Berpikir Sungsang

Catatan : Kamsul Hasan, SH, MH

Debat soal siaran langsung prosesi pernikahan selebritas masih terjadi. Padahal siaran seperti ini sudah berulang.

Selalu yang diperdebatkan soal domain publik. Mereka yang menolak siaran, menganggap itu penyalahgunaan frekuensi.

Bacaan Lainnya

Sementara yang mendukung siaran itu mengatakan apakah dengan 20,8 juta pengikut tidak diakui sebagai “publik”.

Sampai saat ini memang penyelenggaraan jasa penyiaran terestrial masih diatur UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

UU itu menunjuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai penjaga rambu penyiaran sehat.

KPI menjadi ‘super power‘ dia membuat P3 SPS, mengawasi dan juga memberikan sanksi, sehingga “disegani”.

Apalagi akumulasi sanksi bisa digunakan untuk penilaian dan rekomendasi perpanjangan izin frekuensi yang terbatas itu.

Namun belakangan menjadi pertanyaan setelah UU Cipta Kerja melalui Pasal 72 Ayat (4) menghapus ketentuan Pasal 34 UU 32/2002 tentang Penyiaran.

Pasal 34 UU Penyiaran mengatur mengenai masa izin penyelenggaraan penyiaran radio hanya selama 5 tahun, sedangkan izin penyiaran televisi 10 tahun.

Saat duduk bersama Ketua KPI, sebagai panelis pada Forum Wartawan Pelabuhan saya sempat bertanya bagaimana nasib KPI pasca UU Cipta Kerja tidak membatasi waktu penggunaan izin penyiaran.

Frekuensi pelanggaran terhadap P3 SPS sangat mungkin meningkat. Lembaga penyiaran tidak takut lagi dengan akumulasi atau tumpukan berkas pelanggaran.

Sebagai industri media, lembaga penyiaran lebih menghitung penghasilan. Apabila kelak KPI membuat denda atas pelanggaran P3 SPS pun tidak membuat surut.

Sepanjang secara ekonomi hasil pendapatan siaran yang diperdebatkan itu menghasilkan maka pelanggaran demi pelanggaran akan terjadi.

Bagi pengelola penyiaran tidak mungkin melakukan siaran langsung tanpa ada nilai jual karena membutuhkan biaya air time dan lain-lain yang sangat besar.

Nilai jual itu diartikan marketing sebagai minat publik. Angka 20,8 juta orang pengikut pada channel YouTube dijadikan nilai jual dan mewakili “publik”.

Mungkin sekarang harus berpikir terbalik atau sungsang. Bila bahasa peraturan istilah kepentingan publik tidak terdapat nominalnya, angka jutaan pengikut bisa disebut publik.

(Jakarta, 16 Maret 2021)

Kamsul Hasan merupakan Ahli Pers, Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Dosen IISIP, Jakarta dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014

Pos terkait