Cerpen – Pengarang Maut

Sastra | Juan tersohor sebagai seorang penulis fiksi. Ia dikenal banyak orang karena karya-karyanya yang luar biasa. Ia menulis tentang kematian yang perlahan menjadi ciri khasnya. Ia bahkan mendapatkan julukan sebagai penulis maut atas kepiawaiannya menceritakan tentang kematian makhluk hidup dengan penggambaran yang detail dan realistis.

Pencapaiannya itu di luar dugaan orang-orang. Sebelumnya, banyak yang mengira bahwa ia akan berakhir sebagai penulis gagal yang menyedihkan atas karya-karyanya yang bertema percintaan dengan pengemasan yang lumrah. Namun akhirnya, ia berhasil menggebrak dunia penulisan dengan mengubah haluan menjadi seorang penulis khas kematian.

Sebagai penulis yang ingin seperti dirinya, aku pun menamatkan banyak karya cerpennya. Aku membaca tentang kematian kecoak yang telentang, kematian nyamuk yang terjebak di dalam kelambu, kematian cecak yang terpanggang di dasar penanak nasi, kematian ikan akuarium yang ingin kembali ke sungai, kematian kucing yang tersedak tulang ikan, kematian burung yang kelaparan di dalam sangkar, kematian anjing setelah menyantap daging beracun, dan lainnya.

Bacaan Lainnya

Atas keistimewaannya itu, aku jadi penasaran. Aku sungguh ingin mengetahui bagaimana ia bisa menuliskan begitu banyak karya prosa bertema kematian dengan sangat menarik. Karena itu, aku memutuskan untuk memata-matainya. Aku lalu tinggal di sebuah kamar kos-kosan yang berhadapan dengan rumahnya, hingga aku bebas untuk memantau kesehariannya.

Hari demi hari, aku terus mengintipnya dari balik jendela kamarku. Dengan penuh kesabaran, aku mengamatinya demi mendapatkan gambaran utuh perihal kiat rahasianya. Hingga akhirnya, aku mulai membaca kebiasaan membawa hewan ke dalam rumahnya. Entah burung, kucing, anjing, atau lainnya. Dan kukira, hal itu membantunya membuat karya yang terasa nyata.

Tetapi sayang, aku tak tahu perihal bagaimana pendekatannya terhadap hewan-hewan itu untuk kepentingan menulisnya. Aku tak bisa melihat aktivitasnya dari balik dinding rumahnya. Karena itu, aku jadi makin penasaran untuk mengetahui caranya menyikapi hewan-hewan tersebut dan menuliskannya menjadi cerita fiksi yang mengagumkan.

Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk melakukan penelusuran dengan berpura-pura menjadi wartawan majalah. Dengan begitu, aku punya akses untuk mendatangi rumahnya dan bertanya-tanya perihal proses kreatifnya. Aku yakin, ia tidak akan mencurigaiku. Ia malah akan enteng menguraikan langkah-langkahnya untuk menghasilkan cerita fiksi yang mendebarkan.

Akhirnya, dua minggu yang lalu, setelah kami berkenalan di Instagram dan bersepakat untuk melakoni proses wawancara, aku pun bertamu. Dengan sikap bersahabat, ia lalu menyambutku untuk masuk ke dalam rumahnya. Dan seketika, aku terkesima menyaksikan kediamannya yang bersih dan rapi. Aku sungguh tak menyangka kalau ia yang bujangan dan tinggal sendiri, bisa merawat kondisi tempat tinggalnya di tengah kesibukan menulisnya.

Belum lagi, ia jelas-jelas suka merumahkan hewan-hewan. Kenyataan itu seharunya membuat keadaan rumahnya buruk dengan tahi dan air kencing hewan di mana-mana. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, seolah-olah ia punya kemampuan khusus untuk memerintah segenap peliharaannya agar tidak membuang kotoran di sembarang tempat.

