Bukan Kawasan TORA, PT Anam Koto Minta Lahan HGU Tidak Diduduki Masyarakat

SIMPANG AMPEK | TOP SUMBAR–Perusahaan pemilik Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, PT Anam Koto, meminta masyarakat untuk bersedia segera mengosongkan lahan yang diduduki sepihak oleh sekelompok oknum masyarakat.

Hal itu disampaikan oleh General Manager Humas-Legal perusahaan tersebut, Hendrikus, Rabu (08/07), sekaitan dengan sudah dinyatakannya lahan-lahan yang diklaim oleh kelompok masyarakat dibawah termasuk areal Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) oleh kelompok masyarakat dibawah koordinasi Serikat Petani Indonesia (SPI).

“Berdasarkan Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pasaman Barat tanggal 19 November 2021 merekomendasikan bahwa lahan tersebut tidak termasuk prioritas areal TORA dengan dasar hasil analisis yang dilakukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten setempat, ” ungkapnya.

Bacaan Lainnya

Ia mengatakan, pendudukan lahan itu bermula dari adanya usulan kepada pihak BPN setempat agar wilayah HGU PT Anam Koto dapat dijadikan obyek TORA dengan alasan ada lahan garapan masyarakat seluas 711 hektare di Nagari Aia Gadang.

Sesuai Perpres No. 86 Tahun 2018, lanjutnya, Bupati Pasaman Barat telah membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang terdiri dari 23 unsur dan telah melakukan peninjauan pada tanggal 27 Oktober 2021.

Sesuai Laporan Akhir GTRA Tahun 2021 tegas disebutkan bahwa HGU PT Anam Koto aktif dan tidak ditemukan lahan Garapan/penggarapan.

“GTRA juga mengeluarkan surat kepada Menteri ATR/Kepala BPN selaku Ketua GTRA Pusat tanggal 19 November 2021 mengenai Rekomendasi Potensi TORA Untuk Ditetapkan Menjadi TORA untuk Ditindaklanjuti dengan Penataan Aset, dimana tegas tidak ada nama PT. Anam Koto dalam surat tersebut” ungkapnya.

Ia mengatakan, hasil rekomendasi itu dengan tegas menjelaskan bahwa usulan yang diajukan oleh pihak masyarakat melalui Serikat Petani Indonesia (SPI) sebesar 20 persen dari total lahan milik PT Anam Koto, tidak bisa ditindaklanjuti karena masih ada status HGU aktif hingga saat ini.

Dengan demikian, lanjutnya, blok lahan yang diduduki itu statusnya hanya sebatas usulan dan tidak memiliki dasar hukum untuk dikuasai oleh pihak lain diluar PT Anam Koto.

“Sehingga menurut pemahaman kami tindakan yang sudah dilakukan oleh kelompok masyarakat dibawah koordinasi SPI itu, sudah melanggar ketentuan perundang-undangan dan hukum pidana yang berlaku, ” tegasnya.

Disinggung tentang adanya hak plasma yang diklaim SPI, Hendrikus menegaskan bahwa pembangunan plasma dimaksud sudah jelas diatur dalam perjanjian antara penguasa adat Aia Gadang dengan Perusahaan pada Tahun 1990 yang mewajibkan menyerahkan calon lahan diluar lahan yang diserahkan untuk inti/HGU.

Ninik Mamak Aia Gadang pernah menyerahkan calon lahan plasma tahun 1993 namun ditarik kembali oleh mereka di Tahun 1995.

“Waktu itu Bupati telah menyurati pihak Ninik Mamak Aia Gadang yang intinya mengingat lahan calon plasma ditarik lagi maka diminta untuk mencari areal yang lain diluar kebun inti PT Anam Koto, ” jelasnya.

Kemudian, pihak Perusahaan dan Pucuk Adat Ninik Mamak Aia Gadang juga telah menandatangani perjanjian kompensasi dimana sepanjang Aia Gadang belum dapat menyerahkan calon lahan plasma maka Perusahaan wajib membayar kompensasi plasma, dan hal ini secara rutin telah dibayarkan sampai saat ini” tegasnya.

Sehingga, ulasnya, mengenai hak plasma masyarakat seluas 20%, pihak Ninik Mamak Aia Gadang pernah menyerahkan lahan seluas seribu hektare pada tahun 1993 untuk dibangunkan kebun plasma.

