Berdirinya Alam Surambi Sungai Pagu Hingga Masa Empat Raja – Bagian I

Hai, Topers. Bagaimana liburan akhir pekannya? Semoga berjalan lancar ya. Sesekali kita juga butuh udara segar karena hampir seminggu menghirup udara deadline dan target-target kehidupan. Menepilah sejenak meski hanya dengan secangkir kopi. Duduklah di pinggir jalan dan perhatikan orang yang berlalu-lalang, lalu ucapkan dalam hati kehidupan tidak terlalu buruk, hanya saja kita perlu besyukur.

Yups, mari duduk sejenak dan bertualang bersama. Setelah tiga seri terbit mengenai Tambo Alam Surambi Sungai Pagu, dari gelombang pertama hingga ketiga, sekarang sudah saatnya kita masuk ke pembahasan baru yaitu siapa saja yang menjabat di kerajaan tersebut? Apa saja suku-suku yang ada dalam lingkup kerajaan tersebut? Secara jujur, Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu adalah daerah otonomi yang sangat kaya akan nilai-nilai adat dan tradisinya. Meski awalnya yang datang adalah orang-orang dari kerajaan Pagaruyung (menurut sumber yang dihimpun) namun setelah berdiri, Alam Surambi Sungai Pagu disebut sebagai Iku Darek, Kapalo Rantau (ujung bagi wilayah Luhak, kepala bagi wilayah rantau Minangkabau-Pagaruyung) Dia tidak termasuk ke dalam sistem Kesultanan Pagaruyung (memakai kalimat bapak Yulizal Yunus) namun ada hubungan kekerabatan dengan Pagaruyung. Yang membuat kerajaan ini lebih istimewa lagi adalah dia memiliki pusat kerajaan, memiliki rantaunya sendiri, dan memiliki wilayah jajahannya sendiri. Atau dalam salah satu referensi disebut sebagai Pagaruyung II.

Penasaran kan dengan kerajaan ini? Yuk kita let’s go!

Bacaan Lainnya

Kerajaan ini didirikan pada abad ke-16 M, atau sekitar tahun 1500-an. Namun begitu cikal-bekal kerajaan sudah ada jauh sebelumnya, seperti penjelajahan daerah baru yang dilakukan menembus bukit barisan hingga ke Bandar Sepuluh (Banda X, Pesisir Selatan sekarang) pada tahun 1490 atas titah ninik-mamak. Namun sebelum itu, marilah kita jenguk sebentar antaranya siapa saja orang-orang yang berjasa bagi kerajaan ini.

Disebutkan dalam Tambo, susunan adat alam Minangkabau, bahwa setelah rombongan Inyiak 60 Kurang Aso berjumpa dengan rombongan Inyiak Nan Kawi Majo Ano, mereka pun meninggalkan Banuaran dan memilih menetap di Pasia Talang. Di sini mereka juga membawa serta keturunan Inyiak Samilu Aie dan Inyiak Samiek. Hasil perundingan itu menghasilkan kesepakatan bahwa rombongan Inyiak gelombang pertama tetap tinggal di daerah atas (Ujung Jalan) namun meletakkan wakil di Pasia Talang, dan kelompok Inyiak 60 Kurang Aso beserta Inyiak Nan Kawi Majo Ano membuat pemukiman bersama.

Adapun susunan Inyiak 60 Kurang Aso disebutkan dalam Tambo seperti ini:

1. Urang Malayu Ampek Niniak ( terdiri dari 17 orang)
Yaitu : Malayu Ampek Paruik, Bariang Ampek Paruik, Koto Kaciak Ampek Paruik, dan Durian Limo Ruang.

2. Urang Panai Tigo Ibu (terdiri dari 3 orang)
Yaitu : Panai Tanjuang, Panai Tangah dan Panai Lundang.

3. Urang Tigo Lareh Bakapanjangan (terdiri dari 15 orang)
Yaitu : Sikumbang Ampek Ibu, Caniago Baranam, Jambak Balimo, Balai Masiang Ampek Piak, Koto Tigo Ibu.

4. Urang Kampai Nan Duo Puluah Ampek (terdiri dari 24 orang)
Yaitu : Bendang Barampek, Kampai Tangah Nyiua Gadiang Salapan, Kampai Aia Angek Balimo, Kampai Sawah Laweh Batujuah.

