Singkarak: Saat Fakta Perlahan Berubah Menjadi Legenda Hingga Dianggap Dongeng Belaka

Hai, Topers, gimana kabarnya? Semoga sehat dan bahagia selalu ya, amiin. Kali ini kita punya tema spesial nih, bukan tentang alat musik, naskah kuno maupun tempat bersejarah. Yap, ini dia sejarah danau Singkarak.

Jika kamu menyukai travelling, nama Singkarak pasti bukan hal yang asing lagi, pasalnya danau yang indah ini menyajikan banyak sekali koleksi wisata dengan keindahan lokalnya. Danau yang membentang di Kabupaten Solok dan Tanah Datar ini begitu menakjubkan dengan ikan khas yang terkandung di dalamnya. Namun dibalik semua itu, ternyata danau Singkarak juga menyimpan banyak sekali cerita menarik, lho.

Setiap orang yang baru pertama kali datang ke danau Singkarak dianjurkan untuk meminum airnya barang seteguk dua teguk. Karena menurut kabar, setiap tahun danau yang memesona itu akan selalu meminta korban. Jika kamu meminum airnya maka secara otomatis kamu sudah dianggap sebagai penduduk lokal dan akan terjaga dari bahaya. Begitu, Topers.

Bacaan Lainnya

Pada tahun 1992, Perusahaan Listrik Negara (PLN) membangun terowongan sepanjang 19 kilometer untuk memutar turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Singkarak di Asam Pulau, Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, dengan kapasitas 175 MW. Terowongan tersebut menembus perut Gunung Merapi sehingga tercatat sebagai terowongan air terpanjang di Indonesia yang mulai beroperasi pada 1998. Ini menjadi pembuangan air Danau Singkarak kedua yang bermuara ke pantai barat Samudra Hindia. Sementara aliran air pertama danau seluas 120 kilometer bujur sangkar tersebut awalnya hanya melalui Batang Ombilin, kemudian melewati Sungai Indragiri, dan bermuara di Selat Malaka.

Seorang sejarawan Universitas Andalas (UNAND) Gusti Asnan, mengaku pernah mendengar cerita-cerita mistis terkait Danau Singkarak. Bahkan masih ada cerita lain yang sulit dicerna dengan akal sehat. Yaitu hubungan antara danau Singkarak dengan danau Maninjau di kabupaten Agam. Orang-orang banyak menyebutkan bahwa pada musim-musim tertentu, ikan-ikan besar akan bermigrasi dari danau Singkarak ke Maninjau atau sebaliknya. Jika ada orang yang hilang atau tenggelam di Singkarak, maka jasadnya bisa saja ditemukan di danau Maninjau, begitupun sebaliknya.

Hingga pada Agustus tahun 1970, saat diadakannya seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Batusangkar, mencuatlah sebuah perspektif yang menampilkan bahwa di dasar danau Singkarak telah tertimbun situs bersejarah yang dititikberatkan kepada kerajaan kuno bernama Samaskuta.

Um, begini, Topers. Fakta, secara perlahan akan dimasukkan kepada kategori mitologi dalam jangka waktu yang panjang. Lalu waktu terus memutar turbinnya hingga mitologi tadi jatuh kepada legenda. Sekali lagi waktu berputar zaman berganti, namanya bertukar menjadi legenda dan akan berakhir kepada mitos. Percaya atau tidak, namun demikianlah adanya.

Namun sangat disayangkan sejak informasi tahun 1970 tersebut belum ada penelitian lebih lanjut untuk mengungkap dan menggali informasi tentang prasasti tersebut. Keberadaan prasasti ini dilaporkan oleh Tim Research Pengumpulan Data-data Sejarah Minangkabau yang diketuai Drs. Hasan Basri. Menurut keterangan penangkap ikan, bagian tangga yang meninggi itu hanya beberapa meter di bawah air permukaan danau, dan di kiri-kanan batu bersurat tersebut terdapat gua-gua.

Adapun prasasti yang lebih dikenal dengan istilah batu basurek tersebut ada di Batu Baraguang, Sumpur, tepi Danau Singkarak. Tapi batu tersebut sudah terbenam beberapa meter ke dalam danau dan di bawah batu basurek tersebut ada terdapat ‘batu bajanjang’ (tangga batu) yang turun ke dalam danau dan di tengah danau tangga tersebut menonjol ke atas dan turun lagi kira-kira 1 km dan naik lagi sampai ke pantai seberang Jorong Sudut Sumpur.

