Cerpen – Bukankah ini Lebih dari Kata Cukup?

Oleh : Shava Salsabila

Aku takut …

Takut hidupku akan menjadi sepi kembali. Hanya kamulah yang mengulurkan tangan di awal untuk menyinari hati, yang kelam dan juga sepi. Kamu meramaikan hatiku dengan sikapmu yang hangat dan cara bicaramu yang sopan. Kuabadikan namamu, sikapmu, dan juga dirimu ke dalam sebuah karyaku. Bukankah ini lebih dari cukup.

Bacaan Lainnya

Pukul dua belas siang, aku bergegas masuk ke dalam perpustakaan daerah; mengisi data diri, lalu pihak perpustakaan memberiku sebuah kunci loker untuk tempat penitipan tas. Aku menaruh tasku di loker bernomor 36, lalu berjalan menelusuri rak buku yang berada di dalam sana.

Buku di sana sudah terlihat sangat tua, tapi ada juga beberapa buku ternama dan buku baru. Entahlah, aku tak akan menyalahkan banyak pihak, pendapatku tentang perpustakaan daerah di sini harus dilakukan beberapa pembaruan. Mulai dari pembaruan buku, tampilan luar yang harus sedikit di renovasi agar terlihat seperti perpustakaan hidup dan tidak mati. Tujuannya hanya satu, yaitu menambah minat baca seseorang dan juga senang untuk mengunjungi perpustakaan.

Setelah puas menelusuri rak di lantai bawah, aku berjalan menuju lantai atas. Di lantai atas aku menelusuri rak yang berbau buku tentang ekonomi, lalu kuambil salah satu buku yang membuatku tertarik. Aku duduk di lantai bagian pojok sambil membaca buku yang kuambil tadi.

Selain datang ke perpustakaan untuk membaca, aku juga menunggu sahabatku yang datang, Farshad Astara namanya, kami sudah berjanji akan bertemu. Sebenarnya, Farshad sudah datang lebih dulu dariku, hanya saja ia memintaku untuk menunggu karena sedang bersama teman lamanya, tak enak juga bagi diriku untuk mengganggu.

Tiga puluh menit berlalu, Farshad berjalan menghampiriku, ia duduk tepat di sebelahku dan memulai percakapan.

“Kenapa kamu duduk di lantai? Sedangkan banyak kursi dan meja kosong yang tersedia di sana.”

Aku menggeleng dan tersenyum tipis menatapnya. “Lebih nyaman ketika membaca di lantai daripada di kursi,” jawabku singkat.

Lalu ia mengangguk, mengambil sebuah buku di hadapannya. Selang lima belas menit kami diam-diaman , tak ada satu dari kami memulai pembicaraan karena terlalu fokus untuk membaca. Lalu sampai akhirnya Farshad mengeluarkan suara.

“Zell, kamu tahu ngga?” Tanya Farshad sambil menatapku.

“Apa?”

“Ngga ada, pakaianmu rapi hari ini. Maaf udah buat kamu nunggu lama ya.”

Aku mengangguk dan berterima kasih kepadanya karena telah memujiku. Lalu kami berdiam diam lagi selang beberapa menit, sampai akhirnya aku memulai pembicaraan.

“Gimana harimu?” tanyaku tanpa melakukan kontak mata.

“Ngga buruk-buruk amat, aku senang karena bertemu teman lama dan juga bertemu kamu tentunya,” jawabnya diiringi senyum manis, membuat pandanganku teralih untuk melihat raut wajah senangnya.

Farshad memang suka begitu, ia sering berkata senang bertemu denganku. Aku yang merasa tidak enak padanya karena aku cukup merepotkan Farshad sebelumnya. Tapi ia berkata, “Jangan berfikir kayak gitu, justru aku ngga merasa direpotkan sama sekali.”

Kalau boleh jujur, aku menyimpan rasa suka pada Farshad. Tapi hubungan kami hanya sebatas teman atau sahabat biasa pada umumnya, tak lebih dari itu. Banyak orang yang mengira kami menjalin hubungan atau berpacaran masa sekolah. Mungkin? Tapi itu semua tidak benar, kami tak lebih dari kata teman ataupun sahabat.

