Ngutang, Kok Nantang?

Oleh Irwan Prayitno

Setiap memasuki bulan suci Ramadhan, umat Islam senantiasa diingatkan oleh para penceramah agar menjadikan Ramadhan sebagai ajang peningkatan kualitas amal. Karena pada bulan Ramadhan segala amal dilipatgandakan balasannya. Dan khusus untuk puasa di bulan Ramadhan, Allah SWT sendiri yang memberikan balasannya.

Dengan meningkatkan amal dan juga puasa, serta menahan hawa nafsu diharapkan terjadi perubahan karakter seseorang menjadi lebih baik. Maka jika setiap tahun seseorang serius dan sungguh-sungguh menjalankan puasa dan amalannya, maka ia akan menjadi pribadi yang semakin baik.

Namun kadang di tengah kehidupan, kita juga mendapati bahwa puasa yang telah dilakukan seseorang dalam rentang waktu hidupnya ternyata tidak memberikan perubahan apa pun. Bahkan justru ketika puasa mungkin hanya sanggup untuk menahan haus dan lapar saja. Puasa tidak lagi dianggap sebagai sebuah momentum emas untuk memperbaiki kehidupan seseorang.

Padahal berdoa di bulan puasa dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT insya Allah akan dibalas lebih baik kualitasnya dibanding bulan lain. Jika Allah SWT yang memberikan ia rezeki sudah tidak dianggap lagi, maka begitu pula terhadap manusia.

Misalnya saja, seseorang yang berutang kepada orang lain. Di satu sisi ia mesti bersyukur kepada Allah SWT karena masih ada orang yang dengan baik hati memberikan pinjaman uang kepadanya. Karena itu sesungguhnya terjadi atas izin Allah SWT. Sehingga ia patut bersyukur. Namun yang terjadi kemudian, ketika orang yang memberi pinjaman menanyakan pengembalian pinjaman kepada si peminjam, yang meminjam justru menghindar, marah, seolah ia yang dipojokkan dan merasa terhina, sehingga ia tidak terima dan menantang si pemberi pinjaman karena dianggap menzalimi dirinya.

Hal seperti ini banyak terjadi di sekitar kita. Dan kasus demikian biasanya si pemberi pinjaman berperilaku baik dan memiliki itikad baik memberikan pinjaman, sedangkan peminjam di kemudian hari justru berperilaku buruk dan menunjukkan itikad tidak baik.

Bagi Allah SWT, sangat mudah membalikkan nasib seseorang dari baik menjadi buruk dan sebaliknya. Allah Swt mengubah nasib seseorang baik dalam rangka menguji maupun memberi balasan. Bagi orang yang merasa diuji, ia akan bersangka baik kepada Allah SWT.

Sedangkan bagi yang diberi balasan, ia akan jauh dari Allah SWT. Ketika nasibnya baik, ia sudah jauh dari Allah SWT, maka ketika nasibnya buruk ia semakin jauh dari Allah SWT. Orang yang demikian ketika puasa, maka puasanya hanya sekedar menahan haus dan lapar saja. Ketika azan maghrib berkumandang, nafsunya tak terbendung, perilakunya yang lain pun kembali seperti semula seiring berkumandanganya azan maghrib. Sementara amal ibadahnya yang lain seperti salat, baik salat wajib berjamaah, salat tarawih, shalat tahajud, tidak memberikan bekas sama sekali kepada perbaikan perilakunya. Termasuk juga jika ia rajin membaca Al Qur’an sekalipun.

Berbicara Al Qur’an, maka saya pada 10 Mei 2018 membuka Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional tingkat Kota Payakumbuh. MTQ seperti ini juga dilaksanakan di berbagai kota/kabupaten dan juga kecamatan. Dengan MTQ yang rutin dilaksanakan di berbagai tempat tersebut maka harapannya akan terjadi perbaikan perilaku, baik bagi yang membaca atau ikut lomba maupun yang mendengar termasuk panitia dan juri. Maka, ketika ada oknum pada sebuah ajang MTQ di tempat lain di waktu lampau yang membuat keputusan memberikan kemenangan kepada seseorang atau kelompok padahal bukan dia pemenangnya, substansi MTQ menjadi kehilangan makna. Bahkan muncul karakter negatif dalam ajang MTQ tersebut.

MTQ yang seharusnya ajang berlomba dalam kebaikan malah menjadi ajang mencari kemenangan dengan cara yang tidak patut. Membaca Alquran yang seharusnya memberi kebaikan berubah menjadi hal yang tidak baik, tanpa disadari.

Ada pula kasus lain, seseorang rajin salat, rajin ibadah, rajin baca Al Qur’an, baik perilakunya, namun menelantarkan anak istri dengan alasan keagamaan. Ia ingin mencontoh Nabi Ibrahim as yang meninggalkan Hajar dan Ismail, namun sayangnya ia keliru dalam memahami sejarah. Anak istrinya hidup susah, sedangkan dirinya pergi untuk sebuah kegiatan yang menurutnya merupakan kebaikan dalam agama. Sesuatu yang baik dalam agama sesungguhnya tidak menjadikan orang lain terlantar atau terzalimi. Ini artinya ada kesalahan dalam memahami ajaran agama.

Oleh karena itu, di bulan Ramadhan yang penuh berkah, tahun ini kita beruntung masih bisa menjalani ibadah puasa dan lainnya, sudah sepantasnya memanfaatkannya kali ini untuk memperbaiki perilaku dan meningkatkan amal ibadah.

Rajin beramal yang diiringi perilaku buruk menunjukkan betapa kerasnya hati seseorang. Sebaliknya rajin beramal diiringi perbaikan perilaku menunjukkan adanya hidayah dari Allah SWT. Hidayah memang hak Allah SWT, tapi manusia bisa berusaha mendapatkannya.

Dalam hubungan antar manusia, perilaku mulia akan membawa kebaikan bagi sesama. Sedangkan keburukan kepada sesama akan menimbulkan ketidakharmonisan sosial. Sehingga perilaku mulia dalam hal ini menjadi suatu prioritas dibanding ibadah seseorang yang bersifat hubungan vertikal kepada Tuhan.

Rasulullah SAW adalah contoh manusia yang perilaku dan ibadahnya jalan seiringan, sehingga banyak orang masuk Islam bukan disebabkan karena ibadah Rasulullah SAW, tapi karena melihat dan merasakan perilaku mulia yang ditunjukkan Rasulullah SAW. Maka sudah sepantasnya puasa seseorang yang bertujuan mencapai derajat ketakwaan turut memperbaiki perilakunya terlebih dahulu sebagai makhluk sosial, tanpa meremehkan urusan ibadahnya yang lebih bersifat individual dan vertikal. *******

Pos terkait