Rasuna Said: Singa Betina Dari Sumatera Barat

Hai Topers, gimana kabarnya hari ini? Semoga sehat selalu ya, amin. Mari buka pintu ke mana saja dan ikut bertualang ke tahun 1910. Kita akan menemui seorang perempuan muda berkacamata bundar seperti Albus Dumbledore dan berkepribadian keras seperti Severus Snape.

Baiklah, sekarang tanggal 14 September 1910 di Maninjau. Lihat, ada bayi yang sedang digendong, pria berkopiah miring itu bernama Muhammad Said, dia adalah ayah dari sang bayi yang sedang kita kunjungi. Apakah kita perlu melompat beberapa tahun untuk melihat bagaimana dia tumbuh dewasa? Baiklah, let’s go!

Sekarang kita berada di tahun 1926, dua remaja itu berjalan beriringan. Kamu pasti tidak lupa tentang bayi tadi, bukan? Dia adalah Rangkayo Rasuna Said dan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan Thawalib. Saat itu Rasuna Said sedang menimba ilmu di Diniyah Putri, Padang Panjang. Kecerdasannya sangat luar biasa, dengan cepat ia mempelajari berbagai macam ilmu dan begitu peduli dengan pendidikan kaum wanita Sumatera Barat.

Bacaan Lainnya

Di usianya yang ke 19 tahun, Rasuna menikah dengan seorang aktivis muda asal Maninjau bernama Duski Samad. Dia adalah seorang laki-laki Minang yang memberikan kebebasan kepada Rasuna untuk perjuangannya sendiri. Seorang suami yang menyokong penuh gagasan-gagasan istrinya bahkan memberikan kebebasan berpikir.

Dua tahun setelah itu, 1930, Rasuna memutuskan untuk berhenti menjadi guru dan memilih kancah politik sebagai ladang jihadnya. Bagi Rasuna, menjadi pelopor bukan hanya bisa dilakukan dengan menjadi guru saja, ia mulai memperjuangkan hak-hak kaum wanita Minang yang saat itu mengalami polemik poligami. Amat banyak perempuan Minang yang ditinggal cerai dan Rasuna menganggap hal itu sebagai pelecehan terhadap kaum wanita.

Tulisan Rasuna dikenal sangat tajam dan kritis, PID bahkan harus mengawasinya dan memberikan ultimatum agar Rasuna bersikap lebih lembut dan menurut. Namun hal tersebut enggan diiyakan olehnya, Rasuna tetap menulis dengan gaya bahasa yang pedas dan habis-habisan.

Pada tahun 1935, Rasuna menjadi pemimpin redaksi di Majalah Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatra Barat. Lagi-lagi polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawannya. Rasuna pun memutuskan untuk pindah ke Medan, Sumatera Utara, melanjutkan ide-idenya dan berjuang untuk kesetaraan perempuan, kemerdekaan Indonesia dan kebebasan berpikir.

Apakah kamu pernah menonton monolog Sang Singa Betina karya Wawan Sofyan oleh Prasanti Andrini, Topers? Tahun 2017 lalu di Galeri Indonesia Kaya, ditampilkan monolog Riwayat Hidup Rasuna Said, seorang perempuan yang dihukum akibat membangkang dan berusaha untuk membela hak-hak wanita. Kita dapat menyandingkan namanya dengan Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika pastinya.

Aduh, lagi-lagi kita harus merujuk kepada buku Dari Leiden ke Sawahlunto karya Katidiang, di sana disebutkan bahwa Alex Van Helsing yang sebagai PID mengawasi gerak Rasuna Said dan berusaha untuk meredamnya. Namun karena kuatnya kemauan perempuan Minang tersebut, Alex pun menjadi bersimpati padanya.

Pedihnya perjuangan benar-benar dirasakan oleh perempuan muda Minangkabau itu, dia dipenjara dan berkali-kali dibujuk untuk tidak lagi bicara menentang Belanda jika tidak ingin dihabisi. Namun bukan Rasuna namanya jika dia menuruti kehendak Belanda.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatra mewakili daerah Sumatra Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya.

Terakhir, Rasuna yang gigih wafat akibat penyakit kanker pada tanggal 2 November 1965 di Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974, ia diangkat sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, serta di daerah asalnya di Padang, Sumatera Barat.

Sekian perjalanan kita, Topers, mari kita tutup pintu ke mana saja dan kembali beraktifitas.

(Haris)

Pos terkait