Masjid 60 Kurang Aso dan Kisah Syaikh Maulana Sofi

Hai, Topers.

Lebaran dan pulang kampung adalah sebuah agenda yang sangat ditunggu-tunggu oleh para perantau, terlebih setelah dua tahun lamanya tidak bisa pulang karena pandemi covid-19. Menyilau kampung halaman, menaiki rumah sanak-famili dan berkunjung ke tempat bermain masa kecil (sawah dan sungai) adalah nostalgia paling romantis yang pernah ada, apalagi jika cinta pertama adalah tetangga sendiri.

Sekarang, mari kita menyilau masa lampau itu. Kita pergi ke tahun 1700-an, di mana saat itu tengah dilakukan progres pembangunan surau tuo di Solok Selatan, yang sekarang sudah menjadi masjid, yaitu Masjid 60 Kurang Aso.

Bacaan Lainnya

Banyak hal yang istimewa dari bangunan tua yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya tersebut. Mulai dari arsitekturnya yang berakulturasi dengan corak arsitektur China dan Jawa, tonggaknya yang melambangkan jumlah para pendiri ketika itu, dan juga kisah seorang imam besar (tuanku atau syaikh) yang tinggal di sana.

Mari kita kupas satu-persatu!

Langit mendung dengan awan gelap mengiringi perjalanan saya ke masjid tua yang didirikan tahun 1733 M tersebut, dibangun oleh 59 orang moyang yang dinamakan nyinyiak 60 kurang aso.

Sebagai sebuah bangunan cagar budaya, bangunan masjid masih dalam kategori terawat dan mempertahankan bentuk aslinya. Pandangan saya langsung terpusat pada pucuk masjid yang berbentuk tongkat mayoret serta susunan atapnya yang sama persis seperti masjid agung Demak. Meski tanpa menara terpisah, orang awam pun pasti akan cepat mengira kalau bangunan tersebut dibuat bukan atas kekhasan lokal, namun sudah bercampur dengan gaya arsitektur budaya lain.

Menilik tahun tersebut, berarti sebelumnya Islam sudah masuk ke Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu sehingga perlu adanya pusat peribadatan dalam sebuah kerajaan. Maka dibangunlah surau tuo tersebut sebagai pusat kajian keislaman serta tempat bermufakat para alim-ulama yang mengkaji kitab-kitab lama. Selain itu dapat kita simpulkan juga bahwa tahun tersebut budaya asing sudah begitu kuat menjalari budaya lokal sehingga corak bangunan pun ikut mempengaruhinya.

Ketika saya bertanya pada salah seorang filolog Minangkabau di Payakumbuh, beliau memaparkan bahwa tahun 2010 naskah kuno masih banyak disimpan di surau-surau sekitar pusat Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu, namun sangat disayangkan karena cara perawatan yang kurang bijaksana dan kurangnya kesadaran akan benda-benda pusaka mengakibatkan banyak di antara naskah tersebut yang hancur dimakan usia.

Namun hari itu saya cukup beruntung karena bertemu dengan Hj. Eva Wani, seorang wanita usia 60 tahun yang menjadi juru kunci masjid tersebut. Kami pun sempat berbincang banyak tentang sejarah dan perkembangan masjid 60 Kurang Aso dari masa ke masa.

“Itu tonggak macu yang paling besar itu dianggap keramat, siapa yang memiliki keinginan dan bisa memangku tonggak tersebut secara penuh maka keinginannya akan terpenuhi,” ujar Hj. Eva menunjuk sebuah tonggak besar hitam yang kokoh.

Bukan hanya itu saja, untuk jumlah tonggak sendiri dikabarkan tidak mudah untuk menghitungnya. Meski sudah dinamakan 59 buah, setiap orang yang menghitungnya akan selalu keliru bila menghitungnya dua kali.

“Bisa pada hitungan pertama 59 buah, namun saat dihitung kembali jadi 60,” lanjut Hj. Eva.

Penasaran dengan keseluruhan isi masjid tersebut, saya pun mengelilinginya dan meraba satu-persatu tonggak hitam yang keras itu. Hj. Eva menjelaskan kalau dulu tonggaknya lebih besar dari sekarang, namun seiring berjalannya waktu kayu tonggak tersebut semakin memadat sehingga ukurannya bertambah kecil namun kadar kekerasannya semakin kuat.

Saya naik ke lantai dua masjid dengan tangga tradisional, nuansa kejayaan masa lampau benar-benar telah saya rasakan. Di atas, hanya ruangan segi empat kosong yang saya temui, juga saat naik ke lantai tiga, tak ada apa-apa yang saya temui selain lantai kosong tanpa bangku atau perabot lainnya. Tak ada benda-benda tua peninggalan yang ada di sana, hanya cerita lama yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Itulah, kalau buku-buku tua atau apalah itu namanya tidak ada lagi,” kata Hj. Eva pada saya. Padahal, saya berharap masih ada setidaknya sedikit peninggalan yang dapat saya temukan selain bangunan masjid yang masih berdiri kokoh tersebut.