Saat Farshad berkata ia senang selalu berada di dekatku atau senang bertemu denganku. Aku merasa … sangat spesialkah aku dalam hidupnya? Atau hanya aku saja yang terlalu percaya diri tingkat dewa? Entahlah, aku juga tidak mengerti soal rasa, yang jelas aku menyukainya. Titik.

Farshad sudah tau tentang perasaanku kalau aku menyukainya. Aku sendiri yang mengungkapkan pada dua minggu pertemuan pendekatan, Tapi ia berkata, “Bagaimana jika kita bersahabat saja, bukankah itu cukup?”

Jujur aku merasa tak cukup hanya untuk sekedar sahabat. Tapi ini juga resikoku karena terlalu cepat mengambil langkah. Sejak saat Farshad berkata seperti itu, kami menjadi semakin dekat dan semakin erat. Bukankah ini hal yang cukup?

Tepat sampai saat sekarang ia masih selalu berada disisiku, dan sekarang ia sedang duduk pas di sebelahku sambil menceritakan hal yang seru yang terjadi pada dirinya hari ini. Berawal dari kami saling diam-diaman dan ragu memulai pembicaraan, hingga akhirnya kami bisa bercanda tertawa seperti ini.

Sampai waktu sudah menunjukkan pukul tiga dan pihak perpustakaan menginfokan lewat pengeras suara kalau perpustakaan akan segera tutup. Jadi kami bergegas turun, lalu pulang.

Tapi jika bersama Farshad mungkin tidak akan pulang terlebih dahulu, ia selalu menawarkan untuk makan terlebih dulu di warung mie ayam dekat perpustakaan.

Hanya berjalan beberapa langkah dari perpustakaan, kami sampai di warung mie ayam tersebut. Farshad memesan dua porsi mie ayam untuk aku dan juga dirinya. Kami duduk di kursi paling pojok karena sepi, dan nyaman saja untuk kami bicara. Ditambah lagi bisa melihat lapangan bola tenis dari jendela kecil di sana.

Mie ayam kami disiapkan dengan cepat dan diantarkan ke hadapan kami dengan sangat sopan, tak lupa juga dengan kerupuk pangsit penambah selera makan. Kami makan dengan tenang, sesekali bicara soal kegiatan yang akan datang. Sampai Farshad menyadari satu hal.

“Krupukmu kenapa ngga dimakan?” tanya Farshad.

“Aku kurang suka krupuk pangsit.”

“Tunggu, apa?!!!”

“Aku kurang suka sama krupuk pangsit, makanya ngga kumakan.”

Farshad terheran, lalu menggelengkan kepalanya seakan tak percaya dengan diriku yang kurang menyukai krupuk pangsit.

“Manusia aneh darimana dirimu, Izella? Apa ada manusia yang ngga suka sama krupuk pangsit?”

“Ada, aku contohnya!”

“Kamu bukan manusia lebih tepatnya!”

Aku reflek memukul lengannya pelan, lalu dibalas dengan tawa ledekan dari Farshad yang sedang menatapku dengan penuh kegembiraan.

“Kalau kamu mau, ambil saja semuanya.”

“Memang itu tujuannya!”

Sudah kuduga memang itu tujuannya. Daripada tidak dimakan sama sekali, kan sayang? Mie ayamku habis lebih awal, lalu menunggu Farshad untuk selesai makan. Dia banyak bercerita, begitu juga denganku yang membalas semua ceritanya dengan tawa dan raut wajah bahagia.

Selesai kami makan dan membayar makanan, kami lalu bergegas pergi. Menelusuri jalanan yang asri karena banyaknya pohon di sekitar kami. Kami berjalan kaki tanpa tahu tujuan yang pasti, dan langkah kaki kami enggan untuk pulang ke rumah masing masing. Sampai Farshad menawarkanku untuk pergi sholat terlebih dahulu.

