Dilema Penerapan Belajar Daring di Solok

Oleh: Syafradi (Wartawan Muda)

Sebuah kabar memilukan menyeruak dari dinding media sosial, Facebook. Seorang anak nekat melarikan ponsel pintar (smartphone) di sebuah konter. Alasannya sangat memilukan, tidak punya smartphone untuk belajar daring (dalam jaringan) alias online.

Cerita awalnya, si gadis memang sempat minta dibelikan handphone android pada kakaknya, karena masa Covid-19, belajar pakai sistim daring. Setiap siswa, harus punya smartphone. Karena belum punya uang, si abang belum bisa menyanggupi. Si gadis gigit jari.

Bacaan Lainnya

Mungkin karna sangat butuh, si gadis cari jalan pintas, dapat telpon pintar cara instan. Jurus kepepet namanya. Usai bersepakat dengan seorang teman, targetnya konter HP, di kawasan KTK, Kota Solok, Sumatra Barat.

Mulanya sang gadis pura-pura membeli, dari sekian merek, dipilihlah HP OPPO A31, Smartphone kelas menengah. Harganya cukup menguras kantong, bagi orang yang pas-pasan. Sekitar Rp3 juta, kurang seribu.

Tidak ada gerak gerik mencurigakan, tapi matanya tajam mengawasi penjual, menunggu waktu yang pas. Bak ibarat aksi dalam adegan film Hollywood. Saat penjual tengah layani pembeli lain, si gadis langsung tancap gas bersama seorang temannya. Hilang ditengah padatnya jalan raya, membawa HP incaran.

Si gadis langsung pulang. Punya HP baru yang diimpikan demi belajar online, awalnya, sempat disembunyikan dari kakaknya. Takut kakaknya curiga, namun sepintar-pintar menyembunyikan bangkai, baunya akan tercium juga.

Si kakak mengetahui adiknya punya HP baru. Langsung curiga. Dapat darimana? padahal dia tak pernah membelikan. Setelah didesak, akhirnya adiknya menyerah dan mengaku. Bukan kepalang, abangnya naik pitam. Marah dengan perbuatan sang adik.

Tanpa pikir panjang, kakak si gadis mengembalikan HP yang dicuri ke toko. Meski malu muka, si abang dengan lembut meminta maaf. Adiknya lancang melarikan HP, pastinya sebuah tindakan tidak terpuji, walaupun sangat butuh, tidak ada alasan berbuat curang.

Sisi baiknya, Tidak banyak orang sebaik kakak si gadis saat ini. Kalaupun tidak dikembalikan, si gadis juga tidak ketahuan, sudah berhasil lolos. Tapi kalau dibiarkan, adiknya akan membenarkan apa yang dilakukannya. Perbuatan salah yang dibenarkan oleh orang baik, akan menjadi benar.

Itikad baik si kakak membuat pemilik toko luluh, tidak menyoal kejadian itu, padahal, kalau mau bisa saja diseret ke meja hijau. Mereka juga tidak se tega itu. Apalagi, barang yang dicuri juga sudah kembali. Masih rejekinya.

Namun dibalik kisah nyata yang di publish akun Facebook Jaya MP itu, ada pesan keras bagi penguasa negeri ini. Sistim yang diterapkan, menambah membebani orang-orang yang tak punya. Apalagi ditengah sulitnya ekonomi, akibat pandemi. Bertubi-tubi penderitaannya.

Sistim pembelajaran daring ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi solusi ditengah pandemi, pelajar tidak harus ke sekolah, cukup belajar dirumah. mengirim tugas melalui ponsel pintar. Disisi lain, kondisi ini seolah penambah beban bagi kaum ekonomi lemah. Jangankan untuk untuk membeli smartphone, bersekolah saja mereka kadang tidak punya uang untuk jajan, sekolah modal semangat. Ditambah lagi kebijakan belajar daring, semakin membuat pusing kepala orang tua.

Di salah satu pesantren di kabupaten Solok, ada sekitar lima orang murid yang tidak punya smartphone sama sekali keluarganya. Nasib mujur masih punya handhone biasa, cuman bisa telpon dan SMS yang sudah gak jaman lagi.

Mungkin banyak yang lupa, kapan mereka terakhir kali mengirim pesan singkat (sms), paling hanya menerima sms dari koperasi yang menawarkan pinjaman secara online. Bisa masuk setiap hari, koperasi ini, koperasi itu, menawarkan jeratan kredit. Riba.

Kembali ke anak pesantren tadi, selama belajar daring, mereka terpaksa harus meminjam ponsel pintar ustaz Ponpes yang kebetulan dekat dengan tempat tinggalnya. Kalau tidak ada ustaz, dengan apa mereka mengirimkan tugas. Bisa-bisa mereka waktu itu tak naik kelas.

Kalaupun keluarga miskin berupaya mati-matian beli ponsel pintar bekas, bisa saja, dengan harga miring, tapi pengeluaran mereka akan bertambah lagi. Beli pulsa, beli paket internet. Tambah beban lagi.

Ditengah penderitaan masyarakat ekonomi lemah, kebijakan pemerintah soal belajar daring membuat sebagian pihak ketiban untung besar. Penggunaan internet semakin tinggi, provider telekomunikasi panen.

Tapi tak pernah ada kabar, mereka memberikan sebagian laba untuk mereka yang “terpaksa” menggadaikan beras demi pulsa. Miris. Harusnya ada. Itupun kalau mereka punya rasa tanggungjawab sosial. Bukan hanya menjanjikan undian, itu hanya untuk yang banyak beli pulsa.

Itu hanya cerita pilu sebutir pasir di pantai lepas, masih banyak kisah pilu lainnya yang tergulung dalam ombak kehidupan. Seharusnya, kebijakan pemerintah lebih solutif terhadap persoalan masyarakat, bukan menambah beban.

Jika tidak salah, di Sumatra Barat, sistim belajar daring akan tetap diberlakukan sampai September nanti, bagi daerah merah (ada kasus positif Covid-19). Bisa dibayangkan, berapa lama lagi anak-anak kurang beruntung ini akan menahan hati. Menderita oleh sistim.

Lantas apa solusinya, seharusnya pemerintah daerah dan sekolah, menerapkan kebijakan yang menyesuaikan terhadap ekonomi siswa. Kalau mereka tidak punya ponsel pintar, bisa belajar atau menerima tugas secara luar jaringan (luring). Toh di daerah yang tidak terjamah jaringan, diberlakukan sistim demikian.

Era kenormalan baru harusnya membawa keceriaan bagi semua pihak, bukan malah menancapkan muram duka untuk kalangan papa. Negara ini, daerah ini, belum siap dengan pola barat. Sesuaikan dengan kondisi masyarakat. (***)

Pos terkait