Istilah Sumbar Makan “Pitih Sanang” dari PAP Waduk Koto Panjang Ditanggapi “Keras” Gubernur Sumbar

Statement anggota DPRD Provinsi Riau yang menyatakan berakhir sudah masanya Sumbar makan ‘Pitih Sanang‘ dari Pajak Air Permukaan (PAP) Waduk Koto Panjang, mendapat tanggapan keras dari Gubernur Sumbar, Prof Irwan Prayitno.

Menurut Gubernur, istilah Sumbar makan ‘Pitih Sanang’ tersebut dirasa kurang tepat dan kurang bijak dilontarkan oleh anggota DPRD Provinsi Riau karena sangat melukai hati rakyat Sumbar.

”Jangan lupakan sejarah pengorbanan rakyat Sumbar untuk pembangunan PLTA Koto Panjang,” tegas Gubernur Irwan Prayitno kepada awak media usai mengikuti pelaksanaan qurban, Jumat, (31/07/2020), sebagaimana dirilis MMC Dinas Kominfo Provinsi Sumbar.

Bacaan Lainnya

Dikatakan Gubernur, ia selalu mengikuti dan melakukan monitor dinamika persoalan itu dan rasanya apa yang disampaikan oleh beberapa anggota DPRD Sumbar pantas didukung dan kami pemerintah provinsi Sumatera Barat telah meresponnya dan memprosesnya secara administratif ke pusat. Baik secara tertulis maupun upaya lainnya kita lakukan ke Kemendagri.

Surat ke Kemendagri sudah kita proses dengan melampirkan semua dokumen pendukung sehingga PAP tidak hanya Riau yang mendapatkannya, tetapi juga kita Sumbar.

“Untuk itu kami harapkan masyarakat Sumbar baik di ranah dan di rantau, untuk sementara tenang dulu, percayakan saja kepada kami dan berikan kesempatan kepada kami bersama DPRD mengurusnya ke pemerintah pusat,” ujar Irwan Prayitno.

Seperti dikutip di berbagai media di Riau yang menyatakan, berakhir sudah masanya Sumbar makan uang senang dari Pajak Air Permukaan (PAP) Waduk Koto Panjang membuat DPRD Sumbar tersentak dan tersinggung.

Marahnya anggota DPRD Sumbar dimulai dari pernyataan Nurnas di berbagai media yang kemudian dilanjutkan rapat di Komisi III yang dipimpin oleh Afrizal, menyimpulkan bahwa DPRD Sumbar sangat menyesalkan pernyataan tersebut berasal dari anggota DPRD Riau yang seakan-akan melupakan sejarah pembangunan PLTA Koto Panjang.

Melupakan pengorbanan rakyat Sumbar atas tenggelamnya 11 nagari di Kabupaten Limapuluh Kota Sumbar. Bagaimana masyarakat Sumbar berjuang sampai ke Jepang untuk mendapatkan dana pembangunan waduk tersebut.

“Mungkin teman kita di DPRD Riau lupa, bahwa air yang mengalir itu asalnya dari mana. Ataukah perlu dilakukan seperti dulu, ada rencana warga Kabupaten Limapuluh Kota mengalihkan aliran air ke tempat lain. Kalau ini dilakukan, tentu PLTA waduk Koto Panjang tidak berfungsi. Padahal akibat waduk Koto Panjang ini, Kabupaten Limapuluh Kota selalu kebanjiran setiap tahun,” ungkap Nurnas kepada awak media geram.

Selama ini tidak ada permasalahan soal jatah pembagian pajak antara Pemprov Sumbar dengan Provinsi Riau. Berapa pun hasilnya dari PLN, selalu dibagi dua.

Namun dengan adanya surat Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri tersebut, akhirnya memicu polemik, protes dari warga Sumatera Barat, apalagi ditambah dengan pernyataan anggota DPRD Provinsi Riau yang sangat menyinggung perasaan masyarakat Sumatera Barat dengan istilah ‘pitih sanang‘ (uang senang).

