Cerpen – Dimana Tuhan Sekarang?

Oleh : Hasbunallah Haris

Laboratorium fisika itu lengang. Dua orang laboran yang memakai jas putih tengah duduk di depan masing-masing mikroskop di depan matanya. Fokus sekali. Tak seorang pun di antara mereka yang mencoba untuk saling bicara. Keduanya bekerja bagai kuda, bahkan salah seorang di antara mereka berdua sudah tiga malam belum tidur.

Beberapa saat kemudian laboran yang memakai kacamata dengan tanda nama Mark Robinson di dadanya memundurkan kursi dan mencatat beberapa hal di kertas meja labnya. Lalu melakukan sedikit peregangan sambil menguap lebar.

Bacaan Lainnya

“Masih lama?” tanya Mark Robinson kepada rekannya yang sedang berkutat dengan mikroskopnya.

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan acungan jempol ke bawah. Mungkin dia ingin mengatakan bahwa hasilnya nihil dan dia masih membutuhkan banyak waktu untuk melakukan tes lebih banyak lagi atas penemuannya.
“Kau pernah berpikir apa sekarang Tuhan sedang melihat kita, Frank?” Mark Robinson menatap awang-awang sambil menggumam. Tak ada sahutan dari temannya. “Apa Tuhan benar-benar menciptakan semuanya untuk kita saja? Bagaimana dengan dunia lain di luar sana seperti Fisika Kuantum yang sedang kita coba pecahkan?”

Setelah puas mendengar celoteh temannya, Frank turut memundurkan kursinya dan menyambar kopi kaleng di atas meja lab. Salah satunya dilemparkan kepada Mark Robinson dengan sedikit menyeringai.

“Kau sudah ingin bertemu Tuhan rupanya,” ejek Frank sambil meminum kopinya.

“Tidak begitu. Aku malah menanyakan apakah Tuhan itu benar-benar ada. Kau lihat sekitar, apa yang kita kerjakan di sini. Kita, um maksudku para ilmuan, telah menemukan banyak hal yang spektaktakuler. Dari zaman Copernicus bahkan jauh sebelum itu perdebatan mengenai ini tak kunjung selesai, kan?”

“Dengar.” Akhirnya Frank memutar roda kursinya dan menghadap ke arah Mark Robinson. “Manusia itu banyak bagiannya, dan kita adalah bagian para ilmuan. Jika kau ingin menjawab pertanyaan seperti itu maka pergilah kepada ahli religius dan tanyakan pada mereka.”

Mark mengangkat bahu, membuka kopi kaleng pemberian Frank yang mengeluarkan bunyi mendesis. “Aku hanya ingin membuktikannya secara ilmiah. Itu saja. Kita diberikan otak dan kita menggunakannya. Kita membedakan baik dan buruk dengan otak, membedakan apa saja, pikiran kita, tindakan kita, sifat kita, kitalah yang mengendalikan semuanya. Kurasa sudah tak ada lagi tempat yang bisa Tuhan tempati di zaman kita sekarang. Bukan begitu?”

“Lumayan, kau menempatkan seolah Tuhan hanyalah sekedar dongengan saja, Mark. Jangan pernah menganggap Tuhan bagaikan mitologi orang-orang Yunani atau Nordik atau apalah itu. Mereka menciptakan Tuhan mereka sendiri dan menyembahnya. Paganisme. Mana yang lebih menyesatkan?”

“Iya, tapi di mana Dia sekarang? Aku hanya ingin melihatnya setidaknya satu kali hanya untuk membuktikan bahwa dia benar-benar ada.

“Tidak semua yang ada harus dibuktikan dengan mata kepalamu, Mark. Kalau begitu tunjukkan padaku di mana idemu yang hebat itu sekarang, di mana kau menyimpan mimpi-mimpimu yang besar itu?”

“Dalam pikiranku.”

“Tepat sekali. Aku bertaruh kau tidak akan mampu menjelaskan padaku darimana idemu berasal, kan? Kau hanya perlu yakin dengan keberadaan Tuhan untuk tahu bahwa Dia benar-benar dekat, Mark. Itu saja.”

“Tapi tetap saja Dia tidak tampak, kan?”

“Karena itu disebut gaib.” Frank meneguk kopinya hingga habis dan meremas kalengnya sebelum kemudian dilemparkannya ke tong sampah di dekat pintu masuk lab.

“Tidak bisakah Dia dibuktikan secara ilmiah?”

“Bisa, lihat ke mikroskopku dan kau akan mengetahuinya.”

“Kau bercanda,” ejek Mark Robinson merendahkan. Namun dia tetap mendekat ke mikroskop Frank untuk melihat apa yang ada di sana.

Dia melihat sebuah kumparan yang sangat kecil, berputar dengan kencang bagaikan tidak akan pernah berhenti seperti perpetual machine atau mesin gerak abadi. Kumparan itu mengambang, lalu menyusut dan meledak dalam artian yang sebenarnya. Lalu sub kumparan itu kembali membentuk sesuatu yang dia yakini lebih berbahaya dari nuklir jika digunakan untuk meledakkan sebuah kota.

Keringat dingin bertimbulan di pelipis Mark. Sekali lagi dia memastikan penglihatannya dan kejadian itu membuatnya merasa ngeri.

“Itu seperti …” katanya tanpa tenaga, menatap Frank yang tersenyum. “Big Bang.”

“Benar, dan akhirnya kau menyadari itu, Mark. Bahwa alam ini ada dari ketiadaan, dan itu diciptakan oleh sebuah tenaga yang maha dahsyat.”

“Antimater?”

“Yah, begitu kita menyebutnya. Dengan begitu keselarasan antara ilmu pengetahun dengan alkitab dapat diluruskan, keduanya adalah hal yang berdampingan dan tidak pernah bertentangan. Tuhan berfirman kepada Abraham dan memerintahkannya untuk menghitung bintang-bintang. Bukankah itu adalah cikal-bakal ilmu Astronomi? Lalu Tuhan menjadikan pasang surut air laut yang membuat kita bingung dan menciptakaan Fisika Diamagnetik, ajaran kitab selalu selaras dengan ilmu pengetahun, Mark. Dengan begitu kau bisa meyakinkan diri sekarang bahwa kitab suci bukanlah buatan manusia.”

“Buatan Tuhan?”

“Benar, lalu mewahyukannya kepada para nabi dan menyebutnya dengan firman.”

“Dan di mana Dia sekarang?”

”Di mana saja. Bukankah kau pernah mendengar bahwa Dia menguasai alam semesta ini? Dia mengatur semuanya dengan baik dan memberikan rambu-rambu yang dinamakan alkitab, sebagai pedoman untuk kita menjalani penjara dunia ini.”

“Aku hanya mengerti bahwa penciptaan dari ketiadaan adalah mungkin seperti Antimater. Ini gila, bagaimana mungkin itu terjadi?”

Frank mengerling kepada Mark. “Untuk itulah kita berada di sini sekarang, untuk membuktikan kebenaran itu.”

Pos terkait