Indonesia Kaya Rempah dan Obat

Catatan : Adpi Gunawan

Dalam sepekan terakhir ini, dada kita serasa sesak oleh informasi mengenai gagal ginjal akut.

Sebagai masyarakat sekaligus orang tua, kita tentu sangat prihatin dan was-was setelah mengetahui pemicunya (diduga) adalah kandungan Etilen Glikol (EG) melebihi ambang batas pada obat sirup.

Bacaan Lainnya

Jauh sebelum penemuan gagal ginjal akut ini, patut juga kita cermati bahwa kita memang betapa sangat mudahnya dalam mengkonsumsi obat-obatan pabrik.

Betapa mudahnya kita menemukan obat, sampai-sampai di hampir setiap warung, kedai, lapau pun dijumpai orang menjual obat pabrik.

Dikutip dari laman pom.go.id pada tahun 2020 saja terdapat 648 apotek dan 350 toko obat di Propinsi Sumatera Barat, belum termasuk toko obat kuat.

Obat memang baik untuk kesehatan, tetapi disisi lain jika dikonsumsi dengan tidak benar atau tidak sesuai dosis maupun petunjuk dokter, obat bisa menyembuhkan sekaligus memicu penyakit lain.

Dikampung-kampung aneka jenis obat juga melekat pada julukan orang, misalnya Si Yung Konidins, Si Wang Bodreks, dan Si Jang Sehats.

Laris manisnya bisnis obat ini bukanlah karena masyarakat kita penyakitan, tetapi lebih diakibatkan mudahnya mengkonsumsi obat yang disebabkan peduli kesehatan maupun korban manisnya rayuan iklan.

Indonesia Kaya Rempah

Ada baiknya kita ingat kembali pelajaran di sekolah dulu, bahwa masuknya bangsa Eropa ke negeri kita adalah karena rempah.

Datangnya Portugis pada tahun 1512 ke Maluku dipimpin Alfonso de Albuquerque disusul Spanyol pada 7 April 1521 adalah mencari rempah.

Selanjutnya Belanda pada April 1595 dipimpin Cornelis de Houtman kemudian Inggris tak mau ketinggalan pada 1602 juga masuk ke Nusantara juga karena rempah.

Saking pentingnya rempah bagi bangsa Eropa, sesama mereka pun saling berkonflik, bahkan dengan kita pun mereka berkonflik hingga berperang berabad-abad lamanya.

Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorong oleh keinginan luhur maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya, demikian tertuang dalam konstitusi kita.

Zaman Kemerdekaan

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian memandang sangat penting rempah dan obat tradisional ini sehingga membentuk Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), di Bogor kantornya.

Di Sumatera Barat dibentuk pula unit kerja dari Balittro tersebut, namanya KP Laing di Solok.

KP itu adalah singkatan daripada Kebun Percobaan.

Pemerintah daerah Propinsi Sumatera Barat pun membentuk Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dengan nama Dinas Perkebunan, Tanaman Pangan dan Hortikultura, di Bandar Buat kantornya.

Kembali ke Alam (Back to Nature)

Sedari kecil sebagian kita masih ingat barangkali kebiasaan orang tua-tua kita, jika demam diberi minum air kelapa muda.

Ada pula bila demam diberi anaknya minum air perasan daun kapuk.

Bila sakit perut biasanya diolesi bawang merah yang telah dilumasi dengan sedikit minyak tanah.

Kemudian kita ingat juga, jika demam biasanya ibu kita mengambil “kain silungkang” dari kemudian merendamnya dengan air termos lalu dikompreskan ke kening kita hingga panas turun dan kita pun terlelap.

Kalau batuk biasanya ibu memberi kita perasan jeruk nipis dicampur sedikit air hangat lalu diminumkan.

Demikian pula penampilan kesenian tradisional Selawat Dulang, sebelum tampil biasanya tukang selawat makan tebu terlebih dahulu dan disaat tampil hidangannya adalah minuman teh telur ayam kampung.

Ada baiknya jika kebiasaan lokal (local wisdom) yang telah turun temurun ini dibudayakan kembali.

Saking pentingnya pengobatan tradisional, bahkan Menteri Kesehatan juga telah menerbitkan Kemenkes Nomor: 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.

Penulis sendiri sudah dua kali menjadi narasumber pada Sosialisasi Tanaman Obat Tradisional (Battra) di Puskesmas pada 2018, tapi sekarang tak pernah lagi.

Dulu, sekolah-sekolah berperan aktif membuat apotek hidup di pekarangan sekolah.

Dasa Wisma, dulu pun diberdayakan dengan pembuatan Taman Obat Keluarga (TOGA), ada pula tim penilainya.

Belum terlambat, sudah saatnya lah kita galakkan kembali pemanfaatan potensi pekarangan dan lahan dengan aneka tanaman rempah dan obat.

Bagaimana Pangan Kita?

Disamping obat, patut juga kiranya kita koreksi pola makan dan pola jajan.

Semasa kecil kita mudah sekali menemukan lapek, pinukuik, mangkuak, onde-onde, kacang rebus, pisang rebus dan jagung rebus.

Sekarang mie rebus yang mudah kita temukan, betapa mudahnya pangan instant kita temukan sehari-hari.

Di negara Korea Selatan dan Singapura malahan salahsatu merk mie instant produksi negara kita tidak boleh dimakan disana dan pemerintahnya melarang untuk dijual.

Belum terlambat, sekaranglah saatnya kita memanfaatkan pekarangan dan lahan kita dengan aneka tanaman organik lokal.

Terakhir mari kita evaluasi makanan kita, sudahkah beragam, bergizi seimbang dan aman (food safety).

Penulis merupakan Penyuluh Pertanian Muda, Adpi Gunawan juga merupakan Jurnalis, Pemerhati Sosial, Bendahara PPGDM-Ahmad Syafii Maarif. 

Pos terkait