Cerita Bersambung – Wisata Masa Lalu

Oleh : Hasbunallah Haris

(Bagian delapan)

Link bagian tujuh : https://www.topsumbar.co.id/cerita-bersambung-wisata-masa-lalu-7/

Bacaan Lainnya

Berkenalan denganmu adalah langkah awal takdir untuk menggoreskan luka di kemudian hari.

Sorenya kami menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di depan rumah dinas sementaraku bersama Houtman, pria itu tak putus-putusnya menghisap rokok sambil sesekali menyeruput kopi. Aku yang duduk di depan sambil memandang trem yang sesekali melintas merasa kantuk. Sadar akan kondisiku, Houtman menawarkan untuk pergi makan angin.

“Ke mana?” tanyaku.

“Ke mana saja,” jawabnya. “Di sana ada rumah ikan, kedai kopi, layar tancap, plesiran, apa saja. Mari saya antar.”

“Jangan begitu, Houtman, panggil nama saja padaku.” Aku tahu Houtman sedikit canggung ketika bicara, belum ada tiga kali dia memanggil namaku ketika bicara.

Houtman mengangguk. “Sebaiknya naik sepeda saja.”

Dua buah sepeda tersedia tak lama kemudian, dicarikan seorang tukang suruh. Merek Birmingham, sepeda perempuan. Tak apalah, tak jadi soal sekarang masalah itu. Kami lantas pergi berkeliling melihat-lihat Kota Batavia senja hari. Noni-noni Belanda berparas cantik memamerkan tampang di sepanjang jalanan, yang sudah menikah menggandeng tangan laki-lakinya dengan mesra. Nun di atas sana, mentari melirik-lirik dari balik awan, kuning coraknya.

Kami terus ke jalan-jalan berlampu gas, ada paduan corak Prancis yang kental di sini, namun masih memegang teguh arsitektur Belandanya. Kuda-kuda gagah melintas beberapa kali, orang-orang bersepeda sambil membawa payung, juga beberapa anak-anak Hindia Belanda yang sedang bermain.

“Kalau mau melihat Prancisnya Jawa, saya antar ke Bandung. Paris van Java. Besok kita boleh berangkat. Enak-enak kopinya, perempuan-perempuannya pun cantik-cantik. Bagaimana?” Sekali lagi Houtman menawarkan sesuatu yang berat untuk kutolak.

“Houtman, kau orang Belanda?” tanyaku.

“Tidak, saya Indo. Mengapa? Tak suka dengan saya? Kalau tak suka boleh bilang ke orang itu untuk dicarikan kawan lain.”

“Bukan begitu, bertanya saja. Ke mana kita sekarang?”

“Mau makan-makan? Atau singgah ke plesiran?”

“Ah, jangan bawa-bawa aku ke tempat seperti itu, Houtman.”

“Aneh,” gumamnya sambil terus mengayuh sepeda ke arah utara Batavia. Jalan lurus yang ramai. “Biasanya kalau orang lain yang saya ajak mau-mau saja. Ayolah, Alex.” (Sekarang baru dia menyebut namaku) “Tidak ada orang yang akan menjadi penghalang di sini, jauh dari Belanda, tak akan ada yang tahu kalau memang kamu menyimpan kekasih satu-dua orang di sini.”

Aku mengeluh, mengatupkan rahang. Bayangan Annie langsung melintas dalam benakku. Sebelum berangkat, aku sudah bersumpah untuk setia padanya, bersumpah untuk pulang dan menikahinya, juga bersumpah pada ayahku.

Kami lalu melewati kerumunan orang yang sedang bermain, yang ternyata adalah lapangan tenis. Muda mudi menghabiskan waktu sorenya di sana. Kebanyakan dari mereka anak-anak sekolah dokter atau para pekerja kantor administrasi. Kami terus mengayuh tanpa berhenti.

“Jadi mau makan saja?” kata Houtman setelah diam berapa lama.

“Liat saja nanti, mau cuci mata dulu.”

Toko-toko Cina berjejer, menjual perabot-perabot antic dari keramik. Lalu diselingi juga dengan toko Prancis, menjual perhiasan perempuan; gelang, cincin, topi rajut, pakaian kebesaran, pakaian sulam, dan sepatu kulit. Aku melambatkan sepeda, melirik-lirik ke samping, ada ruko yang juga ramai sore-sore ini.

“Kita singgah sebentar,” kataku membelokkan sepeda, yang diikuti oleh Houtman.

Tempat yang kami masuki adalah rumah akuarium, ikan-ikan berjejel-jejel di sepanjang lorongnya, orang-orang ramai berpindah melihat-lihat dari satu kotak ke kotak lainnya. Anak-anak kecil saling menandai ikan kesukaannya lalu berteriak-teriak kegirangan ketika ikan itu mendekat ke arah mereka.

