Egypte van Andalas: Serambi Mekahnya Minangkabau

Hai Topers, selamat datang kembali di seri petualangan budaya. Sebelumnya semoga kita selalu dalam keadaan sehat wal afiat ya, Topers. Amin.

Hari ini kita akan berkunjung ke salah satu kota terkecil di dunia, lho. Andai saja pandemi sudah usai dan tidak ada lagi larangan untuk bepergian, tentu akan sangat mengasyikkan. Tapi tidak apa, yuk kita menjelajah dengan membaca. Let’s go!

Omong-omong soal Padang Panjang nih, sebenarnya ceritanya akan benar-benar panjang dan lama. Eh, jangan takut, karena kita akan bertualang bersama dan pasti akan sangat menyenangkan.

Bacaan Lainnya

Ayo, siapa yang sudah tahu julukan untuk kota yang cantik ini? Yups, kota hujan ini dijuluki sebagai Egypte van Andalas, atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai Mesir dari Sumatera. Hal ini karena kota Padang Panjang terkenal dengan kota pendidikannya dan telah melahirkan ulama-ulama hebat, Topers. Selain itu, kota ini juga mendapat julukan sebagai Kota Serambi Mekah, karena adat, budaya dan agama yang ada di kota Padang Panjang masih sangat kental.

Sekarang, mari kita buka pintu ke mana saja dan meluncur ke tahun 1742. Wussss … lihat orang-orang yang sedang bergotong-royong itu, mereka sedang membangun apa ya? Ada ijuk yang ditumpuk untuk bahan atap, kayu-kayu besar yang akan dipakai untuk tonggak, dan di sana ada ukiran-ukiran yang sangat indah. Mari kita bertanya kepada kakek Tambo, “Hai, Kakek Tambo, kalau boleh tau, mereka sedang membangun apa ya?”

“Halo, sahabat Topers. Mereka sedang membangun surau yang nanti akan diberi nama sebagai Surau Gadang Sigando. Surau ini kelak akan menempati urutan kedua sebagai masjid tertua di Indonesia setelah masjid Saka Tunggal di Banyumas, Jawa Tengah yang dibangun sekitar tahun 1200.”

“Wah, terima kasih kakek Tambo. Apakah sekarang bangunan megah ini masih ada?”

“Tentu saja, sekarang namanya sudah berganti menjadi Masjid Asasi yang berlokasi di Jalan Syech Ibrahim Musa No.40, Sigando, Padang Panjang.”

Menurut cerita, di penghujung abad ke-14, sekitar tahun 1380 M, datanglah ke nagari Gunung empat pasang suami istri yang berasal dari Pariaman. Waktu itu nagari Gunung masih merupakan daerah yang tidak bertuan sehingga disinyalir empat pasang suami istri tersebut merupakan nenek moyang masyarakat nagari Gunung. Mereka sesuai dengan jumlah pasangan yang membagi nagari Gunung menjadi empat jurai atau empat wilayah.

Sekitar tahun 1705 M keempat jurai tersebut sepakat untuk mendirikan sebuah surau sebagai tempat beribadah, bermusyawarah, dan sebagai tempat belajar ilmu serta mendalami isi Al-Qur’an. Beberapa tahun kemudian barulah dimulai pembangunan surau tersebut yang ditempatkan di nagari Sigando.

Surau tersebut dibangun secara bergotong-royong oleh masyarakat empat koto, yakni Koto Gu­nuang, Koto Jaho, Koto Panin­jauan dan Koto Tambangan, di atas tanah wakaf Imam Basa dan Khatib Kayo. Keduanya lalu diangkat menjadi imam masjid dan khatib surau dan disebut sebagai Tuanku Ampek Jurai Nagari Gunung.

Surau dengan polesan arsitektur spektakuler ini benar-benar sangat memanjakan mata, Topers. Ukiran-ukiran yang terpahat di jendela, pintu, dan dinding surau ini begitu mempesona. Konon, untuk ukirannya sendiri dibuat oleh tukang kayu dari Pandai Sikek yang memang sangat ahli dalam hal pertukangan. Butuh waktu lama untuk menuntaskan surau ini, baru pada tahun 1775 surau ini secara keseluruhan dapat dikatakan selesai.

Dalam buku Masjid-masjid bersejarah di Indonesia karangan Abdul Baqir Zein, halaman 48-49 disebutkan, pendirian masjid/surau itu lebih kurang selama 10 tahun dan oleh masyarakat setempat disebut dengan Surau Gadang Sigando.

Apakah kamu bertanya mengapa bangunan itu dapat bertahan? Bukankah di masa Padri banyak surau yang dibakar?

Wah, pertanyaan yang sungguh menarik sekali. Kita harus pergi ke tahun-tahun di mana Padri bergejolak. Ayo!

