Kemiskinan Pessel Betah di Posisi ke-Empat Tertinggi di Sumbar

PESISIR SELATAN, TOP SUMBAR — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) sejak dua tahun terakhir masih betah di posisi ke-4 tertinggi dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat.

Kepala Kantor BPS Painan, Yudi Yos Elvin mengungkapkan, kondisi itu terjadi akibat lambannya pembukaan lapangan kerja sektor formal. Mayoritas angkatan kerja berprofesi sebagai petani, buruh dan nelayan.

Sementara sektor primer kian terpuruk. Harga komoditi menyentuh titik nadir. “Penghasilan mereka tidak cukup untuk biaya sehari-hari, sehingga rentan miskin,” ungkapnya di Painan, Minggu 1 Desember 2019.

Bacaan Lainnya

Angka kemiskinan Pessel masih di atas rata-rata angka provinsi. Bahkan di bawah target dalam RPJMD 2016-2021. Sesuai visi dan misi bupati yang mematok kemiskinan pada 2018 hanya 7.18 persen.

Berdasarkan data BPS, pada periode tersebut kemiskinan di daerah berjuluk Negeri Sejuta Pesona itu 7.59 persen, turun dari 7.97 persen di periode sebelumnya, sedangkan provinsi hanya 6.65 persen.

Jumlah warga miskin Pessel 34.900 jiwa, dari 460 ribu jiwa total penduduk. Jika mengacu pada 40 persen masyarakat berpenghasilan terendah, penduduk miskin Pessel tercatat 227 ribu jiwa.

Sebagian besar dari mereka, lanjutnya, kini tersebar di wilayah pedesaan dan pinggiran pantai, dengan mata pencaharian sebagai buruh tani dan nelayan.

“Di Sumbar kemiskinan yang paling tinggi itu kini ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kemudian Disusul Kabupaten Solok dan diikuti Padang Pariaman,” terangnya.

Guna mengentaskan kemiskinan, harus ada upaya konkrit. Dana desa yang besar di Pessel harusnya bisa jadi stimulan. Namun hingga kini belum signifikan sebagai penunjang kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah daerah harus mendorong naiknya harga komoditi. Salah satunya dengan cara menciptakan iklim investasi yang kondusif, utamanya di industri pengolahan, Investor butuh kepastian.

Upaya itu sekaligus membuka lapangan kerja baru, sehingga penghasilan masyarakat jadi bertambah. Jika harga komoditi daerah terus merosot, ia khawatir penduduk miskin kian bertambah.

Apalagi di tengah ketidak pastian ekonomi global. Tangkapan nelayan pun mulai turun. “Itu terlihat sejak Maret lalu,” tambah Kepala Seksi (Kasi) Statistik Sosial BPS, Bilal Asidiq.

Secara terpisah, Kepala Bappeda Litbang, Yozki Wandri menyampaikan pihaknya tengah menyiapkan strategi baru dalam menurunkan angka kemiskinan daerah itu.

Pertama, melalui perlindungan atau bantuan langsung. Kedua, pembinaan keluarga miskin dan yang ketiga pemberdayaan kelompok melalui bantuan modal usaha.

“Ini akan diterapkan pada 2020. Pengarus utamaann gender. Metodenya jalan pendek. Saya optimis,” ujarnya didampingi Kasubid Perencanaan Sosial dan Budaya Sofya Dewi.

Selama ini penanggulangan tidak mengacu Data Terpadu Kesekahteraan sosial (DTKS). Masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) memiliki pandangan berbeda.

Akibatnya, penanggulangan menjadi lamban. Namun ketika ditanyai soal jumlah dana yang dibutuhkan, dirinya belum bisa memastikan besarannya.

Meski begitu, tambahnya, pemerintah daerah bakal mengalokasikan APBD secara bertahap. “Anggaran kita kan terbatas. Ini cocok dengan persoalan kemiskinan kita,” sebutnya.

Sedangkan Kepala Dinas Sosial, Zulfian Alfianto menyampaikan berdasarkan basis Data Terpadu Kemiskinan Sosial (DTKS), jumlah penduduk miskin pada 2019 tercatat sebanyak 45 ribu jiwa.

Menurutnya, penurunan kemiskinan harus secara terpadu. “Harus terlibat semua pihak. Kalau di Dinas Sosial ada PKH dan Rastra,” tutupnya. (RD)

Pos terkait