Namun perihal semua itu adalah urusan personalnya. Aku merasa tak sepatutnya bersikap bodoh dengan menanyakan hubungannya dengan hewan-hewan, atau kepeduliannya terhadap kebersihan dan kerapian rumahnya. Karena itulah, aku fokus saja melontarkan pertanyaan-pertanyaan terkait aktivitas menulisnya selama ini.

“Apa sih yang membuat Kakak terdorong untuk menjadi seorang penulis fiksi?” tanyaku kemudian, setelah melontarkan puji-pujian atas keberhasilannya menjadi penulis besar.

“Aku merasa terpanggil setelah menyaksikan aspek penceritaan para penulis yang begitu-begitu saja. Mereka senantiasa menuliskan kehidupan ini sebagai hal yang indah dan pasti dimenangkan pada akhirnya. Tentang tokoh cerita protagonis yang selalu berhasil mengalahkan tokoh antagonis. Padahal, kehidupan ini penuh dengan kepahitan yang mungkin hanya akan berakhir dengan kematian,” tuturnya, dengan raut serius dan sikap berwibawa.

Aku pun mulai membaca preferensinya dalam memilih sudut pandang penceritaan. “Apa karena alasan itu juga Kakak menjadi seorang penulis fiksi yang lekat dengan persoalan kematian yang dramatis, sampai-sampai Kakak dijuluki pengarang maut?”

Ia lantas mengangguk tegas. “Itu adalah upayaku untuk lebih realistis dalam menggambarkan pergulatan hidup di dunia ini. Setidaknya, aku tidak turut dengan pengarang arus utama yang berupaya menipu pembaca dengan membuat cerita fiksi yang mengaburkan kenyataan perihal kerasnya kehidupan.”

Diam-diam, aku makin memahami dasar idealisme dalam memilih tema untuk karya fiksinya. “Lalu, bagaimana cara Kakak merangkai cerita perihal kematian-kematian makhluk hidup secara tragis itu dengan penggambaran yang begitu nyata? Padahal, kukira, Kakak tidaklah menyaksikan proses kematian makhluk-makhluk itu secara nyata, sebab Kakak pastilah seorang pencinta hewan,” ulikku, tanpa sadar menyibak hasil dari aktivitas penguntitanku selama ini.

Seketika, ia memandangku dengan tatapan penuh tanya.

Demi menghindari kecurigaannya yang bisa membuat keadaan jadi runyam, aku lekas menimpali, “Maksudku, upaya semacam apa yang Kakak lakukan untuk mendapatkan penggambaran yang utuh? Apakah itu hanya berdasarkan pada imajinasi Kakak sendiri?”

Ia lantas mendengkus dan mengempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. “Ya, tentu aku menggunakan daya imajinasiku untuk meramu konflik cerita. Tetapi soal penggambaran cerita, aku tentu melakukan riset yang mendalam.”

“Riset semacam apa yang Kakak lakukan? Apakah cukup dengan membaca buku-buku?” sergahku.

“Membaca adalah salah satu cara. Tetapi bagaimanapun, kita tidak bisa menemukan kenyataan seutuhnya hanya dengan membaca tulisan yang telah terkontaminasi oleh cara penuturan dan pandangan subjektif para penulis. Karena itulah, kita juga perlu melakukan pengamatan secara langsung,” jawabnya, mengatasnamakan umum, lantas membenarkan posisi kacamatanya.

“Kalau begitu, Kakak pasti mengamati jenis hewan yang akan menjadi bahan cerita fiksi Kakak?” sidikku, pura-pura tidak tahu perihal kebiasaannya memasukkan hewan ke dalam rumahnya.

Ia lantas melayangkan senyuman simpul yang singkat. “Ya, begitulah. Itu cara yang efektif.”