“Akan tetapi mereka menarik kembali lahan yang diserahkan itu pada tahun 1995 dengan alasan akan mencari bapak angkat yang lain, ” ujarnya.

Dengan kata lain, tambahnya, hingga saat ini PT Anam Koto tidak pernah menguasai lahan masyarakat atau pihak manapun dan hanya mengelola lahan sesuai titik koordinat areal HGU yang diizinkan oleh pemerintah.

“Jika ada pihak yang merasa memiliki hak maka jalan satu-satunya adalah membawa persoalan itu ke lembaga peradilan yang sah untuk dibuktikan dan keputusannya bisa dipatuhi dan dihormati oleh semua pihak, ” sebutnya.

Sementara itu, terkait kondisi terakhir aktifitas perusahaan tersebut di blok yang dikuasai oknum masyarakat itu, Manager Humas-Legal perusahaan itu, Jimson Tamba, mengatakan pada hari ini terjadi insiden kecil antara pekerja kebun dengan sekelompok orang yang menghalangi kegiatan usaha perkebunan PT Anam Koto.

“Hari ini kami harus melakukan pemupukan di areal itu tapi terganggu, ini tentu sangat merugikan pihak kami karena akan berpengaruh pada hasil produksi kelapa sawit yang kami budidayakan sejak lama, ” sesalnya.

Menurutnya, demi menghindari bentrokan dan menyelamatkan pekerja dari aksi brutal yang bisa saja terjadi karena pendudukan lahan yang dilakukan oleh sekelompok oknum masyarakat tanpa pengawalan aparat keamanan, maka pihaknya memutuskan untuk menarik mundur seluruh pekerja yang akan melakukan pemupukan.

“Dalam hal ini kami jelas sangat dirugikan, namun kami berprinsip akan terus melakukan upaya benar dalam menyelesaikan konflik yang terjadi karena kehadiran kami disini bukanlah sebagai musuh melainkan mitra masyarakat dan pemerintah dibidang perekonomian sektor perkebunan, “tutupnya.

Sebelumnya, juru bicara kelompok masyarakat yang melakukan penyegelan terhadap 711 hektare lahan HGU perusahaan itu, Eri, menegaskan bahwa aksi yang mereka lakukan tidak melanggar regulasi yang ditetapkan pemerintah.

“Sesuai surat yang kami terima, kawasan yang mereka kuasai adalah salah satu wilayah prioritas untuk diselesaikan dan dijamin pengamanannya oleh pemerintah.

Ia mengaku, masyarakat sudah memulai aksi tersebut sejak 48 hari yang lalu dengan melakukan penanaman berbagai komoditas sebanyak 500 batang, sebelum dikejutkan oleh adanya tindakan pengusiran dan pembongkaran pondok dari pihak perusahaan.

Menurutnya, aksi yang mereka lakukan tidaklah bersifat anarkis dan lebih kepada aksi damai untuk mempertanyakan status lahan sesuai rekomendasi pihak Kementerian ATR BPN Republik Indonesia.

“Sudah diambil koordinatnya oleh tim GTRA setempat,” ujarnya.

Sementara itu, salah seorang tokoh masyarakat setempat yang juga ninik mamak yang mengetahui duduk persoalan sengketa lahan itu, H Karnalis, saat dikonfirmasi menegaskan bahwa areal Hak Guna Usaha (HGU) yang diperuntukkan bagi PT Anam Koto berawal dari penyerahan tanah ulayat dari Niniak Mamak Nagari Aia Gadang kepada Perusahaan PT. Anam Koto pada periode 1990-an.

“Dengan demikian maka putuslah hak cucu kemenakan atau masyarakat Aia Gadang tentang tanah tersebut,” tegasnya.

Ia mengingatkan, pihak SPI selaku pihak yang dikedepankan dalam menangani permasalahan ini oleh segelintir masyarakat dan anggotanya, tidak ada hubungan dengan lahan perusahaan tersebut.

“Saran kami adalah kalau memang mempunyai legalitas yang kuat terhadap lokasi tersebut silahkan gugat secara perdata kepada Pengadilan Negeri atau pihak yang berwenang, ” imbaunya.

(Rully Firmansyah)

Pos terkait