Dahulunya, pasar Padang Panjang adalah pasar yang sangat ramai dan ceria. Semua orang berkumpul di sana dan pada sore hari sangat banyak permainan anak muda-mudi Minangkabau yang dipertontonkan. Surau-surau jaya, kedai kopi dan perjudian juga jaya dan sabung ayam merajalela.

Apakah yang membuatnya demikian?

Pada masa sebelum ‘tiga orang haji’ pulang. Padang Panjang menganut paham satariyah yang cinta damai dan toleran. Ulama yang membawa paham tersebut adalah Syaikh Burhanuddin Ulakan, yang mengajarkan toleransi, islam yang damai dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Jika parewa-parewa itu sedang duduk berjudi, maka pada saat azan berkumandang, mereka meninggalkan judi dan pergi ke surau untuk sembahyang, baru kemudian berjudi lagi.

Perlahan, ulama-ulama kala itu yang berpaham satariyah yang cinta damai mulai mengajarkan untuk mengurangi dan mengubah kebiasaan judi dan sabung ayam. Para parewa sudah banyak yang disadarkan, walau sesekali masih ikut, tapi tidak sesering dahulu lagi. Itulah paham yang dianut oleh masyarakat Padang Panjang ketika itu; pasar-pasar ramai, toko-toko banyak berjejel, jual beli lancar, dan semua keceriaan itu ada di Padang Panjang.

Setelah kepulangan ‘tiga orang haji’ ke tanah Minangkabau, mereka melihat bahwa Islam di Minangkabau tidak lagi murni, banyak yang mencampur adukkan antara haq dengan bathil, dan untuk itu perlu adanya modernisasi.

Nah, Topers, kita sudah pernah membahas sedikit di seri petualangan lalu, bukan? Ketiga haji tersebut adalah: Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin. Yang menurut sejarah saat mereka berada di Tukri menjadi tentara Turki, dan menurut Mangaradja Onggang Parlindungan ketika di Mesir menjadi tentara Mesir. Wallahu’alam.

Apakah kamu sudah mendapatkan benang merahnya, Topers? Ya, merujuk karena Mesir dan negara-negara timur tengah sedang mengadakan revolusi, maka cita-cita tersebut juga terbersit kepada ‘tiga haji’ untuk turut melakukannya di tanah Minangkabau.

Saat itulah Padang Panjang mengalami mimpi buruk; toko-toko yang ramai, permainan di sore hari, sabung ayam dan perjudian semuanya dilarang keras. Perlawanan antara kaum Padri dan Adat kian hari kian meruncing.

Kaum Paderi di bawah pasukan Harimau Nan Salapan menyerang Kapeh-Kapeh. Kampung itu kemudian dibumi hanguskan, termasuk Surau Kapeh-Kapeh sendiri. Untuk Surau Gadang di Sigando, tidak mereka bakar, tapi tak diketahui juga apa penyebabnya. Sejak saat itulah kaum Padri menduduki Padang Panjang, Topers.

Pada hari Sabtu, tanggal 10 Februari 1820, bertepatan dengan tanggal 8 Jumadil Awal 1236 H, dengan mengatasnamakan Minangkabau, beberapa orang penghulu yang mengatasnamakan 162 penghulu dari 20 nagari meminta bantuan kepada Belanda. Penyerahan ini tentu saja suatu kesempatan yang telah lama ditunggu-tunggu. Bahkan, mungkin saja itu semua adalah hasil skenario Belanda yang dilakukannya secara rapi. Yakni memperuncing pertentangan antara kaum adat dengan kaum agama dengan strategi yang halus sehingga tidak terasa oleh kedua belah pihak.

Pada tanggal 19 Agustus 1821, bertolak dari posnya di Simawang, akhirnya Belanda menyerang nagari Gunung, Padang Panjang. Pertempuran dengan rakyat Gunung yang saat itu telah menganut paham Padri tak dapat dielakkan. Korban berjatuhan. Akhirnya, dalam sebuah pertempuran dengan kekuatan yang benar-benar tak berimbang, jatuhlah nagari Gunung ke tangan Belanda. Dengan begitu Belanda sangat mudah menguasai keseluruhan Kota Padang Panjang.

Wah, ternyata perjalanan kita kali ini cukup panjang dan rumit ya, Topers. Dengan berbagai peristiwa yang terjadi, syukurlah masjid tertua tersebut tidak mengalami kerusakan sampai sekarang. Bahkan pemerintah Kota Padang Panjang menjadikan masjid tersebut sebagai objek wisata religi, lho.

Dari perjalanan kita, memang sudah sepantasnya Padang Panjang memperoleh julukan Serambi Mekah, Topers. Julukan tersebut di dapatkan setelah melalui peristiwa sejarah yang panjang dan berliku-liku, bukan?

(Haris)

Pos terkait