Cerpen – Perspektif

Oleh : Zulis Marni (Mahasiswa UIN Imam Bonjol, Padang)

Menyebalkan!

Sudah satu minggu berlalu kegiatanku masih saja sama, padahal Kamis kemarin aku sudah membagi waktu sedemikian rupa. Menyedihkannya semua yang kutulis hanya sebagai bahan bacaan saja, tidak terlaksana; kegiatan asrama yang padat ditambah lagi dengan tuntutan organisasi di kampus yang membuat dadaku terasa sesak menjalaninya. Sekarang aku lebih kesal lagi dengan diriku sendiri, hari ini semangat besoknya kembali menjadi aku yang pemalas.

Bacaan Lainnya

Seperti sekarang aku masih berbaring di tempat tidur dengan santai sambil menonton beberapa video yang ada di sosial media, jemariku lincah menggulir video demi video, sesekali aku membaca beberapa status temanku.

“Hera! Hari ini kita piket masak.” Terdengar suara khas Sinta yang berada di luar kamar memanggilku, aku menoleh menatapnya saat menghampiri ranjangku.

Ucapan Sinta barusan membuat tubuhku lunglai tanpa kerangka, inilah salah satu kegiatan asrama yang tidak aku suka. Aku menghembuskan nafas lelah lantas mengangguk pelan sambil tersenyum berusaha menyembunyikan segala kelelahan yang kurasakan.

“Jam berapa kita masak?” tanyaku pura-pura antusias.

“Habis dzuhur aja gimana?” Sinta memberi usulan.

“Boleh tuh, tapi selesai aku kuliah ya.”

Gawaiku berbunyi beberapa kali menunjukkan beberapa notifikasi dari WhatsApp messenger. Aku kembali dengan posisi yang sama, meringkuk di atas ranjang sambil membuka aplikasi berlogo hijau itu.

‘Bisa ke redaksi hari ini, Hera?’

‘Kamu harus liputan’

Pesan singkat itu membuatku terbangun dari ranjang springbed dengan seprai berwarna krem milik Nadia teman sekamarku. Aku segara mencari Sinta. Jujur saja, aku keberatan meninggalkannya sendirian masak, tapi aku tidak dapat menolak panggilan dari organisasi ini. Sial, lagi-lagi aku dilema.

Aku mengetuk pintu dengan warna cokelat tua itu. Kamar Sinta tepat berada di depan kamarku hanya ruang makan yang membatasi kamar kami.

“Masuklah,” ujar seseorang yang kutahu bukan suara Sinta.

“Andin, Sinta mana?” tanyaku bingung.

“Sinta lagi mandi siap-siap mau ke kampus,” jelas Andin tanpa menoleh. Matanya tetap fokus ke layar laptop di atas meja, sibuk mengetik sesuatu entah apa yang ia buat.

Aku menghampiri Sinta yang baru saja keluar kamar mandi. Aroma romansa memasuki indera penciumanku.

“Ada apa, Ra?” ujar Sinta tanpa sambil sibuk menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.

Aku langsung memperlihatkan pesan singkat dari seniorku di organisasi.

“Yaudah pergi aja gapapa, aku ke kampus cuma sebentar.”

Hatiku terasa berat meninggalkan Sinta masak sendirian, tapi tak mungkin aku tidak ikut liputan. Sudah dua hari yang lalu aku tidak ke redaksi karena kegiatan di asrama.

“Tapi, Sin …,” ucapanku terpotong saat melihat wajah Sinta yang seolah-olah marah padaku.

“Santai aja.” Sinta melambaikan tangan di depanku tidak peduli dengan raut wajahku yang memberengut kesal. “Tapi besok kamu piket kebersihan ya,” lanjutnya memberi perhitungan.

Spontan aku mengangguk semangat. Beruntung aku memiliki partner seperti Sinta, begitu pengertian meski kadang aku merasa tidak enak hati padanya.

Menuju redaksi, aku berlari sambil melihat arloji hitam yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul sepuluh kurang lima menit, aku telat dua puluh menit. Hanya jarak seratus meter aku sudah melihat bangunan tunggal dengan cat merah putih bertulisan ‘mahasiswa bersuara’ yah itu dia kantor redaksi yang akhir-akhir ini sering kukunjungi setelah pelantikan menjadi anggota resmi sebulan yang lalu.

“Aduh Hera kamu kok telat lagi sih, cepat susul teman kamu di kantor dekan,” omel salah satu senior laki-laki yang duduk di depan komputer usang redaksi.

Aku terperangah kaget, menatap bang Hanif tidak percaya. Apa aku sekarang harus berlari lagi? Kucoba untuk mengatur nafas yang sudah tak karuan berusaha menetralkan jantung kini sudah berdegup kencang.

“Bang, boleh duduk dulu ga?” Tanyaku lirih hampir tak terdengar.

“Apa?” Bang Hanif yang tadi sibuk menatap layar monitor mengalihkan pandangannya.