“Ke sini, Emma, jangan lari-lari!” Seorang perempuan muda berusaha menenangkan kedua adiknya. Perempuan cilik itu berlari-lari tak menghiraukan keramaian, dan akhirnya menabrak kakiku.

Aku mengangkatnya. “Tidak apa, Manis, mau melihat dari atas sini?”

Gadis kecil itu sedikit takut namun mengangguk, mungkin ini yang dipanggil Emma tadi. Aku mengangkatnya tinggi-tinggi, melihat ikan-ikan dalam akuarium besar dari atas, lalu terkikik-kikik kesenangan. Kakaknya, atau adiknya, menggerutu di dekat kakiku.

“Tak adil,” rungutnya memajukan bibir.

Beberapa saat kemudian perempuan muda itu sampai, malu-malu hendak memintaku untuk menyerahkan adiknya yang sedang kugendong.

“Adik saya,” katanya dengan bahasa Belanda. “Terima kasih.”

“Mau cokelat, Emma?” Tiba-tiba Houtman mengeluarkan cokelat bulat-bulat yang dibungkus kertas manila dari sakunya. Memberikannya kepada gadis cilik itu. Kakaknya, atau adiknya, tambah gembung pipinya karena tak mendapatkan bagian.

“Bagaimana kalau ini saja?” aku jongkok, memberikan gula-gula. “Siapa namanya?”

Direbutnya gula-gula itu dari tanganku dan segera berlari kepada kakaknya, bersembunyi di bawah kakinya. Lucu benar.

“Namanya Lidya,” kata kakaknya mewakilkan. Mengulurkan tangan. Mengajak berkenalan. “Amira de Java.”

Kami lantas berkenalan, lalu mengobrol dan melanjutkan melihat-lihat ikan. Houtman sepertinya sangat mudah dekat dengan anak kecil, jadi hanya aku dan Amira saja yang jalan berdua sementara anak-anak kecil tadi pergi bersama Houtman ke sisi lain akuarium.

Amira adalah murid sekolah HBS. Perempuan Jawa. Maksudku, dia orang Belanda, tentu saja, namun lahir di Jawa dan belum sekalipun mengunjungi Belanda. Mungkin karena itulah ibunya memberi nama belakangnya dengan van Java. Begitu aku sebutkan bahwa aku baru saja datang dari Belanda, Amira begitu antusias bertanya banyak hal padaku. Gadis cantik itu tak perlu banyak waktu untuk dekat dengan orang lain, pikirannya terbuka dan dia tak takut dengan orang baru.

“Topi yang bagus, seperti yang memakainya” pujiku ketika baru saja menjelaskan tentang musim dingin di Belanda. Kulihat rona pipinya memerah dan Amira segera memperbaiki letak topinya itu. “Sudah hampir malam, rumahmu jauh dari sini, Amira?”

“Tidak, tiga menit kalau naik sepeda.” Lalu diliriknya jam di dinding. “Ah benar, saya harus pulang.”

Kami keluar bersama ke parkiran sepeda, kali ini membahas tentang sekolahnya, giliran aku yang mendengarkan. Di luar, Houtman ternyata sudah menanti, dua dara kecil itu berlari-larian mengelilingi parkiran sepeda. Begitu melihat kakaknya keluar, keduanya pun berlomba mengejar siapa yang paling dulu sampai.

“Sudah hampir malam, Houtman, ke mana lagi kita?”

“Terserah saja, mau ke pasar malam juga boleh,” jawabnya.

Amira menaiki sepedanya. Menoleh pada kami sambil berujar, “Kapan-kapan aku akan mengundang kalian makan malam di rumah, kalian tinggal di mana?”

“Dekat gedung resident, alun-alun, di rumah dinas. Tapi hanya beberapa hari saja, aku dipindah tugaskan ke Sumatra.”

Air muka Amira sedikit kecewa mendengar hal itu. “Kalau begitu saya nanti boleh mengirim surat, hendak tahu pula bagaimana keadaan di Sumatra.”

Aku mengangguk. “Berikan saja alamatmu, saya akan menulis surat kalau sudah sampai di sana nanti.”

Amira begitu girang mendengarnya, disebutkannya alamat rumahnya dan kemudian dia mengayuh sepeda keluar dari parkiran akuarium. Sementara tak lama kemudian kami pun bertolak ke arah pasar malam. Mencari makan.

Demikianlah pertemuan kami, singkat saja. Karena besoknya, aku sudah melakukan perjalanan menuju Bandung bersama Houtman, dan hari berikutnya saat kembali lagi, kapal ke Sumatra sudah tertambat di dermaga.

Jalan-jalan sudah selesai, tugas menanti di depan mata.

(Bersambung …)

Pos terkait