Melihat saya kecewa, Hj. Eva menyarankan saya untuk berkunjung ke rumah Buya Marsadis Dt. Sutan Mamat yang ada di Pakan Rabaa. Saya sangat senang ketika mendapatkan alamat tersebut, karena menurut keterangan Hj. Evi, Buya Marsadis merupakan seorang pengarang buku sejarah Minangkabau, khususnya Alam Surambi Sungai Pagu.

Perjalanan dilanjutkan dengan kunjungan saya ke rumah Buya Marsadis, namun sungguh sayang sekali lagi rumah tersebut saya dapati dalam keadaan kosong. Ketika bertanya kepada tetangga, saya mendapatkan jawaban bahwa rumah tersebut sudah ditinggalkan lebih dari satu bulan.

Tanpa putus asa, saya meminta kenalan untuk mencarikan buku-buku karya Buya Marsadis yang nanti akan dijadikan sebagai referensi tulisan ini. Saya pun mendapati sebuah cerita unik tentang seorang ulama yang bernama Syaikh Maulana Sofi (1651-1749 M).

KISAH UNIK SYAIKH MAULANA SOFI

Diceritakan ada seorang syaikh yang sangat alim lagi abid tengah mencukur rambutnya di sebuah pangkas rambut di Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu. Beliau adalah Syaikh Maulana Sofi (1651-1749 M) imam di Masjid 60 Kurang Aso.

Saat asyik bercengkerama dengan tukang cukur, syaikh mengangkat tangannya dan tiba-tiba saja berdiri seperti orang yang cemas, rambut beliau baru setengahnya yang terpotong. Sontak saja kelakuan aneh tersebut membuat tukang cukur sangat keheranan.

“Saya harus ke Makah, sedang ada kebakaran di Makah,” kata syaikh tersebut.

“Tapi syaikh, rambutnya belum selesai di potong,” timpal tukang cukur yang bingung mempertahankan pelanggannya.

Syaikh langsung berjalan cepat meninggalkan tukang cukur dan menghilang seketika. Baru beberapa menit kemudian kembali lagi dengan rambut yang setengahnya dipotong tersebut. Lain dari tadi, sekarang syaikh sudah bersikap tenang dan duduk untuk melanjutkan cukur rambutnya yang belum selesai.

Kisah aneh tersebut lantas diceritakan oleh tukang cukur kepada istrinya, istrinya menceritakan pula kepada tetangganya, demikian seterusnya hingga cerita aneh tersebut berpindah dari mulut ke mulut. Tanggapan orang-orang pun beragam, ada yang menerimanya dan menyebut itu adalah karomah syaikh Maulana Sofi, namun ada pula yang hanya menganggap itu sebagai lelucon yang dilakukan syaikh tersebut.

“Kita lihat nanti ketika bulan haji sudah lewat dan rombongan haji sudah kembali dari tanah suci, kita tanyakan langsung pada mereka apakah benar terjadi kebakaran di Makah,” usul salah seorang di antara pengamat cerita tersebut, yang secara kebetulan peristiwa aneh itu terjadi pada bulan haji.

Hari berbilang bulan berganti, rombongan jamaah haji pun pulang ke tanah air, orang-orang pun berbondong-bondong menyambut kepulangan mereka. Ada yang menagih oleh-oleh, ada yang mengadakan pesta karena keluarganya sudah kembali dengan selamat. Namun pertanyaan yang menyanak sejak lama tersebut tak dilupakan jua. Orang-orang bertanya pada jamaah haji yang baru pulang tersebut apakah benar saat mereka di Arab Saudi telah terjadi kebakaran di Makah?

Sontak saja mereka yang baru pulang haji tersebut seakan telah melupakan sesuatu yang penting untuk diceritakan, merekapun beramai-ramai menceritakan dengan versinya sendiri bahwa benar telah terjadi kebakaran di Makah, dan orang yang memadamkan apinya adalah seorang laki-laki tua dengan rambut yang baru setengahnya selesai dipotong.

Sejak itulah cerita yang semula oleh sebagian orang dianggap sebagai isapan jempol menjadi cerita utama yang harus terus diceritakan. Kini, jika kamu berkunjung ke masjid 60 Kurang Aso, di bagian depannya terdapat makam beliau, yang ditutupi dengan kain berwarna putih.

Bagi kamu yang berkunjung ke Solok Selatan jangan lupa mampir ke Masjid 60 Kurang Aso ya, lokasinya dekat sekali dengan istana tuanku rajo disambah raja alam Alam Surambi Sungai Pagu.

Salam budaya,

(Haris)

Pos terkait