Dengan begitu lengkaplah 59 orang inyiak yang datang di gelombang ketiga berikut empat sukunya, yaitu Kampai, Tigo Lareh (Sikumbang, Caniago, dan Jambak) Panai dan Melayu. Maka atas kesepakatan pula, setelah mengingat dan menimbang, Inyiak Nan Kawi Majo Ano diangkat menjadi raja pertama, didahulukan selangkah ditinggikan seranting. Karena Inyiak tersebut masuk ke gelombang kedua yang datang dalam ekspedisi yang dilakukan orang-orang Pagaruyung, sementara gelombang pertama adalah orang-orang keturunan Mesir dan tidak terlalu menuntut daerah.

Setelah diangkat menjadi raja, diberilah nama kerajaan tersebut sebagai Alam Surambi Sungai Pagu dengan daerahnya yang tujuh (luhak nan tujuah) yaitu:

1. Sungai Durian.
2. Sungai Talu.
3. Sawah Siluak.
4. Lolo/Alai.
5. Mudiak Lawe.
6. Sipotu.
7. Sungai Cangka (cangkau).

Rajanya pun diberi gelar Bagombak Putiah Bajangguik Merah, Nan Minum Di Tabuang Bapaluik, Nan Makan Bajamba Surang. Pada masa ini kerajaan tersebut fokus kepada pembangunan dan pensejahteraan rakyatnya, belum ada perluasan wilayah dan hal-hal besar yang dicapai.

Zaman berbilang musim berganti, setelah raja pertama di Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu mangkat, maka kedudukannya digantikan oleh Inyiak Duano Gajah Gilo dengan gelar yang sama. Pada masa ini sudah mulai dilakukan perluasan wilayah dan penaklukan. Jika kamu membaca Tambo Alam Surambi Sungai Pagu, pada masa pemerintahan Inyiak Duano Gajah Gilo, wilayah Alam Surambi Sungai Pagu sudah mencapai Banda Nan Sapuluah (Bandar Sepuluh) atau dalam tambo disebut sebagai wilayah rantaunya Alam Surambi Sungai Pagu, yaitu :

1. Aia Haji.
2. Sungai Tunu.
3. Palangai.
4. Punggasan (sudah ada sejak tahun 1511 saat migrasi penduduk Alam Surambi Sungai Pagu karena ingin kerajaan memiliki bandar atau pelabuhan sendiri, yang kelak pada masa raja ketiga pelabuhan ini sangat terkenal dan ramai).
5. Lakitan.
6. Kambang.
7. Ampiang Parak.
8. Surantiah.
9. Batang Kapeh.
10. Bungo Pasang.

(Kita memerlukan satu atau lebih artikel lagi untuk membahas daerah-daerah ini)

Adat raja di Minangkabau adalah dari mamak turun ke kemenakan, maka setelah wilayah kerajaan meluas hingga Punggasan (Kabupaten Pesisir Selatan sekarang) dan daerah-daerah lain di sekitarnya, raja Duano pun mangkat (tak banyak literatur yang membahas tentang beliau yang saya temukan, atau mungkin belum saya temukan) raja ketiga pun naik tahta, beliau adalah Inyiak Sutan Parendangan.

Pada masa raja ketiga, selain telah memiliki tujuh luhak dan wilayah rantau, kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu pun memiliki wilayah jajahan, yaitu seperti yang tertuang dalam tambo :

Semaso Niniak Sutan Parendangan, Bagombak Putiah Bajangguik Merah, daerah jajahan maliputi mulai dari Kisaran Camin Tolam, karantau Duo Baleh Koto, Koto Ubi, Koto Hilalang, Langkok Kadok Langkok Jarang, Batu Angik Batu Kangkuang, sampai ka Lamun Batang Asai, lapeh ka Rejang Bengkulu, tahantak ka Gunuang Medan, manyisie ka Lubuak Pinang Lako, sarato Lubuak Pinang Malan, lalu ka Talao Aie Sirah.

Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu pada masa raja ketiga dikabarkan sangat makmur, beliau mendirikan banyak daerah baru bahkan juga Molabuah (Muara Labuh sekarang) atau dalam artian muara tempat berlabuh biduk (mengangkut komoditi yang ada di kerajaan) rumah gadang banyak didirikan, pada masa itu ajaran Islam juga sudah mulai masuk lewat wilayah rantaunya yaitu wilayah pesisir.

Dengan masuknya ajaran Islam, orang-orang di Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu tentu memerlukan tempat peribadatan. Maka dibangunlah sebuah surau yang megah, dengan perpaduan arsitektur Jawa, Cina dan Minangkabau, diberi tonggak sebanyak 59 buah, jendelanya disesuaikan dengan jumlah rakaat shalat, dan ditasbihkanlah seorang ulama besar di sana yaitu Syaikh Maulana Sofi (1651-1749) murid dari Syaikh Burhanuddin Ulakan, pembawa tareqat Satariyah. Dengan begitu kita dapat mengira tahun pembangunan surau (sekarang sudah menjadi masjid) tersebut.

Saat mengetahui semua ini, saya merasa menjadi orang yang kerdil dan tertinggal. Beberapa bulan yang lalu, saat diadakan seminar Filologi tentang perawatan naskah kuno, seorang dosen dari Universitas Andalas menunjukkan foto manuskrip yang berasal dari Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu. Setelah seminar itu saya pun bertanya kepada seorang filolog di Payakumbuh, apakah sekarang masih ada naskah tua Alam Surambi Sungai Pagu yang tersimpan? Beliau mengatakan bahwa naskah tersebut sudah terlalu tua dan tak lagi terbaca. Tahun 2010 beliau berkunjung ke Solok Selatan dan sempat menemukan beberapa potongan naskah tersebut namun sekarang di 2022, beliau tidak yakin apakah naskah tersebut masih tersimpan dengan baik.

Beliau memberikan beberapa nama surau yang bisa saya kunjungi untuk menjawab rasa penasaran. Seakan mengejar kereta yang melaju kencang, saya tertinggal jauh. Banyak di antara cerita orang tua-tua yang saya temui pernah melihat naskah tersebut namun sekarang entah telah lenyap ke mana, ketidakpedulian terhadap aset yang begitu berharga menjadikan roda saksi sejarah hilang; rumah gadang yang tak lagi terawat, tepian mandi berlumut, dan tradisi yang memudar seolah cermin buram di masa depan.

Mari tinggalkan itu, kita hampir sampai di puncak cerita!

Umumnya kerajaan, ada pasang naik dan padang surutnya. Saat masa raja ketiga inilah muncul permasalahan yang besar, pada tanggal dan bulan yang tidak tercatat, dikabarkan beliau muksa atau menyatu dengan alam, tak diketahui ke mana perginya. Orang-orang mengatakan beliau mangirok ka ateh langik (terbang ke langit) dan tak pernah ditemukan lagi. Alam Surambi Sungai Pagu dengan daerahnya yang luas dan alamnya yang elok tersebut seakan kehilangan pijakannya.

Jika kamu membaca sejarah Pesisir Selatan dari masa ke masa, pada zaman Alam Surambi Sungai Pagu jaya, pelabuhan-pelabuhan di Banda X sudah bertaraf Internasional. Pelabuhan tersebut dikabarkan sangat ramai disinggahi para pedagang Arab dan Cina (mungkin itu juga yang mempengaruhi arsitektur masjid 60 Kurang Aso yang beratapkan limas) belum lagi wilayah Pasir Talang yang makmur karena irigasinya yang sudah modern. Sawah berjenjang dan kelapa bertandan lebat adalah pertanda bahwa kerajaan tersebut sedang berada di atas angin.

Namun sepeninggal Inyiak Parendangan, Alam Surambi Sungai Pagu tak menemukan lagi pengganti yang pantas yang akan diangkat menjadi raja. Pertemuan demi pertemuan dilakukan untuk mencari kesepakatan siapa kira-kira yang sanggup dan berwibawa menggantikan posisi beliau. Maka di dapatlah kesimpulan saat itu untuk mengutus tiga orang ninik-mamak ke Pagaruyung. Inilah muasalnya dalam Tambo di tulis dengan istilah Kutiko Alam Surambi Sungai Pagu mamintak Rajo ka Pagaruyuang …

Bersambung ke Bagian II

(Haris)

Pos terkait