Melihat tatapan dari bang Hanif membuatku enggan untuk mengulang ucapanku, dengan cepat aku menggeleng lantas berjalan gontai meninggalkan redaksi yang terlihat sepi.

Tiba di kantor dekan aku melihat wajah-wajah lesu dari teman-teman yang dari redaksi, mataku seolah bertanya menatap mereka entah kekuatan apa mereka memahami maksud tatapanku lantas Sena berbicara tanpa suara.

“Lagi sibuk dekannya,” ucap Sena sambil memasang wajah kesal.

Aku hanya mengangguk paham, dekan ini adalah dosen di salah satu mata kuliahku. Aku duduk menghampiri Sena, mahasiswi cantik dari jurusan Hukum dan beberapa teman yang lainnya. Satu jam berlalu, Sena sudah memasang wajah bete. Aku melihat pintu kaca itu masih saja tertutup rapat. tidak ada tanda-tanda seseorang keluar dari ruangan ber-AC itu.

“Lama banget nih,” keluh Sena uring-uringan di atas sofa di ruang tunggu.

Aku hanya diam tak menanggapinya. Aku sibuk mengetik pesan untuk ketua asrama mengabarkan bahwa aku akan pulang terlambat hari ini.

Pintu kaca itu terbuka bersamaan dengan terkirimnya pesanku. Dengan cepat aku menghampiri pria paruh baya dengan wajah sangar serta tubuh yang tak terlalu tinggi dan sedikit berisi.

“Kamu tadi yang mau bicara dengan saya?” katanya dengan raut wajah datar.

Aku mengangguk pelan lalu masuk kedalam ruangan 3×4 itu diikuti oleh Sena dan dua orang teman lainnya.

“Ini semua anak dari mahasiswa bersuara?” tanya bapak itu mentap kami satu persatu secara bergantian.

“Iya, Pak,” jawabku sambil tersenyum kikuk.

“Oh iya mau apa?” tanyanya lagi kini dengan posisi yang sudah duduk di depan meja Sena.

“Ini pak, saya mau wawancara terkait bintang aktivis kampus,” ujar Sena mendahuluiku. Aku menatap Sena kesal.

“Oke, apa yang terjadi di sana? Apa yang perlu saya komentari?”

Sena mengutarakan beberapa pertanyaan. Tiba pada pertanyaan ketiga bapak itu terdiam sejenak sambil mengerutkan dahinya berpikir.

“Kalian paham tidak apa itu aktivis kampus?” tanyanya dengan wajah masam. “Kalian ini wawancarai saya, tapi kalian tidak paham apa yang kalian tanyakan. Wah, bahaya jika semua wartawan seperti ini, kamu tidak menguasai isu yang kamu miliki, kamu tidak bisa dapat informasi kalau kamu saja tidak paham dengan isu yang kamu ambil,” lanjutnya dengan wajah kesal.

Sudah menunggu lama, tidak pula mendapatkan informasi belum lagi mendengar omelan yang menyebalkan. Aku merutuki Sena dalam hati, coba saja aku yang bertanya mungkin endingnya tidak akan seperi ini. Setelah mendapat ceramah singkat itu, aku dan Sena keluar ruangan menuju redaksi dengan perasaan yang berkecamuk. Baru saja sampai di redaksi, Sena dan dua teman lainnya main kabur saja.

“Hera, aku ada kelas nih, kamu aja yang jelasin ke kak Rani yaa.”

Aku hanya diam terperangah setelah sadar melihat Sena dan temannya berjalan menjauh.

“Kesialan apa lagi yang harus aku terima hari ini?” batinku resah.

Aku masuk ke dalam kantor redaksi itu beberapa pasang mata menatapku saat aku mengucapkan salam, ada kak Rani di sana sedang mengobrol santai bersama salah satu pengurus organisasi ini.

“Kak, tadi kami udah pergi ke ruang dekan.”

Kak Rani menoleh menatapku sambil tersenyum tipis, tipis sekali hingga tak terlihat.

“Oh ya? Jadi gimana pendapat bapak itu?” tanyanya antusias.

Aku menggaruk jidat yang tak gatal menghilangkan rasa canggung. Kak Rani menatapku dengan saksama siap mendengar kalimat selanjutnya dari mulutku.

“Itu masalahnya kak, pak dekan bukannya ngasih pendapat tapi malah ceramahin kami bertiga,” ujarku berusaha menyembunyikan suara yang hampir saja bergetar. Aku tidak takut dengan siapapun hanya saja aku malu, malu jika kak Rani lagi-lagi memarahiku didepan orang banyak. Aku tak suka namun tak bisa berbuat apa-apa.

“Lho, kok bisa gitu? Emang kalian wawancara bapaknya gimana?” Kini kak Rani sempurna memutar kursinya tepat di depanku, wajahnya terlihat tidak bersahabat hari ini.

“Tadi yang mewawancarai pak dekan si Sena kak.”

“Kamu ini gimana sih, terus kerjaan kamu apa? Cuma numpang nama sebagai wartawan gitu?” tanya kak Rani sambil menatapku kesal.

Bersambung …

Pos terkait