Aku balas tersenyum dan mulai membenarkan terkaanku kalau ia menggunakan hewan-hewan bawaannya untuk keperluan menulisnya. Sejenak kemudian, aku lalu menanyakan perihal rencananya ke depan, “Apa lagi hal yang ingin Kakak capai di tengah keberhasilan Kakak sebagai penulis?”

Ia pun tampak berpikir-pikir, lantas menjawab, “Aku akan berupaya menghasilkan karya yang lebih baik daripada karya-karyaku sebelumnya. Aku ingin menulis cerita yang lebih mencengangkan untuk para pembaca.”

Diam-diam, aku merasa senang sebagai pembaca setianya. “Apakah Kakak sudah punya ancang-ancang akan menulis tentang apa selanjutnya? Apakah Kakak akan terus bertahan dengan materi kematian?”

Ia lekas mengangguk. “Ya. Tulisanku masih akan terus berkutat dengan tema itu. Tetapi, aku ingin meramu cerita yang lebih mengesankan.”

Seketika, aku jadi ingin segera menikmati karya barunya. “Aku menunggu cerpen-cerpen Kakak.”

Ia pun tersenyum lepas.

Akhirnya, sesi wawancaraku dengannya di hari itu berakhir. Setelah melakoni basa-basi penutup, aku lantas pamit dan pulang.

Hari demi hari setelah itu, aku makin tak sabar untuk menemukan rilisan karya barunya di media cetak ataupun media daring, yang senantiasa ia bagikan di akun media sosialnya. Aku ingin menyaksikan pembuktian tekad dan janjinya untuk menyajikan cerita yang lebih mengagumkan, dan aku yakin ia pasti berhasil melakukannya.

Tetapi sayang. Waktu demi waktu, aku tak juga menyaksikan karya terbarunya. Aku pun mulai menduga bahwa ia tengah mengalami penurunan semangat dan kebuntuan imajinasi untuk menghasilkan karya sesegera mungkin. Apalagi, aku memang tak pernah lagi melihatnya pulang sembari membawa hewan baru yang akan menjadi objek ceritanya.

Hingga akhirnya, delapan hari yang lalu, berkat kesabaranku mengintip dari balik jendela, aku pun melihat seorang wanita bertandang ke rumahnya. Aku jelas tak punya gambaran perihal siapa wanita berambut keriting dan bertubuh ramping itu. Tetapi kukira-kira, wanita tersebut bertamu untuk persoalan yang penting. Barangkali, sang wanita adalah keluarganya, atau bahkan kekasihnya, yang datang untuk menengok keadaannya yang mungkin sedang tidak baik.

Dugaanku tampaknya berdasar. Pasalnya, aku tak juga melihat sang wanita keluar dari pagar rumahnya, meski aku telah melakukan pemantauan secara intens. Karena itu, aku menaksir bahwa sang wanita datang untuk menginap demi memberikan perhatian khusus kepada dirinya yang mungkin tengah sakit, atau menghadapi masalah yang serius.

Tetapi tanpa kuduga, pagi ini, aku mendapatkan kejutan. Aku kembali menemukan cerpen terbarunya pada sebuah media daring ternama. Sebuah cerpen yang berkisah tentang kematian seorang perempuan yang tersesat dan kehausan di tengah gurun pasir yang panas setelah mengikuti bayangan mantan kekasihnya pada saat malam. Seorang perempuan yang dikisahkan sangat menyesal atas aksi perselingkuhannya, sehingga ia ingin meminta maaf untuk kembali hidup bersama mantan kekasihnya yang telah mati bunuh diri di gurun tersebut.

Namun beberapa lama kemudian, aku pun terkejut hebat dan bertanya-tanya setelah menyimak informasi di sebuah halaman koran yang memuat identitas dan foto orang hilang. Kabarnya, seorang wanita telah hilang dan tengah dicari-cari keluarganya selama behari-hari. Seorang wanita berambut keriting dengan wajah yang tampak serupa dengan wanita yang memasuki rumah sang pengarang maut delapan hari yang lalu.

***

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).

Pos terkait