Aksara Minangkabau: Minangkabau Punya Aksara?

Hai, Topers. Gimana kabarnya? Semoga sehat dan bahagia selalu ya, amiin. Pertama-tama pray for Pasaman Barat, duka Pasaman adalah duka kita bersama. Semoga yang terkena musibah diberikan ketabahan oleh Allah SWT, amiin. Dan bagi kita yang tidak terkena dampak langsung dari bencana gempa tersebut sangat dianjurkan untuk memberikan bantuan semampu dan sebisa kita. Karena berbagi, adalah kebahagiaan.

Mohon maaf sebelumnya karena baru bisa kembali, Topers. Selain kuliah sudah mulai, ternyata kehidupan di dunia nyata menuntut lebih banyak waktu dan tenaga. Jadi, semangat untuk para mahasiswa, untuk para kantoran, bankir dan guru, juga untuk seluruh cita-cita yang belum sempat terwujud. Jangan patah semangat dan teruslah berjuang.

Yuk kita let’s go!

Bacaan Lainnya

Sebagimana kita ketahui, Nusantara adalah negara yang memiliki kebudayaan dan bahasa yang sangat beragam. Salah satu di antara warisan budaya tersebut adalah aksara-aksara kuno yang ditinggalkan pada batu, kertas, bambu, dan media-media lainnya yang bisa bertahan lama.

Pada tahun 1970 dalam seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau yang diadakan di Batusangkar, selain membahas prasasti Ombilin, misteri Singkarak dan Maninjau, kerajaan kuno yang terkubur di Singkarak, ternyata juga membahas aksara Minangkabau.

Untuk pertama kalinya, seorang peserta seminar menampilkan aksara yang diklaim sebagai aksara Minangkabau yang ditemukan di Pariangan.

“Kebudayaan Minang itu lengkap. Jangan katakan kita tak punya huruf asli sebagai peninggalan nenek moyang kita …” katanya berapi-api.

Aksara Minang tersebut ditemukan dalam Kitab Tambo Alam milik Datuk Suri Dirajo dan Datuk Bandaro Kayo di Pariangan, Padang Panjang. Sahabat budaya harap kamu tidak lupa siapa itu Datuk Suri Dirajo dan Datuk Bandaro, kita sudah khatam membahasnya di seri petualangan ke-18.

Diketahui Tambo Alam yang ditulis dalam aksara Minang tersebut bukan seperti kitab-kitab tambo yang biasanya ditulis dalam tulisan Arab Melayu. Di dalam kitab tambo itu antara lain tertulis Undang-Undang Adat yang berbunyi sebagai berikut:

Dibelah-belah dipatigo
Siraut pambelah rotan
Luhak dibagian tigo
Adat dibagian salapan

Aksara Minang tersebut terdiri dari 15 buah yaitu: a – ba – sa – ta – ga – da – ma – ka – na – wa – ha – pa – la – ra – nga (bandingkan dengan Surat Ulu di Palembang yang menurut Drs. Zuber Usman terdiri dari 16-17 huruf).

Kedua, aksara Minang “Ruweh Buku” yang ditemukan di Sulit Air, kata demi kata dideretkan ke bawah jika hendak membentuk kalimat. Mirip dengan huruf Katakana (Jepang), tapi jika hendak merangkaikan huruf jadi satu kata tetap dideretkan ke kanan. Jumlah hurufnya 21 buah lengkap dengan tanda baca. Beda dengan aksara Minang di Pariangan, maka huruf Ruweh Buku ini memiliki huruf hidup a – i – u – o dan selebihnya huruf mati semua.

Aksara Minang Ruweh Buku tersebut juga dilengkapi dengan tanda baca seperti tanda tanya, tanda seru, titik, koma, bagi, tambah, kali, kurang. Menurut Syamsuddin Taim gelar Pakih Sutan, Tambo Ruweh Buku ditulis di atas lembaran kulit kayu sepanjang 55 cm atau satu hasta lebih sedikit. Ada 48 halaman dan ditulis menggunakan getah kayu yang berwarna hitam.

Sekarang yang menjadi tanda tanya adalah, apakah memang benar demikian?

Pada tahun 2005, Museum Adityawarman pernah menampilkan aksara Minangkabau dalam seminarnya. Namun kemudian aksara tersebut ditarik kembali karena pihak museum sendiri tidak yakin apakah itu memang benar aksara Minangkabau atau tidak.

Catatan tersebut dapat kamu temukan dalam buku The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript karya Uli Kozok. Walaupun tentu saja kita tetap mewanti-wanti karena Uli Kozok bukan peneliti lokal, namun keilmuannya tentu patut kita acungi jempol.

Sementara itu, filolog dari Universitas Andalas, Dr. Pramono, mengatakan bahwa perlu menelusuri lebih jauh lagi jika ingin mengetahui aksara Minangkabau yang sesungguhnya. Kita akan perlu para arkeolog, filolog dan orang yang paham dengan paleografi atau ilmu penaskahan kuno.

Yuk, tunggu apa lagi, Topers. Mari menjadi bagian dari sejarah, teruslah menelusuri dan menjelajah. Karena bangsa yang kuat adalah bangsa yang menghargai sejarahnya sendiri.

(Haris)

Pos terkait