Yozawardi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar menyatakan bahwa terdapat Daerah Tangkapan Air / DTA (Catcment Area) di Koto Panjang seluas 150.000 Ha yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai, terus ke sungai dan bermuara ke Danau Koto Panjang.

Artinya, sumber air waduk Koto Panjang berasal dari hutan-hutan yang berada di Sumatera Barat.

Catchment area Koto Panjang seluas 150.000 Ha yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai, terus ke sungai dan bermuara ke Danau Koto Panjang, merupakan sumber utama penggerak turbin PLTA Koto Panjang yang berasal dari sungai-sungai dan hutan dari Sumatera Barat,” ungkap Yozawardi.

Yozawardi juga mengungkapkan, untuk memastikan hutan tetap terjaga di Catchment Area, Pemprov Sumbar melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan pada wilayah tersebut serta melaksanakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sebanyak lebih kurang 2 (dua) milyar rupiah/tahun di APBD Provinsi Sumatera Barat.

Di lain pihak Kepala Dinas Penamaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Provinsi Sumatera Barat, Maswar Dedi menyatakan dilokasi daerah tangkapan air dengan fungsi hutan lindung, karena kebutuhan pembangunan daerah dapat diajukan perubahan fungsi pada RT RW menjadi kawasan budi daya HP (Hutan Produksi) atau Area Penggunaan Lain (APL).

Perobahan fungsi ini boleh dilakukan oleh Gubernur Sumbar, karena Gubernur punya kewenangan untuk mengalihfungsikannya.

“Sebenarnya telah banyak investor dibidang perkebunan yang tertarik berinvestasi di catchment area waduk Koto Panjang itu dan menjadikan kawasan tersebut menjadi hutan produksi atau area penggunaan lainnya. Namun karena ini menyangkut ketersediaan air untuk waduk Koto Panjang dan demi mempertimbangkan warga Provinsi Riau, Gubernur Sumbar belum mau mengalihfungsikan hutan tersebut,” ujar Maswar Dedi.

Ketua Komisi III DPRD Provinsi Sumatera Barat, Afrizal menyatakan ini bukan hanya persoalan jatah pembagian hasil pajak air permukaan yang tidak adil oleh Kemendagri, namun ini menyangkut harga diri rakyat Sumatera Barat yang dilecehkan.

“Dari pembagian pajak hanya dapat sekitar 1,5 milyar rupiah, namun demi khalayak ummat, selalu Pemprov Sumbar menganggarkan tiap tahun lebih dari 2 (dua) milyar di APBD. Kalau soal untung rugi, rugi kami. Yang sebenarnya terima yang senang itu siapa?

Kalau boleh saya nyatakan, Pemprov Riau lah yang banyak dapat untung dari adanya waduk PLTA Koto Panjang ini.

Rakyat kami yang selalu tertimpa bencana banjir tiap tahun, namun kami tetap ikhlas menjaga persaudaraan dengan masyarakat Riau.

Kedepan kami akan mempertimbangkan opsi pengalihan air sungai ketempat lain, jika persoalan ini tidak segera diselesaikan oleh Kemendagri dan permintaan maaf oknum anggota DPRD Riau yang bicara seperti itu” tegas Afrizal yang diaminkan oleh anggota Komisi III DPRD Sumbar lainnya.

Pemicu kisruh polemik antara DPRD Riau dengan masyarakat Sumatera Barat berawal dari lahirnya surat Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri nomor 973/2164/KEUDA tanggal 05 Mei 2020 tentang Penyelesaian Pajak Air Permukaan ULPLTA Koto Panjang ke General Manager PT PLN (Persero) UIK Sumatera Bagian Utara pada poin nomor 3 :

  1. DAS, Hulu dan HILIR dapat dipandang sebagai satu kesatuan Sumber Daya Air, tetapi dalam konteks perpajakan titik pajaknya adalah dimana air tersebut dimanfaatkan.
  2. Pemerintah daerah yang berwenang memungut pajak air permukaan adalah pemerintah daerah yang memiliki wilayah dimana air permukaan tersebut berada sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

(AL/MMC/DiskominfoSB)

Pos terkait