Cerpen – Lelaki yang Menggenggam Takdir

Oleh : Hasbunallah Haris

Dari rak buku yang penuh berjejel di rumahnya, kau akan melihat sekelompok buku sastra teronggok bisu di sudut rak paling atas, lengkap dengan tahun cetaknya. Lalu di urutan bawah ada buku-buku sejarah, ensiklopedia, biografi dan kamus setebal kitab suci yang sudah berdebu. Kitab itu ditulis masih menggunakan tangan, disampul dengan cover keras berbahan kulit lembu dan diikat dengan tali sebesar kabel setrika berbahan katun yang dijalin tiga. Orang itu lebih memilih meletakkan rak di setentang jendela kamarnya daripada membiarkan cahaya masuk.

Ketika pertama kali aku berkunjung ke rumah aneh itu, hampir saja kukatakan pada Franklin bahwa rumah itu sepenuhnya sudah lama ditinggalkan; puluhan buku berdebu yang tergeletak tak bertuan, gelas-gelas kaca yang dibiarkan di rak piring hingga berlumut, karpet yang sudah berbau dan rak buku yang sudah minta ampun menanggung beban di pundaknya itu adalah pertanda yang logis. Namun Franklin mendorong sebuah pintu kayu yang diberi tanda X besar berwarna merah dengan tulisan “Jika tidak ada kepentingan lekaslah keluar dari tempat ini” yang sontak langsung membuat bulu kudukku berdiri.

Bacaan Lainnya

Aroma bangkai tikus dan bir tercium pekat. Kami melangkah masuk dan Franklin mengenalkanku dengan pria kurus itu untuk pertama kalinya. “Kau akan jadi orang paling beruntung di Las Vegas jika sudah berkenalan dengan orang ini,” kata Franklin yang kutahu hanya membesar-besarkan.

Pria itu mengamatiku sebentar. Dengan lututnya yang membusung keluar dan hidungnya yang setengah bengkok itu aku langsung dapat menaksir bahwa dia adalah pria paling malang di Amerika. Namun sesaat kemudian dia tersenyum halus, atau lebih tepatnya disebut cengiran selamat datang tanpa mengulurkan tangan dan bicara ‘Halo anak muda, apakah kau suka membaca? Silakan duduk di mana saja dan anggaplah seperti berada di rumah sendiri’.

“Dia orangnya,” kata Franklin menunjukku.

Dia?” ulang pria ceking dari balik meja itu. Aku hanya berdiri memandangnya, mengamati tingkah-laku anehnya yang kuanggap sebagai penemuan besar. Aku bertemu dengan manusia neantherdhal.
Franklin mengangguk.

“Yah, kalau begitu silakan duduk. Aku tidak punya minum. Jadi mari kita selesaikan dengan cepat.”

Aku duduk di kursi berdebu di hadapannya, yang hampir saja membuatku terjungkal karena kursi itu tak lagi sekokoh dulu, paku-pakunya sudah banyak yang copot dan tempat kaki di bawahnya sudah lama patah, atau mungkin sengaja dipatahkan untuk bahan bakar di musim dingin. Terserah.

“Berapa kau akan membayar semua ini?” kata orang tua itu, yang kuingat Franklin menyebutnya sebagai Robert Farmer.

“Dua ribu dolar, Sir.”

Farmer mendecak, mengambil satu lidi dari laci meja dan menggigitnya seperti orang habis makan daging cincang. “Kau sudah melihat koleksiku?” lanjutnya sambil memajukan bibir.

“Sudah, Sir. Ensiklopedia, buku sejarah, biogafi, sastra dan banyak hal-hal lainnya lagi.”

“Dan kau hanya sanggup membelinya segitu?”

“Maaf, Sir. Ini adalah penawaran terbatas.”

Farmer meludah ke kakinya, lalu menginjak ludahnya sendiri sambil kemudian berdiri mengelilingi meja. “Kau telah membawa orang yang salah, Franklin, silakan tinggalkan tempat ini dan kau pasti telah membaca tulisan yang sengaja kubuat di depan pintu kamarku. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa.”

Franklin berdiri, mengambil topinya dan membungkuk. “Baik, Sir.”

Waktu melesat dengan cepat, aku tak lagi memikirkan pria tua aneh itu dan tempat tinggalnya yang juga nyentrik. Dia barangkali adalah pak tua yang suka dengan barang-barang kuno, berkhayal terbang ke Mars dan membuat koloni di sana dan … sial! untuk apa aku memikirkannya.

