Apakah Wartawan Memiliki Legal Standing Dalam Sengketa Pemberitaan ? Ini Jawabannya

Foto: Diskusi di Ruang Makan di Nyiur Resto Putri Duyung, Ancol, Jakarta Utara. Minggu, (07/02/2021) Sore Kemarin Berlangsung Hangat. Tampil dalam Diskusi Ketua Umum PWI Pusat, Atal Sembiring Depari, Wakil Ketua Dewan Pers, Hendri Ch Bangun dan Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat, Kamsul Hasan
Foto: Diskusi di Ruang Makan di Nyiur Resto Putri Duyung, Ancol, Jakarta Utara. Minggu, (07/02/2021) Sore Kemarin Berlangsung Hangat. Tampil dalam Diskusi Ketua Umum PWI Pusat, Atal Sembiring Depari, Wakil Ketua Dewan Pers, Hendri Ch Bangun dan Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat, Kamsul Hasan

Bila terjadi sengketa pemberitaan, apakah wartawan memiliki legal standing ?

Menjawab pertanyaan tersebut, pada Minggu, (07/02/2021) sore kemarin, berlangsung diskusi di
Ruang makan di Nyiur Resto Putri Duyung, Ancol, Jakarta Utara.

Diskusi menampilkan Ketua Umum PWI Pusat, Atal Sembiring Depari, Wakil Ketua Dewan Pers, Hendri Ch Bangun dan Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat, Kamsul Hasan.

Bacaan Lainnya

Diskusi juga turut dihadiri pengurus PWI Jaya, diantaranya TB Tebe Adhi, Naek Pangaribuan, Berman Nainggolan, Lumban Raja, Cak Herry Laras Post, dan lainnya.

Dilansir dari laman facebook ahli pers, Kamsul Hasan, dibawah judul ‘Legal Standing‘, disebutkan diskusi di Ruang makan di Nyiur Resto Putri Duyung kemarin berlangsung hangat.

Berbagai topik diskusi dibahas, salah satunya soal legal standing atau kedudukan hukum.

Baik Ketua Umum PWI Pusat, Atal S Depari maupun Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun sama-sama membahas hal tersebut.

Ada sejumlah persoalan pada berbagai daerah yang melibatkan wartawan baik sebagai terlapor maupun pelapor di kepolisian.

Padahal wartawan tidak memiliki legal standing atas hal itu. Sebagai contoh bila terjadi sengketa pemberitaan bukan urusan wartawan.

Baik Atal S Depari maupun Hendry Ch Bangun sepakat hal itu diatur Pasal 12 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Legal standing sengketa itu ada pada penanggung jawab.

Sebaliknya bila ada pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (1) legal standing juga berada pada perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab perusahaan pers.

Kamsul Hasan, Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat menambahkan, UU Pers memang menganut sistem pertanggungjawaban korporasi bila melihat pidana pers pada Pasal 18 yang terdiri dari tiga ayat.

Dikatakannya, perlindungan hukum terhadap wartawan yang tengah menjalankan profesi jurnalistik seperti diatur Pasal 8 dan penjelasannya tidak terkait pidana pers pada Pasal 18 UU Pers.

“Bila wartawan ingin gunakan UU Pers, maka harus didukung perusahaan pers tempatnya bekerja sesuai Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3). Dewan Pers pun sudah mengatur hal ini,” ucap Kamsul.

Kemudian apakah organisasi profesi kewartawanan memiliki legal standing atas Pasal 18 ayat (1) ?

“Jawabannya sudah barang tentu tidak,” Jelas Kamsul.

Namun demikian, sebut Kamsul, organisasi profesi kewartawanan sangat mungkin melakukan advokasi atau pendampingan bagi anggota yang berhadapan dengan hukum, tetapi bukan sebagai pelapor.

“Organisasi profesi dapat memiliki legal standing dan menjadi pelapor apabila materi hukum atau alat buktinya jelas menyerang kehormatan institusinya,” pungkas Kamsul.

Topik lainnya yang dibahas dalam diskusi kemarin adalah, terkait revenue sharing, bagi hasil pendapatan kotor Google dan sejenisnya dengan perusahaan pers di Indonesia.

“Indonesia perlu membuat UU terkait pola bagi hasil seperti Google dengan perusahaan pers di Indonesia. Selama ini tidak jelas,” kata Ketum PWI, Atal S Depari.

(AL/Red)

Pos terkait