Kami berjalan kaki untuk sholat di musholla pusat perbelanjaan. Hanya disitu tempat sholat yang dekat dari perpustakaan, walaupun kami harus berjalan agak lima puluh meter. Tapi percayalah itu jalan yang paling sebentar untuk kami tempuh.

Pergi ke area basement tempat musholla itu berada, kami berpisah sebentar untuk melakukan proses ibadah. Jelang dua puluh menit berjalan, Farshad selesai lebih awal, dia menungguku selesai sambil memainkan ponsel genggamnya. Lalu kuhampiri dan berkata, “Ayo jalan!”.

Farshad mengangguk, menawarkanku lagi untuk melihat lihat isi gedung pusat perbelanjaan ini. Kami hanya berjalan jalan saja, tanpa harus membeli barang dari pusat perbelanjaan ini. Mungkin suatu hari? Jika itu takan terjadi.

Sudah puas dengan menelusuri gedung empat lantai itu, kami memutuskan untuk pulang. Kami berjalan menuju pasar untuk naik angkutan umum di sana. Tapi sebelum selesainya hari, aku menawarkan Farshad untuk membeli es krim di toko klontong dekat pasar.

Kenapa tidak di pusat perbelanjaan saja kami membeli es krim? Itu di karenakan ramainya pengunjung di sana sehingga nanti jika membayar harus mengantri panjang dahulu. Kami sampai di toko klontong tersebut, lalu aku dan Farshad memilih es krim yang kami mau, sekalian aku mengambil dua air putih botol untuk kami minum. Aku membayar semua belanjaan, baik milik Farshad maupun milikku.

Farshad berkata ia akan mengganti uangku sekarang. Tapi kutolak, karena ini sebagai ucapan terima kasihku padanya untuk hari yang sangat menyenangkan ini. Farshad sendiri juga berterima kasih kepadaku untuk hari yang sangat singkat ini.

Kami keluar dari toko, lalu duduk di teras luar bagian toko sambil memakan es krim yang di beli tadi. Tak banyak bicara dari kami untuk kali ini, yang jelas hari ini begitu singkat untuk dijalani. Aku tak tahu apakah Farshad merasakan hal yang sama denganku, aku merasa senang dan tenang ketika aku terus berada di dekatnya. Tak usah di fikirkan itu, bukankah ini cukup?

“Terima kasih ya Zell buat hari ini.”

Mendengar kalimat itu , aku langsung menoleh ke arah Farshad. Lalu mengangguk dengan senyuman.

“Iya sama sama, terima kasih kembali.”

Farshad tersenyum, kami bercerita lagi untuk mengakhiri hari sebelum matahari terbenam dan langit kini telah mengeluarkan cahaya jingganya. Kami tertawa di penghujung hari, tersenyum di penghujung hari, berharap minggu depan akan bertemu Farshad kembali.

Bukankah ini lebih dari kata cukup? Walaupun aku tak mendapatkan kejelasan hubungan, bagiku ini sudah sangat jelas. Hubungan sebatas teman atau sahabat ini menurutku lebih romantis daripada harus menjalin hubungan pacaran. Entah kami berfikir itu nanti akan mengganggu tujuan kami satu sama lain, entah itu kami ingin terlalu fokus pada diri masing masing.

***

Bionarasi : Shava Salsabila Andriani Putri, akrab di panggil Shava. Lahir di Padang pada 07 Februari 2006. Saat ini sedang menempuh pendidikan kelas akhir di sekolah SMKN 2 Padang dengan jurusan Akuntan. Memiliki ketertarikan akan menulis saat masih duduk di bangku kelas dua madrasah, pada umur dua belas tahun. Sayangnya masih kurang dikembangkan karena adanya keterbatasan dan kurangnya pendalaman saat itu, dan Shava mencoba mengembangkan nya lagi saat sudah berada di bangku SMK. Mau sharing? Kenalan? Pembaca bisa menghubungi melalui: Instagram : @shavaslsa_

Pos terkait