Minggu kedua di bulan November tiba, aku mendapatkan jatah cuti dan kupergunakan untuk berkeliling kota sejak dini hari. Bagiku memanjakan perut di waktu libur adalah kebahagiaan tersendiri. Aku biasa duduk di De Moskwa menikmati secangkir kopi sambil membaca koran sore, atau duduk di tempat yang sedikit lebih tinggi, balkon apartemenku dan memandang taman El Nino di bawah sana dengan leluasa. Sesekali memberi makan burung liar atau pergi menembak. Kehidupan seorang lajang yang sangat normal.

Tiba-tiba ponselku berdering, telpon dari Franklin.

“Kau di apartemen?” katanya langsung.

“Ya. Kau pasti punya kabar baru tentang orang tua itu. Apakah dia menyetujuinya?”

Terdengar suara mendesah di seberang sana. “Sayang sekali kali ini kabar duka, Kawan, Farmer meninggal tertabrak mobil subuh tadi, dia baru saja pulang mengantarkan paket untuk seseorang, katanya itu adalah hadiah yang sangat berharga. Aku membaca diarinya dan sekarang sedang berada di rumahnya. Kau mau bergabung?”

Aku membutuhkan waktu tiga detik untuk mencerna semuanya dan menjawab. “Aku akan datang lima menit lagi.”

Telepon dimatikan dan aku bergegas menyambar jas di gantungan belakang pintu, menyalakan motor dan tiga kali membobol lampu merah. Yang terpikirkan sekarang olehku adalah barang-barang tua milik pria aneh itu, siapa yang akan mendapatkannya? Bukankah dia tak memiliki anak seorang pun?

Beberapa orang polisi sudah mengangkuti barang-barang milik Farmer ke dalam sebuah truk kecil. Entah ke mana semua barang-barang itu akan dibawa. Kulihat Franklin sangat sibuk mengarahkan para pekerja agar berhati-hati dengan pecahan kaca yang berserakan di lantai dan rak buku yang barangkali bisa roboh sewaktu-waktu.

“Kau mendapatkan kontak keluarganya?” kataku begitu menghampiri pria berkacamata itu, di tangannya tergenggam sebuah diari kecil dengan bandul ikat jangkar kapal berwarna kuning keemasan. Untuk sesaat Franklin menatapku penuh curiga, lalu mengabaikan hal itu dan menunjukkan buku yang dipegangnya.

“Kau beruntung,” katanya yang membuatku menaikkan alis. “Farmer mewariskan semua ini padamu, dia setuju dengan harga yang kau tawarkan, lihat ini ….”

Untuk Danil Watson, aku setuju dengan harga yang kau tawarkan. Silakan ambil semuanya dan juga buku harianku ini. Aku tahu waktuku sudah dekat. Untuk $2000 yang kau tawarkan silakan bangun pemakamanku sebagus mungkin dan tuliskan ‘Takdir telah kusogok dengan seikat bunga’ di atas batu nisanku.

“Aku?”

“Ya.” Franklin mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu mengapa, Danil. Tapi sepertinya Farmer sejak awal memang sudah tertarik padamu. Dia pria tua yang malang, selalu terlilit hutang karena mengirimkan tulisannya ke banyak penerbitan.”

“Apakah buku-bukunya laris terjual?”

“Sama sekali tidak, bahkan tidak ada yang terbit satupun. Aku adalah salah satu orang yang pernah membaca karyanya dan menurutku tulisannya sangat fantastis sekali. Namun penerbitan selalu menolak naskahnya dengan alasan tidak sesuai dengan zaman.”

Aku makin tak mengerti dengan semua ini. “Memangnya apa yang ditulis Farmer, Frank?”

“Sejarah yang sebenarnya, yang tidak memihak kepada yang menang perang.”

“Dan naskah itu sekarang?” sambarku seketika.

Franklin mengatupkan giginya, menggeleng dengan berat. “Saat aku sampai di sini, semua tulisannya sudah lenyap. Hanya buku-buku tua koleksinya saja yang tersisa.”

Aku tak lagi bertanya. Kami lantas menghadiri pemakaman pria aneh itu dengan sangat sederhana. Aku menaburkan bunga di tas makamnya dan Franklin hanya menatap bongkahan tanah itu sambil menghempaskan napas berat. Jika ada yang sangat kehilangan Farmer, maka dia adalah Franklin, karena hanya dengan Franklin orang tua itu mau bicara banyak.

Dua hari kemudian, bel apartemenku berdering. Saat kuperhatikan dari dalam, seorang kurir tengah berdiri menghadap pintu, darahku terkesiap seketika. Segera kubuka dan lihat siapa yang telah mengirimkanku paket sebesar itu; Dari Robert Farmer. Di atasnya tertulis; Aku tahu semuanya, karena itulah aku memberitahumu.

(*)

Pos terkait