“Sebesar apa ularnya ketika itu, Bu?”

“Besar, sebesar tonggak rumah gadang ini barangkali,” jawab Puti.

Tahun 1948, saat Indonesia bergolak karena Belanda ingin kembali menduduki wilayah jajahannya. Sumatera pernah menjadi basis pertahanan terakhir. Di bawah komando Mr. Syafruddin Prawiranegara, beliau bergerilya memperjuangkan negara kesatuan Republik Indonesia ini.

Menurut cerita Puti, saat itu rombongan Mr. Syafruddin Prawiranegara sudah sampai di Sangir, namun ada satu rombongan lagi yang tertinggal, rombongan kedua. Karena sudah kemalaman (dahulu berjalan malam di daerah tersebut pamali, dilarang) maka rombongan yang berjumlah 20 orang tersebut menumpang menginap di istana raja Bagindo. Namun naas, mata-mata Belanda mengetahui hal itu dan mengadukannya, dia menyebut bahwa rumah gadang raja Bagindo telah menjadi markas tentara. Belanda pun datang hendak menggempur mereka, mereka berusaha membakar rumah gadang dengan menyiramkan minyak ke sekeliling rumah.

“Bekas bakarnya masih ada di tiga tonggak sekarang, marilah kita lihat,” kata Puti kepada saya yang masih dalam keadaan takjub.

Puti menyebut, pada hari-hari tertentu Inyiak kadang turun dari atas bukit. Duduk di atas batu besar itu (Puti menunjuk ke arah batu besar yang ada di halaman rumah gadang) dan jika hendak membantai Kabau Nan Gadang (kerbau yang besar) saat akan turun ke sawah, semua isi perut diberikan kepada inyiak.

“Jadi isi perut itu dimasukkan ke dalam keranjang bambu, tak boleh kena tangan, itu pantangannya, kalau kena tangan tak akan disentuh oleh inyiak. Lalu di antarkan ke bukit belakang rumah gadang ini.”

Puti juga memperlihatkan kepada saya Naskah Balun yang dipamerkan tahun 1922 tersebut. Terdapat cap kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu di bagian atas naskahnya, untuk kondisi naskah masih cukup terawat, hanya beberapa bagian saja yang bolong dimakan rayap.

Layaknya rumah gadang, rasanya tak akan sempurna jika tidak ada rangkiang (tempat menyimpan padi) si halaman rumah gadang. Saat saya bertanya di mana rangkiang rumah gadang itu, Puti menjelaskan bahwa rangkiang sudah dibakar pada zaman Jepang.

“Dulu ada dua buah rangkiang di depan istana ini, tapi dibakar Jepang, isinya diambil semua dan dibawa ke Teluk Bayur.”

Menilik dari kondisi rumah gadang yang kini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya tersebut membuat saya berdecak kagum. Alangkah eloknya kerajaan ini dulu, makmur dan sejahtera. Benar-benar layaknya negeri Baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur.

Di dalam rumah gadang, juga tersimpan koleksi keris, foto-foto lama dan juga benda-benda peninggalan purbakala yang sebagian diletakkan di dalam lemari kaca. Puti Ros Dewi sangat senang jika ada tamu yang datang ke istananya, apalagi dalam rangka belajar sejarah.

“Kalau ada pertemuan dan jamuan besar, ke istana ini dibawa. Dulu ada profesor dari Australia, raja Italia dan raja Medan yang datang berkunjung. Ke sini dibawa oleh kepala dinas kebudayaan,” ujar Puti.

Mengingat dulunya Kabupaten Pesisir Selatan termasuk ke dalam wilayah Alam Surambi Sungai Pagu, saya pun bertanya apakah orang-orang dari Pesisir Selatan sering berkunjung ke rumah gadang tersebut. Puti menjawab masih, bahkan mereka juga membawa oleh-oleh dari Pesisir.

“Itu, keranjang pembawa ikan dari rotan adalah hadiah dari kunjungan orang dari Pesisir,” tunjuk Puti ke keranjang berwarna kuning tua yang diletakkan di bawah anjungan.

Terakhir, Puti menyarankan saya untuk juga singgah ke istana yang tiga lainnya. Letaknya tidak jauh dari Masjid 60 Kurang Aso. Istana yang Dipertuan Tuanku Rajo Disambah juga ada di sana. Waah sepertinya saya harus menyiapkan tiga artikel khusus lainnya untuk membahas ketiga istana itu ya, Topers. Selalu nantikan episode selanjutnya ya.

Salam budaya,

(Haris)

Pos terkait