Dalam buku Semasa Kecil di Kampung karya Muhammad Radjab terbitan Balai Pustaka tahun 1950 juga menceritakan keberadaan batu besar di sudut utara danau Singkarak, yang jika dipukul suaranya nyaring seperti gong. Daerah ini dinamakan dengan kampung sudut karena memang terletak di sudut utara danau Singkarak dan daerah batu baragung. Tidak jauh ke timur batu baragung tersebut ada batu besar dengan tulisan Sankserta (pasca-pallawa). Tidak banyak orang yang bisa mendekat ke sana karena arus bawah danau yang kuat sehingga mampu menyeret sampan ke dalam danau.

Danau Singkarak juga diibaratkan sebagai lauik nan sahari balayia yang erat kaitannya dengan cerita bujang 9 dan letusan gunung Tinjua. Meski berstatus gunung mati, keberadaan Gunung Tinjau yang berada di Danau Maninjau perlu diawasi karena tak tertutup kemungkinan akan menjadi gunung aktif.

Dalam Pararaton disebutkan bahwa telah terjadi letusan yang menggelapkan alam tahun 338 Saka atau sekitar 416 SM, gemuruhnya terdengar suara dari Gunung Batuwara, Gunung api Pulosari, yang sekarang disebut satu dari gunung berapi yang telah punah di Bantam, dan terdekat Selat Sunda. Letusan tersebut saling bersahutan dan datang dari arah barat (Banten sekarang) hingga membuat langit gelap dan menyebabkan tsunami. Daerah di Timur Gunung Batuwara, dan arah barat Gunung Kamula, Gunung Raja Basa dibanjiri oleh laut; penduduk bagian utara negara Sunda.  Gunung Raja Basa tenggelam dan menyapu dengan semua.

Setelah air surut menggelapkan dan Tanah di sekitarnya menjadi laut dan pulau Jawa dibagi menjadi dua bagian. Kota Samaskuta, yang menempatkan di pedalaman Sumatera, menjadi laut, air yang sangat jelas, dan yang kemudian disebut Danau Sinkara. Pustaka Raja Purwa tulisan yang ditulis  abad ke-19 oleh seorang pujangga terkemuka Keraton Solo, Raden Ngabehi Ronggowarsito mengatakan ini adalah asal-usul pemisahan Sumatera dan Jawa.

Menurut Masatoshi Iguchi dalam Java Essay: The History and Culture of a Southern Country. Matador. British halaman 129, Kota Samaskuta adalah Sebuah kerajaan yang ada di pedalaman Sumatera dan tepatnya di Danau Singkarak. Dugaan sementara batu bajanjang yang dimaksudkan dalam laporan Tim Research Pengumpulan Data-data Sejarah Minangkabau yang diketuai Drs. Hasan Basri dimungkinkan ini adalah pintu masuk dari kerajaan Samaskuta. Catatan dari pararaton disebutkan bahwa raja yang memerintah adalah Prabu Sangkala, sementara sumber lainnya masih sangat kabur dan sedikit.

Hingga tulisan ini ditulis, sahabat budaya tak bisa melakukan pendekatan manapun untuk menelusurinya secara sejarah, karena pertanggungjawaban atas klaim ini akan sangat rentan dan berat. Namun, kita masih bisa berspekulasi dan membandingkannya dengan kasus lain yang bisa dikatakan serupa. Memang benar dalam sejarah tak pernah ada yang dinamakan cocokologi, namun spekulasi bisa saja runtuh karena penemuan lainnya yang telah benar-benar terdata.

Kita akan tunggu bersama hingga ada penemuan spektakuler lainnya terkait hal ini, jika ada yang memiliki informasi lebih mari berbagai lewat wa :+62 822 8385 5009. Kita sama-sama mengharapkan komunitas-komunitas ataupun badan resmi seperti BPCB untuk terus melakukan penelitian secara mendalam sehingga terkuak apa sebenarnya yang terkandung di dalam danau indah tersebut.

Salam budaya.

(Haris)

Pos terkait